Karena tuan Isak bersikeras untuk tidak memberitahu keberadaan Aria pada 2 bangsawan muda yang mencurigakan itu, Hiki dan Rei pun terpaksa keluar lagi dengan tangan kosong. "Ugh, pak tua sialan itu! Lihat saja nanti Aku akan mengirim orang untuk menghancurkan bangunan ini sekalian." Gerutu Hiki sambil menendang angin.
"Tunda rencana itu sampai bulan depan. Barangku masih banyak yang belum sampai." Balas Rei.
"Tapi kau kan berencana kembali minggu depan."
"Yaa…" Sahutnya singkat.
"Terus gimana? Mau balik lagi ke mansion dan coba untuk menyiksa dua pencuri itu lagi?"
Tapi Rei cuma memiringkan bibirnya pasrah. "Melihat mereka sama sekali tidak mau bicara meski tangannya sudah kuremukkan, mereka mungkin tetap tidak akan bicara sampai mati."
"Hh, benar-benar tipikal rakyat jelata." Katanya menyetujui. "Tapi omong-omong kau mau apa nantinya dengan perempuan itu? Jangan bilang kau akan minta diajari sihir olehnya?" Tanyanya meski dia malah mulai tertawa sendiri. "Kalau iya Aku mau lihat."
Tapi karena Rei tidak menyahut, dia pun meneruskan ocehannya. "Ah, atau kau berencana mengurungnya juga? Aku sih tidak masalah, tapi orang tuaku juga kembali minggu depan, kau tahu. Kalau ketahuan, mereka akan mengira Aku mesum dan benar-benar bakal mengirimku untuk mati di medan perang." Katanya.
"Tenang saja. Elena kan pasti menyelamatkanmu kalau itu terjadi."
"...Ugh, tutup mulutmu." Gerutunya seperti diingatkan sesuatu yang buruk.
Mengikuti senyum Hiki yang menghilang, kali ini Rei yang mulai terkekeh pelan. "Kau berhutang padaku tentang itu tahu. Karena Aku memberikannya informasi tentang lelang di kerajaan sebelah, dia tidak akan mengganggumu untuk sementara waktu."
"Hmph! Itu kan karena kau juga tidak mau berurusan dengannya." Balas Hiki dan Rei cuma bisa mengangkat bahunya tidak menyangkal. "Terus jadinya kita mau cari perempuan itu ke mana?"
"Ya ke mana lagi, tentu saja ke kota." Kata Rei. "Lagipula ada beberapa benda yang perlu kubeli juga, jadi kita bisa sekalian tanya-tanya apa ada yang kenal perempuan itu."
Dengan santai, Hiki pun mengikuti Rei lagi. "Kau beli sesuatu terus…" Balasnya kecut. Soalnya walaupun dia sendiri, seperti bangsawan lainnya juga selalu rajin menggunakan uang mereka, Rei anehnya selalu beli barang-barang yang tidak berguna.
"Walaupun kurasa kau ada benarnya." Kata Hiki lagi. "Gadis semanis itu harusnya banyak yang kenal." Tambahnya, yang kemudian dibalas Rei dengan tatapan jijik. "Apa? Dia memang manis. Tidak sepertimu, Aku punya mata yang bagus mengenai wanita. Asal diberi pakaian yang bagus, kurasa--"
"Ya, ya, Aku tidak peduli."
Meski tentu saja, walaupun mereka sudah menanyai banyak pedagang di sana-sini, tidak ada yang bisa mengenali perempuan yang katanya pakai jepitan bulan dan bisa menggunakan sihir, juga agak cantik. Apalagi karena kota ini termasuk tempat yang sering dilewati pengembara atau pendatang baru, mencarinya juga jadi lebih sulit.
Soalnya walaupun rakyat biasa yang bisa menggunakan sihir sebenarnya memang tidak banyak, orang-orang dari luar kota tetap banyak yang bisa. Dari turis biasa, rombongan sirkus, bahkan sampai penyihir bayaran. Jadi kalau cuma disebut 'penyihir', mencari satu orang yang spesifik tetap mudah.
Tapi saat Rei terpaksa menemani Hiki pergi ke toko roti karena dia mulai lapar, anak pemilik toko yang daritadi kelihatan sedang menggambar di pojokan tiba-tiba saja berlari ke arah ibunya yang merupakan pemilik toko itu. "Ibu, lihat. Aku gambar naga. Mirip kan dengan yang waktu itu?" Katanya sambil memamerkan coretan ular panjang yang warnanya biru.
Wanita itu kelihatan sedikit malu pada Rei dan Hiki, tapi kemudian dia membalas ke arah anaknya. "Iya, iya, bagus." Sahutnya.
"Bagus apanya?" Celetuk Hiki, yang kemudian dipandang getir oleh si ibu bahkan oleh Rei juga.
Tapi untungnya si anak tidak begitu mendengarnya. "Tapi kapan Aku bisa lihat pertunjukannya lagi? Besok boleh ya?"
"Iya, iya, kalau mereka mengadakan pertunjukan sihir lagi kita ke sana ya." Sahut ibunya cepat-cepat sambil membungkus roti yang dipesan Hiki. "Ini, tuan. Harganya jadi--"
"Pertunjukan sihir?" Potong Rei tiba-tiba. "Apa seperti sirkus?"
Karena agak kaget tiba-tiba ditanya, si ibu sempat diam kebingungan. "Eh, ah, yah, daripada sirkus, sebenarnya itu cuma pertunjukan jalanan biasa."
Mendengar itu, Rei langsung kelihatan tidak tertarik lagi. Karena rasanya orang yang bisa menggunakan sihir seperti itu tidak akan buang-buang kemampuannya hanya untuk pertunjukan jalanan. "Hanya untuk memastikan, tapi apa di pertunjukan itu ada perempuan yang pakai jepitan bulan?"
"Dan cantik." Tambah Hiki.
"Eh… Entahlah, saya tidak begitu memperhatikannya…" Sahut si ibu seadanya.
Dan Rei pun hanya mengangkat bahunya sambil mendesah pelan seperti yang sudah dia lakukan hampir seharian ini. "Aku tunggu di luar." Katanya pada Hiki sebelum akhirnya berbalik.
Tapi tepat sebelum Rei melangkah ke luar pintu, si anak kembali bicara. "Waktu itu ada kok, kakak yang pakai jepitan bulan."
"Apa? Yang benar? Di mana?" Tanya Rei yang langsung berlari mendekat lagi. Meski itu justru malah membuat si anak ketakutan dan lari sembunyi di kaki ibunya.
Sehingga akhirnya wanita itu yang jongkok dan bicara pelan-pelan padanya. "Kau yakin melihatnya? Dia salah satu orang yang melakukan pertunjukan sihir waktu itu?"
"Iya! Itu kan kakak yang buat naga airnya." Jawabnya semangat. "Aku ingat soalnya waktu itu kakak itu memberikanku permen juga."
"Apa orangnya cantik?" Sela Hiki lagi.
Tapi seakan tidak begitu paham pertanyaannya, anak itu malah terdiam sejenak. "...Apa maksudnya kakak itu punya senyum manis?"