"Apa?! Kau gila--Uhuk, uhuk, uhuk!" Aran yang tadinya sudah merasa lebih baik tiba-tiba jadi merasa sakit lagi. "Kau menerobos ke rumah itu sendirian? Kalau kau tertangkap juga bagaimana?" Omelnya terus.
"Iya, iya, maaf. Jadi duduk dulu ya." Kata Aria sambil coba mendorong Aran yang sudah akan berdiri. "Yang penting kan Aku tidak jadi tertangkap. Walaupun Aku juga tidak menemukan Mika dan Leyna…" Tambahnya sedih.
Kembali bersandar, Aran tadinya sudah akan menelan semua omelannya lagi. Tapi kemudian dia menyadari ada yang aneh dari kalimat Aria tadi. "Tunggu, 'tidak jadi'? Jangan bilang kau memang hampir tertangkap??"
Tertangkap basah, Aria spontan mengalihkan pandangannya. "...Tidak kok."
"Mereka lihat wajahmu? Aria, kau benar-benar--" Oceh Aran yang kembali menegakkan punggungnya. "Kau harus segera pergi dari sini. Bagaimana kalau mereka mencarimu? Penyihir gila itu akan membakarmu tahu."
Tapi dibalas begitu, Aria malah jadi menekuk bibirnya. "Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri saat kondisimu seperti ini." Katanya. "Lagipula, yah, kalau dia menangkapku mungkin setidaknya Aku bisa ketemu Mika dan Leyna."
"Aria--"
"Ka-Kalau kuingat-ingat, sekarang sudah waktunya Mina dan yang lain kembali. Jadi sebaiknya Aku periksa ke toko." Sela Aria yang kemudian langsung kabur keluar pondok karena dia tidak tahan terus-terusan panik diinterogasi Aran.
'Ahh, Aku harus bagaimana lagi…'
Mengikuti alasan asal yang dia buat, Aria pun akhirnya pergi ke toko untuk memeriksa adik-adiknya karena dia tidak bisa hanya diam gelisah memikirkan kekacauan yang belum selesai ini.
Meski setelah diperiksa ke toko nyonya Rumia, ketiganya ternyata sedang main lumpur di ladang. "Ahaha, mereka semangat sekali saat disuruh membantu di ladang." Kata nyonya Rumia riang.
"Maafkan Aku. Mereka pasti merepotkan." Balas Aria.
"Tidak apa-apa. Tapi setelah suruh mereka mandi, bantu bibi untuk buat beberapa obat lagi. Soalnya tadi ada yang pesan banyak dan ingin langsung diantarkan hari ini." Katanya.
Dan dengan sigap, Aria pun langsung membawa ketiga adiknya ke sumur ladang dan memandikan mereka dengan cepat. Lalu selagi mereka main air sejenak, dia pun mengambil beberapa kain perca yang ada di gudang dan buru-buru menggunakan sihirnya untuk menjahit kainnya jadi baju sederhana sebagai baju ganti mereka.
"Yeyy, baju baru." Kata Lily riang.
"Kau menyukainya?" Tanya Aria balik.
"Hmph, tapi bajuku lebih bagus dari bajumu." Timpal Kuvi.
"Lebih bagus bajuku!" Balas Lily lagi.
Jadi selagi dua saudara itu sedang ribut bertengkar, Aria pun merendahkan tubuhnya ke arah Mina. "Aku akan bantu nyonya Rumia di toko sebentar lagi. Jadi bagaimana kalau kau ajak Kuvi dan LIly untuk beli kentang di toko tuan Teran untuk makan malam nanti? Ini uangnya." Katanya sambil menyerahkan beberapa uang koin.
Gadis dengan rambut pendek itu tadinya kelihatan langsung menurut. Tapi dengan hati-hati, dia kemudian berkata, "Itu… Beli apel juga boleh tidak? Kalau nanti kak Leyna pulang."
Sesuatu mencelekit hati Aria, jadi dia pun langsung merogoh sakunya untuk mencari sisa uang yang dia punya. "Iya, beli apel juga ya."
Begitu tiga anak itu pergi, Aria sebenarnya sudah hampir berada di mood 'ingin menangis di pojokan' lagi. Tapi karena dia harus membantu nyonya Rumia, dia pun menahan emosinya dulu dan buru-buru pergi ke toko.
Aria melihat isi ruangan sekilas dan mendapati kalau hanya kotak-kotak di rak kiri yang terbuka. "Ada yang pesan daun teh sebanyak ini?" Tanyanya sambil mulai ikutan duduk di dekat nyonya Rumia.
"Ya. Orangnya ingin semua daun teh yang kita punya, masing-masing 2 kotak." Kata nyonya Rumia sambil menggeser kotak-kotak kecilnya ke dekat Aria. "Orangnya juga pesan beberapa obat lain. Kau selesaikan sisanya ya. Aku akan mengambil obatnya dulu." Tambahnya yang kemudian pergi ke ruang sebelah di mana obat-obatan berada.
