Erlan yang tak percaya dengan apa yang di lihatnya, masih menatap gadis yang mirip dengan Jenia tadi.
Gadis itu sedang antri memesan menu makan siang.
"Erlan, apa yang kau lihat?" ucap seorang gadis, melihat pria itu mengalihkan pandangannya pada yang lain.
Refleks ia pun ikut melihat ke arah yang dilihat oleh Erlan.
"Sudah ada gadis cantik di sini, tapi dia malah melihat gadis lain. Dan gadis itu tidak lebih cantik dari kami," batinnya, ikut melihat gadis yang ditatap Erlan.
Erlan bahkan tak menjawab pertanyaan gadis tadi. Ia memang tak mendengarnya. Pikirannya masih terkunci dan tertuju pada gadis yang mirip dengan Jenia tadi.
"Siapa gadis itu? Dan kenapa Erlan perhatian padanya," decak gadis tadi dalam hati.
Karena tak ingin Erlan membagi tatapannya dengan wanita lain, gadis tadi setelah berdiri dari tempat duduknya.
Ia pura-pura mengambil tisu dan berdiri tepat menutupi pandangan Erlan pada sosok gadis tadi.
"Erlan, bibirmu kotor," ujarnya, lalu mengusapkan tisu tadi pada sudut bibir Erlan, meskipun sebenarnya tak ada kotoran di sana.
"Rachel? Apa yang kau lakukan?"
Erlan bahkan segera tersadar dari lamunannya. Ia bahkan menarik tubuhnya mundur karena kaget, Rachel akan menyentuh wajahnya kembali.
"Maaf, aku hanya membantu membersihkan sedikit kotoran di bibirmu," balas Rachel, lalu menarik tangannya dari muka Erlan.
"Ya, tak apa dan terima kasih."
Erlan menarik kursinya ke samping agar bisa melihat sosok yang ditutupi oleh Rachel.
"Di mana gadis itu?!" batinnya, dengan mata yang bergerak liar mencari sosok tadi.
Sosok Jenia sudah hilang dari depan matanya dengan cepat, hanya dalam hitungan beberapa detik saja.
"Apa benar dia Jenia? Atau aku hanya berhalusinasi saja tadi?!" pekiknya dalam hati, setelah mencari sosok gadis tadi dan tetap tak menemukannya di manapun.
"Erlan...." panggil gadis lain, lalu menaruh satu tangannya ke bahu Erlan.
"Ya, Sandra. Ada apa?"
Membuat Erlan menarik pandangannya lalu beprindah padanya.
"Aku punya sesuatu yang menarik untukmu. Lihat ini!"
Ia menunjukkan sebuah gantungan kunci tas.
"Ini buatanku sendiri loh," tambahnya lagi sembari tersenyum. Bahkan setelahnya ia memberikan gantungan kunci tersebut pada Erlan.
"Bagus sekali, terima kasih," balas Erlan saat menerimanya.
Meskipun sebenarnya dia tidak suka kandungan kunci tersebut dan lagi untuk apa dia menggunakan gantungan kunci seperti itu.
Lain di hati lain di bibir. Begitulah Erlan yang pandai menyembunyikan sesuatu dan membolak-balik untuk mencari simpati.
Ia bahkan langsung memasang gantungan kunci berbentuk tower.
Begitu pula dengan para gadis lainnya yang berlomba-lomba untuk menarik perhatian Erlan.
40 menit kemudian, tiba-tiba ponselnya berdering. Padahal sebenarnya itu hanyalah alarm yang ia setting dengan ringtone mirip dengan telepon masuk.
Sengaja dia melakukan hal itu karena tak mau berlama-lama menghabiskan waktu dengan para gadis itu. Sehingga dia harus menyeting seolah-olah ada telepon masuk untuknya.
"Ya halo, ada apa ayah?" ucapnya di telepon, asal bicara.
Bahkan ia merubah mimik wajahnya menjadi sedih saat mengatakan kondisi ayahnya yang sakit.
Setelah 5 menit bicara dan mengarang cerita maka Erlan pun mengakhiri panggilannya
"Jika ayahmu sakit, sebaiknya kau segera pulang dulu. Lagian besok kita bisa bertemu lagi," tutur seorang gadis yang ada bersamanya.
"Terima kasih atas pengertiannya," ucapnya riang, karena mereka Percaya saja pada ucapannya dan malah memintanya pulang.
Erlan keluar dari kantin terlebih dulu sedangkan
5 gadis tadi masih berada di kantin dan menghabiskan sisa makanan mereka yang belum disentuh oleh Erlan sama sekali.
"Apa benar Jenia masih hidup?" gumamnya, setelah keluar dari kampus dengan berlari dan kini kembali berjalan pelan.
Erlan masih terpikirkan pada sosok yang tadi ditemuinya sekilas itu. Ia kembali teringat pada sosok gadis yang dibunuhnya itu.
"Daripada ragu dan untuk memastikannya saja lebih baik aku periksa rumah Jenia," lirihnya, memutuskan.
Karena sungguh hatinya kini merasa tidak tenang sama sekali. Ia khawatir Jika dia benar-benar belum sepenuhnya membunuh gadis itu, hingga berpikiran Gadis itu datang untuk balas dendam padanya.
"Kurasa rumah ini tak ada yang menempati setelah kejadian itu," lirihnya telah tiba di depan rumah Jenia.
Terlihat banyak tumbuhan yang kering dan sebagian mati di teras rumah, menandakan rumah itu tidak dihuni lagi. Ditambah beberapa rumput liar yang mulai tumbuh di depan pagar, semakin menguatkan dugaannya.
Cepat-cepat ia masuk sebelum ada orang lain yang melihat kedatangannya ke sana.
Klik! Mudah saja bagi Erlan membuka pintu yang terkunci itu hanya dengan satu gerakan memutar saja, dan pintu terbuka lebar.
Erlan masuk dan menutup kembali pintu tersebut.
Karena memang dia werewolf, maka indra penciumannya pun tajam. Bahkan lebih tajam daripada serigala sungguhan.
"Kenapa ada aroma parfum tertinggal di sini? Selain itu aku juga mencium adanya aroma seseorang yang memasuki tempat ini."
Dia bisa merasakan keberadaan seseorang yang pernah masuk ke rumah itu meskipun sudah lewat beberapa hari.
"Tapi ini bukan aroma tubuh Jenia. Tapi aroma parfum yang dikenakannya sama dengan aroma parfum yang dikenakan oleh Jenia. Siapa dia?"