"Gue ... nggak mati?" Via membuka matanya dengan susah payah. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah seorang pria paruh baya berkumis tipis.
"Bagaimana perasaan kamu?" Pria berjas putih itu bertanya sembari menempelkan stetoskop ke dadanya.
"Do-dokter?" Via mengerjap agar bisa melihat lebih jelas.
"Dok ..., sudah berapa bulan saya koma?" tanyanya. Via merasakan tubuhnya mati rasa, dia tidak bisa merasakan sakit apa pun. Sepertinya dirinya terluka sangat parah. Tampaknya, telinganya juga bermasalah sebab Via bahkan tidak bisa mendengar suaranya sendiri dengan jelas.
Dokter itu hanya bungkam sambil menatapnya.
"Ke-kenapa, Dok? Apakah ...." Via tak sanggup memikirkannya. Jangan-jangan dia sudah koma selama bertahun-tahun.
"Bukan apa-apa. Kamu baru pingsan selama dua jam saja, kok." Dokter itu berkata dengan senyum geli.
"Ha-hah?" Via tertegun. Kecelakaan seserius itu masa cuma pingsan dua jam?
"Jangan khawatir. Berdasarkan pemeriksaan kamu nggak mengalami luka berat, kok. Apa ada bagian yang terasa sakit? Saya akan meresepkan obat pereda nyeri buat kamu."
Via mencoba menggerakkan satu per satu bagian tubuhnya. Semuanya berfungsi dengan baik. Ternyata bukan mati rasa, dia memang tidak terluka.
Via cengir. Sungguh keajaiban, padahal tabrakannya cukup keras tapi dirinya tak terluka sedikit pun.
"Kayaknya cuma pegel-pegel aja. Juga ini, telinga saya ..., ah, bukan, suara saya kenapa terasa beda? Apa ada masalah dengan pita suara saya?" Awalnya Via pikir telinganya bermasalah, tapi suara dokter terdengar jelas. Berarti suaranya yang aneh. Sangat aneh.
"Aneh bagaimana? Saya tidak mendengar ada yang aneh dari suara kamu."
"Masa?" Via bangun dan duduk.
"Tes, tes, satu, dua, ehem!" Dia memegang tenggorokannya dan berdehem-dehem.
"Tuh 'kan. Saya nggak salah denger. Suara saya aneh, jadi kayak suara cowok."
Dokter yang tengah menulis resep obat itu menatapnya dengan heran. "Loh, kamu kan emang cowok."
"Bukan. Saya cew ... eh?" Via menatap sesaat pada sang dokter yang tak menampakkan raut bercanda sedikit pun.
Dia kemudian melihat kedua tangannya, dua tangan yang kekar. Via menatap tubuhnya dari pinggang hingga ke ujung kaki. Ini seperti bukan postur tubuhnya ....
"Masa ...?" Dengan wajah pucat, dia menyingkapkan celananya dan mengintip isinya.
"Ha ... Hahaha! Ini apaan sih? Kok ada jamur di daleman gue?" Via tertawa sambil melirik sang dokter yang hanya melongo. Sesaat kemudian dia berhenti tertawa, wajahnya kembali serius, ia kembali mengintip ke dalam celananya. Tertawa lagi, diam, mengintip lagi, lalu tertawa lagi.
Khawatir. Dokter pun menyuntiknya dengan obat penenang.
***
"Saya benar-benar minta maaf karena sudah mencelakakan kamu. Kamu tenang saja, saya berjanji akan bertanggung jawab sampai kamu sembuh." Seorang pria paruh baya yang tengah menyetir berkata dengan nada menyesal.
"Nama Bapak Jono, siapa nama kamu?" tanyanya. Yang diajak bicara tidak menggubris sedari tadi.
Dari kaca spion, Pak Jono menyaksikan pemuda di belakang itu terus saja mengintip ke dalam celananya.
"Nak, apa terjadi sesuatu dengan anumu?" Pak Jono berdehem kecil. Sedari sadarkan diri, anak ini terus saja melihat selangk*angannya.
"Ng-nggak ...." Via mengangkat kepalanya. Tampak wajahnya pucat pasi. Mengkhawatirkan.
