Chapter 6 - Bab 5

"Nak Vio, ini Handphone Nak Vio, sudah selesai diperbaiki. Tapi katanya semua data di dalamnya hilang." Pak Jono menyerahkan ponsel berwarna hitam.

"Oh, makasih, Pak." Vio segera memeriksanya. Benar saja, semua data di dalamnya hilang.

"Andai data-datanya masih bisa diselamatkan, mungkin kita bisa menghubungi keluarga atau kenalan Nak Vio." Pak Jono menghela napas.

Bagaimana tidak hilang? Saat kecelakaan ponsel ini hancur tergilas mobil. Sekarang sebagian besar mesin dan body-nya sudah diganti. Vio bahkan hampir tidak mengenali ponselnya sendiri.

"Nggak apa-apa, Pak. Dokter bilang cepat atau lambat ingatan saya bakal kembali. Oh ya, ngomong-ngomong Kaspian kemana, Pak?"

Hari ini, Kaspian sama sekali belum menjenguknya. Biasanya dia akan datang setiap pagi, siang, lalu malam. Sekarang sudah sore dan dia belum datang sama sekali.

Sepertinya Kaspian masih marah.

"Bapak juga belum lihat dia hari ini. Kayaknya sibuk di kampus."

Vio mengangguk.

Hari ini dia bosan sekali. Terlebih, Radit sudah pulang tadi pagi. Untung saja kamar VIP punya akses internet gratis, jadi dia hanya scroll toktik sampai malam.

[Kas?]

Jenuh dengan toktik, Vio mencoba menghubungi Kaspian dengan nomor barunya.

[Ini gue Vio. Lo masih marah?]

[Kas?]

Padahal akunnya aktif, tetapi Kaspian tak kunjung membalas.

[Kaspian.]

[Hello]

[P]

[P]

Vio spam chat sampai berpuluh-puluh, tapi pesannya bahkan tidak dilihat.

"Awas aja lo ya!" Vio berdecak. Dia meletakkan ponselnya lalu berbaring dengan malas. Namun, sedetik kemudian ponselnya berdering.

Vio segera mengangkatnya.

[Ngapain lu spam chat?] Suara ngantuk Kaspian terdengar dari sebrang sana.

"Nggak, gue cuma mau mastiin lo masih hidup. Kemana aja lo? Tumben nggak dateng."

[....] Kaspian hening.

"Hallo? Kaspian?"

[Kalau nggak ada yang penting, gua tutup telponnya. Jangan spam lagi, gua mau tidur.]

Tutt

"Dih?" Vio menghela napas. "Ni orang marahnya lama kek bocah," gerutunya. Dia turun dari matras dan duduk di kursi rodanya. Sebenarnya kakinya sudah tidak terasa sakit, tapi dia harus tetap berhati-hati agar bisa sembuh total.

Mumpung masih belum terlalu larut, dia ingin mencari udara segar. Baru saja dia keluar dari pintu, pandangannya langsung terpaku pada seseorang yang tidur tengkurap di kursi panjang.

"Eh?" Vio tidak salah lihat, itu Kaspian. "Ngapain ni anak tidur di sini?"

"Sudah beberapa malam dia selalu tidur di sana," ujar seorang suster yang lewat di sampingnya.

"Huh?" Vio meliriknya.

Suster itu hanya mengedikkan bahu lalu pergi.

Vio kembali mengalihkan perhatiannya pada Kaspian. Apa orang ini tidur di sini untuk menungguinya? Yah, memangnya buat apa lagi.

Vio tersenyum kecil. Benar apa yang dikatakan Radit, Kaspian adalah tipe tsundere. Diam-diam perhatian dan peduli.

Tapi apa badannya tidak sakit tidur di kursi keras seperti itu? Vio segera mendekat dan mengguncangnya.

"Kas, Kaspian. Pindah ke dalem heh."

.

.

.

