Chapter 4 - Bab 3

Kaspian sampai ke alamat yang Radit kirimkan dan melihat temannya itu sedang meringis-ringis kesakitan. Wajahnya bonyok-bonyok.

"Di mana Vio?!"

"Tadi dibawa ke arah sana. Gue berusaha nolong tapi cewek-cewek jadi-jadian itu kuat banget!"

Kaspian tidak mengatakan sepatah kata pun lagi dan langsung bergegas ke arah yang ditunjukkan Radit.

"Vio?!" Dia memanggil dengan suara serak. Di depan salah satu bangunan kosong, Kaspian melihat motor matic biru yang tidak asing. Terdengar pula suara ribut dari dalam.

Kaspian bergegas masuk.

"Vio--"

Lelaki itu tertegun begitu melihat pemandangan kacau di dalam sana.

Vio meringkuk di pojok ruangan dengan keadaan terikat. Sementara beberapa wanita jadi-jadian itu berserakan di lantai. Meringis. Meraung. Terlihat benjolan-benjolan mengerikan di kepala mereka.

Lalu, seorang pemuda yang tampak familiar berdiri sambil mengayunkan mainan mematikan yang telah menumbangkan para penjahat itu.

"Mau main sekali lagi?" Ia menatap para waria itu satu per satu sambil tersenyum.

"Ampun! Ampyuni akika!"

"Hohong hahang haki!" Bicaranya tidak jelas sebab giginya telah rontok dihantam latto-latto.

Kaspian mengabaikan mereka dan bergegas menghampiri Vio. Dia membuka tali yang mengikat pemuda malang itu.

"Lu ngapain si sampe ketemu yang beginian? Gue bilang langsung pulang naek taksi! Udah tau nggak kenal daerah sekitar sini, malah keluyuran! Gila lu!" Melihat kondisi Vio, Kaspian geram. Entah apa yang terjadi pada cowok cantik ini kalau takdir berkata lain.

Vio berdecak pelan. Apa-apaan manusia ini? Datang-datang langsung marah-marah.

"Lu itu--" Kaspian hendak memuntahkan kata-kata pedasnya lagi, tapi Vio bangkit, mengabaikannya dan berjalan tertatih-tatih ke arah  pemuda yang masih berdiri di belakang.

Kaspian menatap tembok kosong. Alisnya berkerut.

"Kamu ... bisa anterin aku ke rumah sakit nggak?" tanya Vio pada orang yang telah menyelamatkannya itu.

"Kaki kamu cedera, yah? Yaudah sini biar aku bantu."

"Makasih." Vio tersenyum. Lelaki itu memapahnya keluar.

Kaspian agak merinding. Aku kamu katanya? Dia merasa geli dan sebal mendengarnya.

"Hey!" Dia bangkit dan meraih Vio secara paksa.

"Eh?! Apa-apaan sih lo?!" Vio memelototinya.

"Pulang sama gue," ujarnya dingin. Dia mencengkram bahu Vio kuat sampai-sampai Vio tidak bisa memberontak.

"Lepas!" Vio meringis. Kaspian mengabaikannya dan terus membawanya paksa. Namun, sebelum benar-benar keluar, dia berhenti.

"Marvin." Kaspian menengok pada lelaki yang berdiri mematung di belakang.

"Kalau sampai lu sentuh yang ini, gue nggak akan tinggal diam," ujarnya kemudian berlalu.

Pemuda bernama Marvin itu mengerutkan kening, kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepala.

***

"Lepasin tangan lo! Sakit!" Vio berkata dengan geram. Matanya sudah memerah karena menahan sakit di bahu dan kakinya. Apa-apaan tangan orang ini? Pegangin orang kaya pegangin tali kekang sapi aja.

Mendengar Vio meringis sampai hampir menangis, Kaspian melonggarkan tangannya.

"Nangis lu?" Dia menengok dan melihat mata Vio sudah berkaca-kaca.

"Babi lu!"

Kaspian tidak habis pikir. Dia menarik sebelah sudut bibirnya, mencibir. "Lemah amat jadi cowok! Gitu doang nangis. Kayak tulang lu retak aja."

Vio tak menyahutinya. Bahunya sakit bukan main.

"Kejam banget ni orang. Bisa-bisanya gue suka sama dia."

"Ah!" Vio berjongkok sambil memegangi bahunya. Sekarang, rasa sakit di kakinya karena digeprek batu kalah oleh rasa ngilu di bahunya.

"Yang bener aja lu?" Kaspian berdecak. Dia menyingkapkan lengan baju Vio. Wajahnya yang dingin seketika membeku begitu melihat memar di bahu Vio yang berbentuk lima jari.

Kaspian kelimpungan. Pantas saja anak ini sampai menangis. Dia sungguh sulit mengontrol kekuatan saat sedang panik.

"Hah ...." Lelaki itu memijat keningnya pusing.

"Sorry. Kita harus cepet ke rumah sakit." Nada bicaranya berubah menjadi lembut. Kaspian kembali memapahnya sampai ke depan di mana dia memikirkan motornya.

Namun, kepala Kaspian hanya semakin sakit saat tidak melihat motornya di sana. Si Radit juga hilang. Pasti dia yang membawa motornya pergi.

"Lu kuat nggak jalan sampai ke depan?" tanya Kaspian.