"Sialan. Ini beneran bukan mimpi. Gue beneran berubah jadi cowok. Nggak, nggak mungkin!" Via menyandarkan tubuhnya lemas. Adakah hal setidakmasuk akal ini di dunia? Apakah ini mimpi? Ataukah jawaban dari ketidakpuasannya atas takdir? Via teringat akan keluhan yang dia ucapkan sesaat sebelum terjadinya kecelakaan.
"Jadi gitu yah. Kalau ini bukan mimpi ..., berarti Kaspian ...."
"Nah, kita sudah sampai," ujar Pak Jono berbarengan dengan berhentinya mobil.
Via terbangun dari lamunannya. Dia celingukan.
"Eh? Bapak bawa saya ke mana?"
"Rumah saya. Kamu 'kan nggak ingat apa-apa. Jadi sampai ingatan kamu kembali, kamu tinggal di sini saja. Saya bertanggungjawab."
"Hilang ingatan? Siapa bilang? Saya--"
"Papa pulang juga. Gimana orangnya? Nggak mati 'kan?" Pemuda dengan rambut berkuncir membukakan pintu mobil.
Via terkejut melihat penampakan Kaspian. Mereka bertatapan sesaat.
"Mantap ...." Hati Via kesenangan.
Kaspian tertegun. Mungkin baru kali ini melihat wajah ganteng, tapi juga cantik di saat bersamaan.
"Vio, tolong bawa dulu dia masuk," pinta Pak Jono.
"Iya, Pa. Lu bisa jalan sendiri nggak?" tanya Kaspian. Via tak menjawab.
"Nggak bisa, ya? Yaudah sini." Kaspian mengulurkan tangannya dan memapah pemuda itu.
"Mimpi apa gue dipeluk Kaspian?! Mana bau ketek nya seger banget. Hihi." Via cekikikan dalam hati. Dia kegirangan sampai seluruh sendinya lemas.
Kerepotan Kaspian menyeretnya masuk.
"Lu manusia jelly apa gimana sih? Meleyot banget anjir." Kaspian misuh-misuh tapi dengan nada bercanda. Heran dia melihat tubuh Via seperti tak bertulang. Bahkan orang lumpuh pun tidak separah ini.
Via hanya cengir.
"Lu mau minum apa?" tanya Kaspian. Via sudah duduk anteng di sofa empuk ruangan tamu.
"Teh anget aja." Via menjawab setelah mempertimbangkannya sepersekian detik. Tadinya dia ingin milkshake green tea dengan toping es krim alpukat tiga sekop. Tapi kalau dia minta itu, kemungkinan besar Kaspian akan melempar piring ke wajahnya.
"Teh anget, yah ..., tapi di sini nggak ada apa-apa selain air putih. Ini aja, ya?" Kaspian berbalik setelah mengambil air dari galon.
"O-oh? Nggak papa, deh." Via tersenyum rela, sedikit masam.
Duh, babi ganteng ini, terus ngapain nanya kalau nggak ada apa-apa?
"Nih, minum." Kaspian menaruh baskom kecil berisi air di depan Via. Dia sendiri duduk di sebrang kemudian memainkan ponselnya.
Via melongo melihat baskom air di depannya. Ini orang nyuruh minum atau nyuruh cuci tangan?
"Di rumah gue nggak ada gelas. Minum aja. Bersih kok," ujar Kaspian menjawab keheranan Via.
"Oh ... iya." Via tak banyak tanya dan langsung meminumnya. Tak ingin menyinggung.
Jika dilihat-lihat, rumah ini memang tak begitu jelek. Hanya saja, plafon-nya banyak yang telah mengelupas, pun cat dinding yang telah kusam. Lantainya yang berwarna putih sudah retak-retak di mana-mana.
Keadaan hidup Kaspian jauh dari ekspetasi orang-orang. Rasa-rasanya Via tak pernah mendengar rumor tentang hidup Kaspian yang melarat. Dia baru tahu kalau gebetannya ini sangat miskin sampai-sampai gelas pun tak punya.
"Wah, apa gue salah ngegebet orang, ya?" Via tercengang. Tapi sungguh, keadaan Kaspian tidak akan membuat cinta suci nan tulusnya luntur sedikit pun. Tinggal di gubuk tak beratap pun rela asal bisa melihat wajah Kaspian tiap hari.
Hanya saja, Via merasa dirinya perlu melakukan simulasi menjadi gembel terlebih dahulu sebelum menikah dengan Kaspian suatu saat nanti.