Subuh tiba dan Vio telah membukanya. Rasa kantuknya hilang entah ke mana. Dia menengok ke samping dan melihat Kaspian yang tampaknya masih terlelap di ranjang bekas radit.

Vio menatapnya lekat. Beberapa orang dikaruniai wajah bagus hingga bahkan saat tidur pun terlihat masih tampan. Beberapa hari ini Kaspian tidur di luar, masih untung dia tidak diculik suster ngesot mengingat rupanya yang begitu.

Ah, meski ganteng, tapi tempramennya buruk, suster ngesot pun pasti ngeri dengannya. Pikir Vio sambil senyum-senyum sendiri.

"Apa? Kenapa lu ngeliatin gua segitunya?" Kaspian tiba-tiba bersuara membuat Vio terperenjat kaget. Dia langsung memalingkan wajahnya.

"Haha …, ng-nggak."

Asem, sejak kapan ni anak bangun?

Kaspian membuka matanya dan menengok pada Vio dengan kerutan kening.

Waduh, jangan-jangan dia nyangka yang nggak-nggak lagi. Vio berdehem kecil lalu bangun.

"Kenapa lo tidur di luar? Kenapa nggak di dalem aja, sih? Di luar kan nggak nyaman sama dingin juga."

"Gua ketiduran," kilah Kaspian.

Ciah, Kaspian tsun tsun. Masa ketiduran sampai berhari-hari? Vio menggeleng pelan. Pura-pura percaya saja.

"Ah … gue mau mandi dulu." Vio turun dari tempat tidur dengan hati-hati.

"Bisa sendiri? Atau gua panggilin suster?" tawar Kaspian. Dia mengernyit melihat Vio yang berusaha berjalan sendiri.

"Nggak papa. Kaki gue udah nggak terlalu sakit. Hampir sembuh ini—" Vio tak sempat menyelesaikan kalimatnya begitu kakinya tergelincir dan dia terjatuh dengan posisi tengkurap.

Bugh

Akan tetapi, Kaspian menjulurkan kaki panjangnya dan menopang tubuh Vio tepat waktu.

"Ah—"

"Ck. Hampir aja rata sama ubin tuh muka lu." Kaspian bangun setelah Vio berdiri kembali sambil haha hihi.

"Hehe. Keseleo dikit."

"Sini gua bantu." Kaspian memapah Vio menuju kamar mandi.

"Perlu gua bantu mandi juga?"

"Idih … najis." Vio menutup kamar mandi dengan sedikit dibanting.

"Niat bantuin juga. Lu kira gua apa? Awas lu kepleset di kamar mandi." Kaspian kembali ke tempatnya sambil memandang pintu kamar mandi dengan khawatir.

Kepleset di tempat lain paling cuma lecet dikit, tapi kalau terpeleset di kamar mandi, lima puluh persen kepala akan bocor, lima puluh persen sisanya dipastikan meninggal.

Setelah lima belas menit berada di kamar mandi, Vio keluar dengan tubuh yang sudah segar. Handuk putih melilit di pinggangnya.

"Seger banget weh! Mau mandi sekarang nggak lo?" tanya Vio sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

Mendengar Kaspian hening, dia menengok dan melihat laki-laki itu hanya menatapnya dengan alis terangkat.

"Apa lo liat-liat?" Vio menghalangi tubuh atasnya dengan handuk kecil. Oh ya ampun, dia lupa kalau dirinya adalah perempuan, ah tapi 'kan sekarang laki-laki, berarti tak apa-apa jika Kaspian melihatnya.

Entah kenapa sekarang Vio sudah merasa tidak malu lagi saat orang lain melihat bagian tubuhnya. Jangan-jangan dia sudah mendalami peran sebagai pria?

Kaspian memalingkan wajahnya ke arah lain tanpa mengatakan apa pun. Vio tak tahu apa yang orang ini pikirkan.

"Luamayan juga ni anak, tapi masih bagusan juga badan gua," gumam Kaspian dalam hati.