Aria memasukkan semua teh itu secepat yang dia bisa, tapi kelihatannya dia melakukannya terlalu cepat. Karena saat dia membawa semua teh itu ke ruang depan, nyonya Rumia ternyata belum kembali dari ruang obat.
Tadinya Aria sudah akan berjalan ke sana untuk membantu lagi, tapi kemudian dia mendengar ada suara lonceng pintu dan spontan kembali berbalik. "Selamat datang, ada yang…"
Dan Aria pun mematung. Bukan karena wanita tua yang memasuki tokonya, melainkan wajah Hiki dan Rei yang kelihatan lewat di depan tokonya.
'Ya ampun!' Teriaknya dalam hati, meski tubuhnya cuma bisa mematung di situ sembari berharap mereka tidak menyadari keberadaannya.
Tapi walaupun Rei hanya lewat begitu saja, entah kenapa Hiki malah berhenti dan menoleh ke dalam toko. Dan sekarang Hiki juga memasang wajah yang sama kagetnya dengan Aria. Wah, betulan ketemu! "Rei! Dia di sini!" Teriaknya langsung meski mulutnya dipenuhi roti.
Panik, Aria sudah akan berpikir apa dia perlu kabur lewat pintu belakang. Tapi tepat sebelum tubuhnya sempat menuruti pikirannya, namanya malah dipanggil lagi. "Kak Aria!" Panggil Kuvi. "Kami sudah beli kentang dan apelnya. Kita pulang yuk." Celetuk mereka sambil dengan polosnya melewati kaki Hiki dan memasuki toko.
Dan seakan belum cukup bikin Aria panik, nyonya Rumia juga akhirnya muncul. "Oh, nyonya Felicia. Apa anda butuh obat batuk lagi?" Tanyanya pada wanita tua yang sebelumnya. "Dan tuan, apa anda butuh sesuatu?" Tanyanya juga pada Hiki yang sekarang ada di depan pintu.
Nyonya Rumia dan si wanita tua sempat merasa aneh karena suasananya tiba-tiba jadi hening. Tapi akhirnya keduanya hanya mengabaikannya. "Iya, Aku mau obat batuk yang biasa ya." Pinta si wanita tua.
Di sisi lain, Hiki tadinya sudah akan memanggil Rei lagi, tapi ternyata orangnya juga sudah ada di belakangnya. Meski dia juga hanya diam seakan sedang memindai toko itu sejenak seperti sedang berusaha memahami situasinya. Apalagi karena ada dua wanita tua dan tiga anak kecil di sana, mereka jelas tidak bisa langsung menyeret Aria keluar.
Aria, Hiki, dan Rei sempat saling lirik dengan was-was. Tapi akhirnya Aria memutuskan untuk berjalan ke arah 3 adiknya untuk memastikan mereka menjaga jarak dari 2 bangsawan itu. Meski dia tetap tidak bisa kabur karena Rei jelas masih menghadang di pintu. Bahkan Hiki sampai diam-diam merayap ke samping supaya dia bisa menangkapnya kalau-kalau Aria berusaha kabur lewat belakang.
"Kak Aria, kita tidak pulang?" Tanya Mina.
"...I-Iya, sebentar ya."
"Ah, Aria. Kalau kau mau pulang, pulang saja. Lagipula semua tehnya sudah selesai kan." Timpal nyonya Rumia.
"Oh iya, Aria. Omong-omong obat sakit punggung yang kau buat itu ampuh sekali." Puji wanita tua itu kemudian. "Sudah seminggu ini punggungku tidak terasa nyeri lagi lho."
"Makanya sudah kubilang itu ampuh kan?" Balas nyonya Rumia yang ikutan bangga. "Obat batuk ini juga Aria yang buat, jadi pasti lebih ampuh dari yang biasa." Tambahnya. Walaupun sejujurnya Aria tidak begitu mendengarkannya karena jantungnya terdengar lebih berisik saat ini.
"Lalu, tuan muda, apa anda berdua cari obat juga?" Tanya nyonya Rumia begitu wanita tua tadi pergi.
Keduanya sempat terdiam lagi, tapi akhirnya Rei berjalan masuk. "Mm, kalau begitu obat untuk sulit tidur ada tidak?"
"Ah, sebentar ya." Sahut nyonya Rumia sambil mencari-cari di rak samping.
Baru setelah memastikan wanita itu melihat ke arah lain, Rei pun kembali memandang ke arah Aria. Tanpa bersuara, dia hanya menggerakkan tangan dan mulutnya.
'Kami tunggu di luar. Jangan kabur', mimiknya semengancam mungkin.