Vio hanya meringis tanda tidak kuat.

Kaspian menghela napas. Dia kemudian berjongkok di depan Vio.

"Cepet. Gue gendong sampe depan."

"Hah?" Vio agak tercengang. Apa nih?

"Ng-nggak usah! Gue masih bisa merangkak kok--"

"Kadal lu? Udah cepetan." Kaspian tak menerima bantahan. Bisa gawat kalau Vio tidak cepat ditangani.

"Tapi gue berat."

"Badan gua kuat."

"Tapi apa lo nggak malu--"

"Udah, jangan banyak omong. Cepet."

"Iya yaudah." Vio menghela napas dan dengan ragu naik ke punggung Kaspian.

Mereka tidak punya pilihan lain. Lagipula Vio juga sudah tidak kuat menahan rasa sakit.

Kaspian menggendongnya tanpa terlihat kesulitan sedikit pun.

Vio canggung-canggung suka. Dia canggung karena saat ini fisiknya adalah laki-laki.

"Lo nggak geli, yah? Ngegendong cowok." Di tengah perjalanan, dia tiba-tiba ingin menggoda Kaspian.

"Lu cowok? Bukannya cewek, yah?"

"Huh?" Vio tertegun. Kaspian tahu?

"Soalnya mana ada cowok lembek kayak lu. Udah cengeng, rapuh, tipis lagi." Kaspian tiba-tiba nge-roasting.

"Dih. Orang mana yang nggak bakal nangis kalau tulangnya diretakin kayak tadi?" Vio mengerling.

Kaspian bungkam sejenak.

"Sorry."

"Nggak gue maafin. Gue bilangin lo yah sama Pak Jono."

Kaspian diam lagi. Sesaat kemudian, bicara lagi dengan topik baru.

"Ngomong-ngomong, kedepannya lu jangan ngomong aku-kamu sama cowok yang baru dikenal, ya."

"Loh, kenapa?" Vio bingung. Kenapa dia tiba-tiba bilang begitu?

"Bukannya malah nggak sopan kalau baru kenal langsung lo-gue?"

"Sopan lah kalau sama seumuran. Ngomong aku-kamu sama cowok zaman sekarang bahaya. Banyak yang belok, apalagi di kota ini. Bisa-bisa mereka nyangka lu suka kalau ngomongnya gitu." Kaspian berkata dengan nada menasehati.

"Oh ...." Vio mencebik. Ini orang lagi ngomongin diri sendiri, ya?

"Gitu, yah. Ternyata banyak yang geh di kota ini, jangan-jangan lo termasuk lagi?" Pancing Vio.

"Dih najis!"

Vio tertawa renyah. Bisa aja akting lu Kaspian.

.

.

.

"Keduanya mengalami keretakan. Cedera tulang kaki paling parah, tapi Anda tidak perlu khawatir, retaknya terbilang sangat ringan. Kemungkinan akan sembuh dalam waktu satu bulan kurang atau lebih." Dokter Tedi memaparkan. Dokter ini adalah dokter yang sama yang menangani Vio selepas kecelakaan tempo hari.

"Apa perlu rawat inap, Dok?" tanya Kaspian.

"Sebenarnya tidak perlu. Tapi memang disarankan untuk rawat inap selama beberapa hari agar penyembuhannya lebih efektif."

Kaspian mengangguk. "Kalau begitu rawat inap saja."

Vio memandanginya. Sepertinya perlu biaya yang cukup besar kalau dia harus menginap di rumah sakit.

"Kayaknya nggak perlu rawat inap, deh. Gue nggak papa. Lagian dokter bilang ini cedera ringan." Vio berkata setelah Dokter Tedi keluar.

"Udah nggak papa. Biar cepet sembuh."

"Tapi biaya rumah sakit kayaknya mahal. Emang lo ada duit?" Setahu Vio, cowok ini miskin.

"Nggak ada, sih. Tapi lu tenang aja, biaya rumah sakit ini gratis buat gue."

"Gratis?" Vio tak mengerti.

"Pokoknya gratis--" Kaspian merogoh ponselnya yang berdering.

[Eh, Kaspian. Lo sengaja yah ninggalin gue?] Suara Erik yang ketus langsung terdengar begitu Kaspian mengangkat panggilan.

"Ah ...." Kaspian baru sadar kalau dia meninggalkan Erik saking terburu-burunya.

"Sorry, sorry, gue kelewat panik."

Mendengar nada bicara lembut Kaspian, Vio mencibir dalam hati. Pada dirinya saja Kaspian galak, giliran sama Erik aja baik.

[Dasar lo! Cepet jemput gue sekarang.]

"Ya udah, tunggu bentar." Kaspian menutup telponnya.

"Gua mau jemput Erik dulu. Lu tunggu di sini. Kalau ada apa-apa panggil suster." Kaspian bangkit.

"Temen lo cowok dan sehat walafiat 'kan? Apa nggak bisa pulang sendiri?" Vio berujar sembari mengelus bahunya yang berdenyut. Si Erik terlalu slay, manjanya kelewatan.

"Nggak bisa."

"Sus banget kalian. Kayak orang pacaran aja. Ngaku aja, sebenarnya lo gay 'kan?" Vio blak-blakan.

"Suka-suka lu!" Kaspian menoyor jidatnya sebelum akhirnya bergegas pergi.

"Anjir!"