Vio berjalan menuju lemari dengan hati-hati. Saat dia hendak membuka lemari, kakinya yang masih di-gips tiba-tiba berdenyut nyeri membuatnya hampir ambruk seketika.

"Argh!" Vio bertopang pada lemari. Tubuhnya gemetar dan handuk yang dikenakannya melorot. Makin menjadi-jadi paniknya. Sakit bercampur malu.

"Vio!" Kaspian yang hendak membantu langsung mematung. Dia buru-buru memalingkan wajahnya.

"Ukhh! Tolongin gue!" Vio ambruk ke lantai. Handuknya ia duduki, susah diambil. Mau berdiri lagi tapi kakinya serasa mau patah. Sial! Situasi macam apa ini?

Mendengar Vio meringis kesakitan, Kaspian tak punya pilihan lain selain menghampirinya.

"Nggak! Jangan ke sini!" Vio berseru mendengar Kaspian mendekat.

"Terus lu mau terus gitu?"

"Uh … ya-yaudah tapi tutup mata lo!"

"Tanggung. Udah gue liat."

***

"Kaspian jam segini kenapa belum dateng, ya? Katanya mau ngerjain PR. Nomornya juga nggak aktif lagi." Erik melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul delapan kurang.

Circle Kaspian sudah berkumpul di kelas. Sebentar lagi kelas akan dimulai, tapi Kaspian belum menunjukkan batang hidungnya. Kacau jika dia berani bolos lagi bulan ini.

"Masih di rumah sakit kali. Emang Vio belum sembuh ya, Dit?" Cahya melirik Radit yang tengah sibuk dengan HP-nya sambil senyum-senyum.

"Belum. Biar gue jemput Kaspian. Masih ada waktu bentar." Radit bangkit dan bergegas.

"Ih, tumben ni anak punya inisiatif?"

Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk Radit sampai di Rumah Sakit KHL.

Begitu sampai, dia langsung menuju lantai atas. Namun, tidak langsung ke kamar Vio, melainkan belok ke tempat di mana suster manis itu bekerja.

Suster itu biasanya berkeliaran di sekitar sana. Namun, kali ini Radit tidak melihatnya. Mungkin dia berada di kamar mayat? Wah, asem.

Di antara teman-teman Kaspian, Radit paling penakut. Tapi demi cinta pandangan pertamanya, dia harus berani. Setidaknya, minimal dia harus tahu namanya 'kan?

Pemuda itu menelan ludah terlebih dahulu sebelum membuka pintu kamar mayat itu.

"Sus …." Radit tertegun begitu melihat ke dalam. Bukan mayat yang dia lihat, tapi hanya tumpukan barang yang disusun dengan rapi. Radit menutupnya, lalu membukanya lagi, masih sama.

"Loh? Bukan kamar mayat?"

"Permisi." Seseorang menepuk pundaknya. Radit berbalik dengan terkejut.

"Apa ada yang bisa saya bantu?" Suster itu bertanya.

"O-oh …, itu, bukannya ini kamar mayat?" Radit heran.

"Kamar mayat? Bukan, ini gudang. Kamar mayat ada di lantai bawah. Apa Anda ingin menjemput jasad keluarga Anda?"

Radit menggeleng.

"Ah, bukan. Saya sedang mencari seseorang, Suster yang biasanya ada di sini, dia punya tahi lalat di dagu. Agak pendek dan ramping. Di mana dia?"

"Tahi lalat di dagu …." Suster itu tampak berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Tidak ada suster dengan ciri-ciri seperti itu di lantai VIP. Mungkinkah dia pasien atau orang lain, bukan suster?"

Radit tertegun. Masa tidak ada, sih?

"Kalau tidak ada hal lain, saya permisi."

"O-oh, iya. Terimakasih, Sus." Radit menggaruk kepalanya tak gatal.

"Oh, ya." Suster itu berhenti dan berbalik.

"Sebaiknya Anda jangan berkeliaran di lorong ini, terlebih pada malam hari. Lampunya sering mati."

