"Baiklah, kau boleh pergi sekarang," ucap seorang petugas polisi yang saat itu sedang melemparkan banyak pertanyaan pada Erlan secara tiba-tiba, setelah menatap mata Erlan barusan.
"Terima kasih."
Dengan senyumnya Erlan pergi meninggalkan petugas polisi tadi.
Dia bebas melenggang dari pendidikan polisi dengan mudahnya.
Hingga beberapa hari ke depan polisi pun mengumumkan jika kasus itu murni sebagai serangan binatang buas. Karena tim investigasi tidak menemukan pelaku pembunuh sesungguhnya, sehingga menyatakan kasus itu murni sebagai penyerangan binatang buas untuk meredam keresahan.
Dan suasana di kampus pun yang awalnya heboh ini kembali tenang setelah ada kabar dari kepolisiannya memastikan tentang penyebab meninggalnya Deborah bukan karena pembunuhan.
Erlan pun kembali bisa tenang dan beraktivitas seperti biasanya.
Ia kembali melancarkan aksinya dan mulai berburu.
***
"Erlan, apa kau tak tertarik pada salah satu gadis yang ada di kampus ini?" tanya seorang pria, yang juga mahasiswa di sana.
Erlan di kampus juga membaur dan berteman dengan mahasiswa di sana. Tapi jangan salah, dia tidak dekat dengan mereka satu pun dan hanya sebatas bicara saja di kampus.
"Untuk saat ini Aku belum ingin menjalin hubungan dengan seorang gadis," cetusnya membuat lawan bicaranya terkejut.
"Kenapa? Bukankah banyak gadis di sini yang menyukaimu? Dan tak ada satupun dari mereka yang jelek," tambahnya.
"Belum menemukan yang cocok," jawabnya sembari mengangkat kedua bahunya.
Bahkan dia sendiri juga mempertanyakan pada dirinya sendiri apakah tertarik pada lawan jenis?
karena jujur selama ini yang ada dalam pikirannya adalah berburu dan berburu. Sampai dahaganya hilang.
"Ck, kau ini aneh sekali. Banyak permen manis di sekitarmu tapi tak satupun yang kau ambil. Kau tahu, kau membuatku iri."
"Jika kau mau, aku akan kenalkan satu atau beberapa dari mereka sesuai yang kau minta, Hose."
"Benarkah itu?"
Erlan mengangguk, dan melempar senyum tipisnya pada Hose.
Bahkan lelaki itu pun juga mengagumi Erlan.
Di jam istirahat saat tak sengaja lewat kantin, Erlan berhenti. Netranya terkunci pada semua sosok di kantin.
"Jenia?!" pekiknya, melihat sosok Jenia.
Sosok yang beberapa waktu yang lalu juga ia lihat di kantin. Ternyata waktu itu ia tidak berhalusinasi seperti sekarang ini.
"Aku harus memastikannya Apakah itu benar Jenia atau bukan. Aku tak boleh melewatkan kesempatan kali ini," gumamnya.
Erlan bergerak dengan cepat tanpa ada yang menyadari pergerakannya.
Mudah saja baginya melakukan hal itu di tengah keramaian begini. Ia bisa memanipulasi semuanya hingga tak ada yang menyadari pergerakannya juga keberadaannya.
Mengerikan bukan?
"Dia di sana," lirihnya, tak melepaskan kuncian matanya sedari tadi, bahkan sedetik pun.
Erlan tiba di belakang gadis yang mirip dengan Jenia yang tadi.
Gadis itu yang mengantri untuk membeli menu makan siang, seperti beberapa waktu yang lalu.
"Jenia...."
Gadis yang dari belakang mirip dengan Jenia, dari postur tubuhnya dan juga style-nya mengikat rambut panjang, benar-benar sama itu kemudian menoleh ke belakang setelah mendengar seseorang memanggilnya.
"Ya...." balasnya, dengan menautkan kedua alis menatap Erlan.
Dia tak mengenal sosok asing yang baru ditemuinya itu. Terlebih pria itu salah sebut memanggil namanya.
"Oh, maaf. Aku salah orang," ucap Erlan langsung, ternyata wanita di depannya itu bukan Jenia.
Dari Postur, penampilan dan semuanya memang mirip dengan Jenia. Hanya saja wajahnya benar-benar berbeda, sama sekali tidak mirip. Ditambah aroma parfum yang dikenakan gadis itu berbeda.
"Ya, tak apa."
Gadis tadi nampak bingung dan akan bertanya lebih lanjut tapi sayangnya sesosok pria tampan yang sekilas dilihatnya itu, kini sudah hilang dari hadapannya.
"Kemana dia?"
Gadis tadi malah celingukan terus ke kanan dan ke kiri mencari sosok pria yang dalam waktu sekejap membuatnya cukup penasaran.
"Aneh sekali, kenapa cepat sekali dia pergi dari sini, seolah aku tidak melihat kepergiannya," lirihnya, setelah tidak menemukan sosok yang dicarinya.
"Nona, apa yang kau pesan? Tolong, jangan membuat pengunjung lain menunggumu. Antrian di belakang sana masih panjang." ucap pelayan kantin, dengan nada sedikit tinggi.
Berulang kali dia memanggil gadis gitu namun tak mendengarnya. Bahkan sampai beberapa pengunjung yang ada di belakang gadis itu ikut berteriak padanya.
"Oh,ma-maaf. Ya, aku pesan menu satu saja," ujarnya pada pelayan kantin tadi.
Sementara Erlan, dia kembali berjalan dan berbaur di tengah keramaian.
Entah Kenapa pikirannya masih saja terpaku pada sosok Jenia.
"Hah! Aku sampai merinding jika gadis itu memang benar Jenia. Untungnya bukan. Jadi dia benar-benar sudah mati dan tak mungkin hidup kembali," desaunya dengan menarik nafas panjang lega.
Jujur, sebenarnya beberapa waktu ini pikirannya kembali terpaut pada Jenia. Entah karena rasa bersalahnya atau rasa ibanya pada gadis itu, yang membuat malamnya sedikit membuatnya terganggu hingga tak bisa tidur nyenyak seperti biasanya.
"Sepertinya malam ini aku bisa tidur nyenyak,"
Erlan menyampirkan tas ranselnya ke bahu dengan senyum di sudut bibirnya, bisa menghilangkan pikiran jenih dari otaknya saat ini setelah semuanya jelas.
Tak ada lagi bayang-bayang dosa pada dirinya ataupun rasa selalu dihantui oleh gadis itu.