Eloise masih tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Kapan tepatnya dia pindah?" tanyanya untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Sekitar dua bulan yang lalu." ucap salah satu mahasiswi menimpali.
Karena 5 gadis tadi sudah tak tahan dengan bau anyir dari tubuh Eloise, maka mereka pun segera cabut dari sana.
Eloise tampak termenung, jika Erlan pindah dua bulan yang lalu berarti itu tepat di saat dirinya sebagai Jenia meninggal.
"Kenapa dia pindah, dan pindah ke mana dia," batinnya sampai mengerutkan keningnya.
Ia lalu tersadar dari lamunannya dan akan bertanya pada mahasiswi tadi. Namun mereka sudah berjalan meninggalkan dirinya.
"Hei, tunggu! Masih ada yang ingin kutanyakan lagi," ucapnya.
Lima mahasiswi tadi menoleh saja tidak, meskipun mereka mendengar Eloise memanggil. Mereka dan terus berjalan. Malahan mereka mempercepat langkahnya.
"Mereka sudah pergi," gumamnya kecewa.
Hanya sedikit informasi yang didapatkan mengenai Erlan.
Karena mendapat informasi seperti itu maka ia pun segera balik ke langkah keluar dari Kampus Cambridge.
Eloise berjalan pelan sambil berpikir, mengingat tempat tinggal Erlan yang berarti yang di dekat area kampus.
"Mungkin saja dia tinggal di tempatnya yang lama. Aku akan coba cari dia ke sana."
Ia kembali mengingat arah menuju ke rumah Erlan.
Sebelumya saat masih menjadi Jenia, dulu sering mengikuti pria itu dari kejauhan. Sehingga dia mengetahui di mana rumah Erlan.
"Jika tidak salah. Rumahnya ke arah sini."
Ia pun bergegas menuju jalan ke arah rumah Erlan. Setelah kurang dari 10 menit berjalan, akhirnya dia berhenti di depan sebuah rumah kecil asri dan nyaman.
Eloise lalu bergegas menuju ke pintu dan mengetuknya tiga kali. Sungguh, dia sudah tak sabar sekali ingin bertemu dengan pria itu.
Rasanya ia ingin segera memukul wajahnya sampai babak belur jika muncul.
"Kenapa lama sekali?" gerutunya, sudah menunggu selama 2 menit lagi namun tak ada jawaban dari dalam rumah ataupun ada tanda-tanda pintu itu akan dibuka.
Ia mengulang lagi mengetuknya tiga kali, namun tetap saja tak ada respon.
Seorang tetangga rumah yang melihat itu tak sengaja sedang berada di luar kemudian menghampiri Eloise.
"Nona, apa ada yang bisa kubantu?" tanya seorang wanita paruh baya, dengan rambut putih di beberapa bagian.
"Oh, ya Nyonya. Aku mencari Erlan penghuni tempat ini. Tapi sudah lama aku mengetunya, tak ada yang keluar," jelas Eloise.
"Erlan, kau bilang?"
Eloise mengangguk meresponnya.
"Sayang sekali, dia sudah pindah dari sini."
"Pindah?" tegas Eloise, terkejut.
"Kapan dia pindah, Nyonya?"
"Dua bulan yang lalu dia pindah sini. Tapi aku kurang tahu pastinya tanggal berapa dia pindah."
Eloise lagi-lagi terlihat kecewa di saat dia berharap akan menemukan pria incarannya itu di rumah ini, tapi ternyata dia juga pindah.
"Apa Anda tahu ke mana dia pindah?"
Nyonya tadi menggelengkan kepala. Ia lalu kembali ke rumahnya.
Hah! Eloise menarik nafas panjang. Rasanya sia-sia saja dia datang jauh-jauh kemari untuk mencarinya.
Berharap untuk bisa menemuinya segera dan ternyata harapannya itu pupus sudah.
"Ke mana lagi aku harus mencarinya," desaunya.
Ia kembali berjalan tanpa arah tujuan setelah kehilangan jejak pria buruannya.
Di tengah rasa galau dan kesalnya, Eloise tiba-tiba saja terpikirkan pada tempat tinggalnya yang lama sewaktu masih hidup sebagai Jenia.
"Kenapa aku tidak ke sana saja?" gumamnya, tiba-tiba saja tercerahkan.
Langsung saja ia berjalan menuju ke tempat tinggalnya dulu yang masih diingatnya dengan jelas.
Tak butuh waktu lama, ia pun tiba di sana.
"Rumah ini masih sama seperti yang dulu," gumamnya, menatap rumah kecil sederhana yang pernah disewanya dulu.
Semuanya masih sama seperti yang dulu hanya bedanya banyak tanaman di luar rumah itu yang kini kering bahkan beberapa dari mereka mati. Seperti tak terawat saja.
"Apakah tidak ada yang menempati tempat ini sekarang?"
Eloise mendekat dan betapa terkejutnya dia melihat papan bertuliskan "dijual" di sana.
Setelah ditemukan mayat Jenia di rumah itu, rumah tersebut disewakan oleh pemilik rumah. Namun tak satupun yang menyewa dan berani tinggal di sana.
Semua takut setelah melihat rumah tersebut, apalagi melihat mayat Jenia yang mati mengenaskan di sana. Bagi mereka itu merupakan pertanda sial dan mungkin saja akan menular pada mereka jika menempatinya.
"Sayang sekali, tapi tak apa. Mungkin aku bisa melihatnya sebentar."
Eloise menuju ke arah pintu dan mencari kuncinya. Dulu dia menggandakan sendiri kuncinya untuk jaga-jaga jika kunci itu hilang.
Dan tempat favorit menaruhnya adalah di bawah keset.
"Semoga saja tak ada yang mengetahui jika aku menyimpan kunci itu di sini."
Eloise mengambil keset coklat gelap dari depan pintu lalu mengangkatnya. Terlihat sebuah kunci di sana dan ia segera mengambilnya.
Klik! Dengan cepat Eloise segera membuka pintu.
Ia pun menutup pintu kembali setelah masuk ke rumah sebelum ada yang melihatnya datang ke sana atau orang lain akan mengiranya sebagai pencuri.