***

"Vio, nggak makan lo?" Sambil menyeruput kopi, Kaspian melirik Vio yang usel-uselan di bawah selimut.

"Gua belum laper." Meski bilang begitu, tapi perutnya berbunyi sangat keras. Dia sangat lapar, tapi rasa malunya lebih besar. Sungguh, Vio rasanya ingin menghilang saja dari dunia ini agar tidak bertatap muka dengan Kaspian lagi.

Kaspian mengulum tawa melihat tingkahnya.

"Lu kenapa, sih? Udah, lupain aja. Nggak usah malu. Punya lu nggak kecil-kecil amat kok." Entah dia ingin menghibur atau menggoda.

Sialan ni anak. Vio semakin nyungsep saja.

"Tau ah! Cepet berangkat kek lo!"

"Iya, yaudah gua berangkat." Kaspian menandaskan kopi susunya lantas bergegas.

Sementara Vio mulai memukul-mukul bantal sambil meraung-raung.

"Mampus mampus gue!"

***

"Kaspian, lo dari mana aja, si? Untung Pak Juned kejebak macet, kalau enggak bisa habis lo!" Erik berdecak-decak pelan.

"Biasa lah." Kaspian menghempaskan dirinya ke kursi dan bersandar. Tak lama kemudian dosen mereka masuk.

Sepanjang kelas, Kaspian tak terlalu fokus. Dia lebih banyak melamun.

Radit dan Erik yang duduk di sampingnya melihat dia dengan heran. Beberapa kali tersenyum tipis, dan terus berkerut dahi. Gila ni anak.

"Kenapa lo? Ada masalah?" tanya Erik.

"Atau sakit pala?" tambah Radit.

Kaspian menggeleng. Dia menggigit bibirnya pelan. Dih, makin aneh saja tingkahnya.

"Gua juga pernah liat punya kalian, tapi yang ini rasanya beda …."

"Ngomong apaan sih lo?"

"Gajelas lo, Kas. Eh, btw, lo mau ke rumah sakit 'kan nanti? Gue ikut, ya," kata Radit.

"Gue ikut juga," ujar Erik.

"Gue juga," sambung David.

"Watashi ikut dong."

Kaspian melirik teman-temannya malas. Ngapain juga nih para cebong mau ikut.

.

.

.

"Oh ini yang namanya Vio. Cantik, ye. Eh, ganteng maksud watashi." Zenal mencolek dagu Vio gemas.

"Ah haha … makasih." Vio hanya mesem-mesem pada teman-teman Kaspian. Waduh, mau apa nih geng tulang lunak kemari?

Erik si wajah cantik, David si cowok dempul, dan Zenal si paling letoy, udah letoy, wibu pula. Vio tahu betul teman-teman Kaspian ini. Sekumpulan manusia sesat dan menyimpang ini terkenal di seantero kampus karena keunikan mereka, dikenal sebagai Geng F5, terinspirasi F4-nya Korea yang terdiri dari cowok-cowok ganteng nan tajir melintir. Yang ini juga pada ganteng, sih, bedanya mereka nggak gagah, plus agak sedeng.

Di antara mereka, hanya Kaspian dan Radit yang bertingkah selayaknya laki-laki pada umumnya.

"Gimana, Vi, udah mendingan? Ini kita bawain sate buat lo," ujar David.

"Tadasii. Ini sate khusus buat Vio-chan." Zenal dengan cekatan membuka bingkisan sate itu dan meletakkannya di piring, tidak lupa pula nasi putih yang masih mengepul.

"W-wah … kalian repot-repot …." Vio menatap mereka tak enak hati.

"Tapi kebetulan gue belum makan." Dia melirik Kaspian yang hanya duduk menyimak sambil cengir kecil. Napa ni orang? Cungar-cengir kayak kambing.

"Ya udah cepet makan. Mau watashi suapin?" tawar Zenal.

"Nggak usah, makasih. Gue bisa sendiri."

Vio segera makan dengan lahap sambil mengobrol kecil dengan mereka.