"Ngomong-ngomong, nama lu siapa?" tanya Kaspian.
"Vi--" Via mengatupkan mulutnya kembali. Hampir saja menjawab Via. "Vio, nama gue Vio." Dia dengan cepat menemukan nama yang sesuai.
"Oh, Vio. Kenalin, gue Kaspian. Papa bilang lu hilang ingatan, ya?" Kaspian masih mengajak ngobrol tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang dipegangnya.
"Iya. Tapi untungnya gue masih inget nama sendiri." Vio tersenyum pahit. Sandiwara.
"Tenang aja. Kata dokter cepet atau lambat ingatan lu bakal kembali, kok. Untuk sementara lu tinggal di sini sama gua. Anggep aja rumah sendiri."
"Oke!" Vio tersenyum antusias. .
.
.
Berdiri di depan cermin. Vio menatap pantulan dirinya yang gagah, Tubuhnya tinggi dan berotot sedang. Wajahnya pula tampan bercampur cantik. Hidung mancung dan bibir agak merah.
Sedikit mirip aktor Korea.
"Kok bisa gini, ya?" Vio tak bisa mencerna apa yang terjadi. Tapi sungguh, dia tidak mau pusing-pusing memikirkannya. Yang terpenting saat ini, dia punya tubuh yang bagus dan tinggal bersama Kaspian. Benar-benar rezeki nomplok.
"Vio, makan." Kaspian mengetuk daun pintu kamar yang terbuka.
Vio yang tengah bertelanjang dada refleks menyilangkan tangan di depan dada. Terkejut.
"I-iya, bentar. Gue mau ganti baju dulu."
"Oke." Kaspian berkerut dahi. Diperhatikannya pakaian Vio yang menggantung di paku. Hoodie merah dan celana jeans.
"Ngomong-ngomong, kita pernah ketemu nggak? Kok kayaknya penampilan lu nggak asing."
"Nggak pernah, deh. Cuma perasaan lo aja kali." Vio tersenyum canggung. Masa, sih, dia bisa ngenalin gue?
Kaspian mengangguk. "Mungkin iya. Wajah lu cakep kaya model, sih. Jadi keliatan nggak asing."
Huh? Cakep katanya? Wah, buaya jantan ini sudah mulai beraksi. Ckck.
"Haha, makasih. Sekarang bisa nggak lo keluar dulu? Gue mau pake baju, nih." Saat ini, Vio sudah berada di balik tirai. Menyembunyikan badannya dari pandangan jahat Kaspian.
Kenapa pula orang ini malah ngajak ngobrol?
"Kayak anak gadis aja lu!" Kaspian berdecak lalu pergi.
Yee, justru karena gue cowok lo jangan lihat-lihat. Dasar cowok gay. Cari-cari kesempatan aja lo!
***
Vio mengenakan pakaian yang dipinjamkan Kaspian. Ukurannya pas. Nyaman dan wanginya khas. Bau Kaspian masih melekat di sana.
"Ganteng banget gue anjir!" Vio terus mondar-mandir di depan kaca selama beberapa lama. Mengagumi ketampanannya yang luar biasa.
"Tapi ngomong-ngomong, ini harus diapaian, ya?" Pemuda itu mengintip ke dalam celananya. Rasanya aneh melihat ada benda bergelantungan bebas seperti itu di sana.
"Masa gue harus pinjem kolor Kaspian juga, sih?"
"Vio, lu lagi ngapain? Makan nggak?!" Kaspian memanggil untuk yang kesekian kalinya.
"Eh, iya!" Vio buru-buru keluar.
Di meja makan kecil, Pak Jono sudah duduk sambil minum kopi, sementara Kaspian sedang mengisi baskom air di galon.
Di atas meja hanya ada tiga piring. Dua piring masing-masing berisi nasi dan dua potong tempe. Satu piring lagi berisi nasi dan lauk pauk lengkap, berupa secuil sayur capcai, tahu, tempe, dan satu potong paha anak ayam.
Hati Vio berdesir melihat kemiskinan keluarga ini. Padahal hidup mereka seadanya, tapi tak terlihat jejak kenelangsaan di wajah ayah dan anak itu.
