Karena hari sudah sore, Aria tadinya sedang sibuk merapikan barang-barang di toko karena mereka sudah mau tutup. Tapi saat Aria baru setengah selesai, nyonya Rumia tiba-tiba saja malah menyelanya. "Sisanya biar Aku saja yang selesaikan. Jadi bagaimana kalau kau pulang sekarang saja."
"Tidak apa, biar Aku menyelesaikannya--"
"Ey tidak usah, tidak usah. Sana pulang ya." Balas nyonya Rumia sambil terus mendorong Aria ke depan pintu sampai dia justru jadi kerepotan buru-buru mengambil tas kecilnya sebelum benar-benar keluar.
"Tunggu, bibi, kenapa--"
"Oh, lihat. Kau masih hidup." Tapi tiba-tiba malah terdengar lagi suara familiar lagi dari samping toko. Itu ternyata Hiki.
"Karena kau tidak datang juga ke mansion, Rei mulai khawatir kalau ada yang membunuhmu atau semacamnya. Tapi sepertinya tidak." Katanya sarkastik. "Ini, bunga untukmu." Tambahnya sambil memberikan sekuntum bunga warna pink.
"Tu-Tuan Malven…" Celetuk Aria yang cuma bisa mematung. Padahal baru lewat satu hari setelah kejadian di rumah kaca. Tapi ternyata Hiki malah sudah langsung mendatanginya lagi sampai ke toko.
Tapi karena Aria tidak mengambil bunganya, Hiki pun terkekeh pelan. "Kau mungkin pikir kalau Rei orangnya penyabar karena dia melepaskan kalian begitu saja meski kau belum tentu akan menuruti perkataannya. Tapi sebenarnya dia sedang gelisah setengah mati di mansion, kau tahu."
"Dan dia tidak asik diajak bicara kalau sedang seperti itu, jadi kuputuskan untuk ke sini saja." Tambahnya.
Dan karena Aria masih diam kebingungan, Hiki pun melanjutkan. "Tapi kalau bisa tentu saja kau maunya tidak ikut Rei kan? Aku ingat kau terlihat gelisah saat Aku bilang kalau dia akan membawamu ke ibukota." Katanya lagi. "Kalau begitu, daripada ikut dengannya, bagaimana kalau kau jadi pelayan pribadiku saja?"
"...Eh?"
"Ya, kau tahulah, bukan cuma Rei yang butuh penyihir di sampingnya. Aku juga butuh. Terutama karena Aku kenal orang yang suka mengutuk orang!" Balasnya dengan nada suara yang agak pahit juga.
"Aku akan membayarmu, tentu saja. Dan yang lebih bagus, kau juga tidak perlu pergi ke ibukota dan meninggalkan teman-temanmu, walaupun sejujurnya Aku pikir mereka pantas ditinggalkan."
"..." Aria sama sekali tidak bisa memproses permintaan itu.
"Ayo, cepat bilang iya. Atau haruskah Aku mengancam akan patahkan tangan adik-adikmu juga seperti Rei?" Tambahnya.
Normalnya Aria mungkin akan langsung jantungan diancam seperti itu lagi. Tapi karena dia melihat sosok Rei yang muncul perlahan dari belakang Hiki, Aria justru jadi tahu kalau Hiki yang sebenarnya sedang dalam masalah.
Hiki sendiri juga tidak butuh waktu lama sampai menyadarinya karena dia bisa merasakan ada aura pembunuh yang merayapi punggungnya. "...Dia di belakangku ya?" Tanyanya pelan dan Aria langsung mengangguk kecil, jadi dia pun terpaksa berbalik. "Oh, Rei, kau perlu beli sesuatu lagi--"
PRAK! Tapi Rei langsung saja mengambil bunga yang daritadi dibawa Hiki dan menamparnya dengan itu. "Perkataanmu kemarin memang benar, kau tahu. Aku memang sudah terbiasa ditusuk dari belakang, apalagi olehmu."
"Memangnya kenapa?!" Protes Hiki sambil menyingkirkan bunga itu dari wajahnya. "Dia kan sudah pasti tidak akan menyetujui tawaranmu, jadi apa salahnya kalau dia bekerja untukku?"
Tapi Rei juga akhirnya malah menarik kerahnya. "Kalau kuadukan ini pada Elena kau pikir dia akan mengampunimu?"
"Kau pikir Aku tidak bisa mengadukanmu pada Arina?!" Balas Hiki yang juga berusaha meremas kerah Rei.
Melihat ada 2 bangsawan yang bertengkar di tengah jalan, semua orang pun jadi mulai memperhatikan mereka. Meski yang justru merasa malu tentu saja adalah Aria! Makanya dia pun jadi terpaksa melerai mereka dan mendorong mereka ke tempat lain.
Tadinya Aria hampir membawa mereka ke tempat yang lebih sepi, tapi karena tiba-tiba merasa khawatir ditinggal bertiga saja dengan dua laki-laki itu, Aria pun akhirnya memilih untuk membawa mereka ke kolam pancur air di alun-alun kota saja.
"A-Anu, saya belum memastikan harus bagaimana. Jadi kalau tuan-tuan bisa memberi saya waktu lebih banyak…" Katanya hati-hati.
Keduanya kelihatan tidak puas, tapi kemudian Rei pun membalas. "Tapi Aku kan sudah melepaskan teman-temanmu. Bukankah itu artinya kau berhutang padaku?"
"...I-Iya, saya pasti akan membalas--"
"Tapi kau kan mematahkan tangan dan meracuni mereka. Tidak bisa dibilang hutang kalau begitu." Sela Hiki dan sekarang Rei sudah ingin melemparnya ke kolam.
Tapi saat keduanya sudah akan bertengkar lagi, segerombolan anak kecil tiba-tiba saja mendatangi mereka, meski lebih tepatnya mereka cuma menempeli kaki Aria. "Kakak yang penyihir!" Panggil salah satu anak.
"Apa kakak akhirnya akan mengadakan pertunjukkan lagi?" Tanya salah satu anak dengan mata yang berbinar-binar. "Cerita hari ini apa? Apa yang raja singa? Ah, karena sudah mulai gelap apa justru yang Hantu gereja?" Oceh anak yang lain.
"Eh? Ah, itu, mm…" Sahut Aria agak bingung. Tapi setelah melirik takut-takut ke arah Rei dan Hiki lagi, akhirnya dia merendahkan tubuhnya ke arah anak-anak itu. "Maaf ya, hari ini kakak yang lain sedang sakit. Jadi lain kali lagi ya." Jawabnya sehalus mungkin.
"Tapi mereka kelihatan baik-baik saja." Sahut si bocah sambil menunjuk ke arah Rei dan Hiki.
"Ma-Maksudku temanku yang lain." Koreksi Aria cepat-cepat.
"Yaahh… Padahal sudah lama Aku tidak lihat pertunjukannya. Sayang." Celetuk anak-anak itu kecewa.
Aria butuh waktu beberapa saat untuk menghibur dan menenangkan mereka, tapi akhirnya anak-anak itu pun pergi lagi. Meski sebenarnya Aria sendiri jadi agak sedih sendiri setelahnya.
Soalnya kalau dipikir, semua kejadian ini sebenarnya terjadi semenjak mereka berhenti melakukan pertunjukan sihir mereka. 'Mungkin kami harusnya memang melakukan pertunjukan saja…' Pikirnya.
Di sisi lain, Rei dan Hiki juga sempat saling memandang setelah melihat percakapan itu. 'Rupanya dia memang melakukan pertunjukan jalanan.' Pikir Rei.
"Eh, tunggu. Bukannya baru beberapa hari yang lalu sejak temanmu ditangkap?" Kata Hiki tiba-tiba. "Tapi anak-anak tadi mengatakan kalau kalian sudah lama tidak melakukan pertunjukan sihir lagi."
"...A-Anda tahu kami melakukan pertunjukan?" Tanya Aria mulai takut lagi.
"Yaa, anak kecil seperti mereka ada banyak." Sahut Rei seadanya. "Terus, kenapa kalian berhenti melakukan pertunjukan?" Tanyanya lagi, tapi Aria cuma bisa diam dan memasang wajah asamnya.
Sehingga akhirnya Hiki yang duluan menjawab. "Apa lagi? Tentu saja karena teman-temannya lebih suka mencuri daripada menghibur anak-anak demi receh." Katanya dan Aria pun langsung menekuk bibirnya semakin sedih.
Rei dan Hiki sempat dibuat diam melihat perempuan di depan mereka kelihatan seperti akan menangis. Tapi setelah saling memandang dan bicara lewat angin, entah bagaimana Hiki pun akhirnya kelihatan mendesah duluan, selagi Rei justru kembali meluruskan pandangannya pada Aria.
"Dengar ya, kalau kehidupanmu segitunya sulit di sini, kau benar-benar harus ikut denganku ke ibukota. Kalau kemampuanmu nantinya diakui, bukan cuma Aku, semua orang juga pasti memperlakukanmu dengan baik di sana." Kata Rei kemudian.
Tapi karena Aria masih kelihatan tidak yakin, Rei pun menambahkan. "Lalu kalau kau mau, Hiki juga bisa mencarikan pekerjaan lain untuk teman-temanmu di sini."
"Eh, Aku?" Sahut Hiki sambil menunjuk hidungnya sendiri, meski Rei sama sekali tidak menyahutnya.
Aria kelihatan sedikit terpengaruh oleh itu, tapi sepertinya dia masih khawatir dengan banyak hal.
"Ah, atau kau hanya tidak mau meninggalkan adik-adikmu--" Rei sudah akan bertanya lagi, tapi entah kenapa dia malah tiba-tiba terdiam dan memasang wajah tegang. "..."
"Tsk, kita bicara lagi lain kali." Celetuknya kesal sambil langsung menyeret Hiki untuk mengikutinya meski orangnya juga tidak paham apa yang terjadi.