"Ayo, Nak Vio. Dimakan dulu." Pak Jono mempersilakan dengan senyum hangat. Pemuda paruh baya itu mengambil salah satu piring berlauk tempe.
"Iya, Pak." Vio mengambil piring berlauk tempe sisanya. Sebab, piring berlauk lengkap sudah pasti milik Kaspian.
Kaspian adalah atlet tinju (tinju liar), dia perlu asupan gizi yang bagus untuk terus meninju orang.
"Lu ngapain? Makan yang ini." Kaspian menarik piring Vio dan menggantinya dengan miliknya.
"Eh? Nggak usah--"
"Lu lagi sakit, harus makan yang bener supaya cepet sembuh," ujar Kaspian seraya menggigit tempenya.
"Bener itu," timpal Pak Jono.
"Kalian ...." Vio sampai tidak bisa berkata-kata karena terharu. Kaspian ini sangat baik, berbanding terbalik dengan image berandalannya di luar sana. Dia rela hanya makan tempe demi orang lain.
"Nggak salah gue pilih gebetan." Vio makan sambil menangis dalam hati.
"So-Food!" Dari luar, terdengar kang delivery memanggil.
Kaspian keluar, lalu kembali dengan dua kotak pizza, burger, dan junkfood lainnya.
Kesemua makanan itu kemudian masuk ke dalam perut Kaspian.
"Lu lagi sakit. Nggak boleh makan makanan cepet saji.," kata Kaspian di sela-sela makannya.
"Anak babi!" Vio menggigit paha anak ayamnya dengan nelangsa. Sebenarnya keluarga ini miskin atau enggak, sih?
***
"Pian, Bapak malam ini tidur di ruang tengah, kamu sama Vio tidur di kamar." Usai makan malam, Pak Jono mengatur tempat tidur.
Vio hampir tersedak air liur mendengarnya.
"Kami tidur sekamar?!" Melotot dia.
"Iya, Nak Vio. Di sini nggak ada kamar lagi. Kamarnya nggak sempit-sempit amat, kok. Cukup buat berdua. Sekalian Pian jagain kamu, jaga-jaga kalau kambuh," jelas Pak Jono.
"Saya udah sembuh total, Pak. Nggak papa, biar saya tidur di luar aja."
"Nggak bisa gitu, dong. Pokoknya kamu tidur di dalam. Biar Kaspian jagain kamu. Nggak usah sungkan, wong sama-sama cowok."
"Justru itu, Pak! Bapak nggak tau yah, anak Bapak itu kan anu! Nganu!" Vio ngoceh dalam hatinya. Kalau dia kasih tahu Pak Jono, kira-kira pria paruh baya ini bakal serangan jantung nggak, yah?
Ya sudah. Pasrah saja. Lagipula kapan lagi bisa tidur deket crush? Meskipun ngeri-ngeri sedap, sih.
"Yaudah, yuk, tidur. Udah malem ini." Kaspian bangkit dan berjalan ke kamar.
Duh, bocah ini. Ngomongnya dikondisikan dong, Kaspian. Kayak ngajak tidur siapa aja.
***
Vio terlentang dengan mata masih terbuka lebar. Sementara dua meter di sampingnya Kaspian berbaring sambil main game.
"Apa nggak papa yah tidur berdua gini?" pikir Vio. Wajah ini terlalu tampan. Bagaimana jika Kaspian liar terus terjadi hal yang iya-iya?
"Lu belum tidur, ya?" tanya Kaspian sembari meliriknya.
"Belum, kenapa?" Vio yang tengah melamun, terkejut, Apa ini? Dia tiba-tiba basa-basi.
"Bosen nggak?"
"Yah ..., gitu deh." Vio menggeser tubuhnya sedikit menjauh.
"Main yuk sama gua. Mau nggak?" tawar Kaspian sambil bangun lalu meregangkan badannya.
"Ha? Ma-main apaan maksud lo?" Vio makin nempel ke tembok. Nggak bener ini.
"Main ludo anjir. Ngapa lu melotot? Bosen gua."
"O-oh ..., ludo ...." Vio haha hihi. Cengengesan. Preman kampus kok main ludo?
"Yok, yang kalah kena jitak ya."
"Oke. Siap-siap pala lo benjol!" Vio bersemangat. Kudu menang. Sebab kalau kalah, pasti bukan jitakan yang akan dia dapatkan, melainkan tonjokan.