"Jadi ya, pas gue mau minta nomer telpon suster manis itu tadi pagi, dia nggak ada. Kamar mayatnya juga ternyata bukan kamar mayat. Terus salah satu suster bilang kalau di sini tuh nggak ada suster dengan ciri-ciri yang gue sebutin. Aneh, banget 'kan?" Radit bercerita dengan raut wajah serius. Dia menatap teman-temannya yang menyimak ceritanya dengan serius pula.

Mendengar cerita Radit, mereka hanya melongo.

"Kok bisa gitu, ya? Aneh." Vio menggaruk kepala tak gatal. Ikut heran.

"Bener. Aneh." Erik mengangguk.

"Iya 'kan? Aneh bener, kayaknya dia bukan manusia deh," tebak Vio.

"Bukan itu maksud gue. Si Radit-nya yang aneh, emang sejak kapan lo suka sama cewek sih, Dit?" Erik menatap Radit dengan alis mengernyit.

"Hooh. Kok tiba-tiba naksir cewek. Gue pikir gue salah denger. Jadi lo mutusin buat jadi normal lagi, Dit? Nggak suka cowok lagi nih?" ujar David.

"Hah?" Vio cengo. Menatap mereka dengan bingung. "Maksudnya?"

"Ini, Radit-chan kan nggak suka cewek. Beliau ini gay, kok tiba-tiba naksir suster, sih?"

"Gay? Gay?" Vio ternganga. Potongan sate terakhir di mulutnya terjatuh begitu saja ke piring. Dia menatap Radit yang tak memberikan reaksi pembantahan apa pun.

"Lo gay?!" Vio syok.

"Kenapa? Gue udah biasa kok liat reaksi begini." Radit berdehem sambil memalingkan wajahnya dengan ekspresi tertindas.

"Enggak, bukan gitu maksud gue … tapi kenapa lo nggak bilang sama gue?!"

"Ya lo nggak nanya."

"Itu …." Vio sungguh tak percaya. "Jadi selama ini gue tinggal sekamar sama cowok gay!" Dia menyilangkan tangan di dadanya. Ngeri, anjir. Bisa-bisanya dirinya tidak menyadari kebelokan Radit.

Vio melirik Kaspian yang hanya mengedikkan bahunya. Kenapa pula orang ini tidak memberitahunya?

"Heh, gue cuma gay yah, bukan penjahat kelamin!"

"Wkwk udah, nggak papa Vio. Si Radit nggak mungkin nyamber pacar temen sendiri." David terkekeh. "Bisa-bisa dia ditampol Kaspian nanti kalo sampe apa-apaain lo."

"Pala lu gua tampol sini!" Kaspian menggeplak kepala David dari belakang.

Mereka tertawa terbahak.

"Sorry ya Vio, gue nggak bermaksud bohongin lo. Lagian lo udah gue anggep adek sendiri," ucap Radit.

"Ya udah sih nggak papa. Gue cuma kaget aja." Vio cengir kecil. Ya mau bagaimana lagi kalau Radit gay? Zaman sekarang udah nggak aneh. Hanya saja, dia pikir Radit yang paling normal di geng duyung darat ini, ternyata malah yang paling parah.

" Ah, btw, makasih ya buat satenya. Enak banget. Kalian beli dimana?" Vio menjilati bumbu sate di jari-jarinya.

"Bukan beli. Ini dikirim nenek gue. Katanya sate testis kambing bagus buat orang sakit. Yaudah gue bawa buat lo, biar cepet sembuh," ujar David.

"Hah? Gimana?" Vio cengo.

"Oh … gue belum bilang ya kalau itu sate … anu kambing?" David mesem.

Waduh. Vio melotot. Lambungnya refleks mual.

"Ugh! Napa lo nggak bilang? Uhgjdvdkgugeu!" Vio mencoba muntah beberapa kali, namun sate silit kambing itu tampaknya sudah betah di perutnya.

"Wkwk udah terlanjur Vio, cerna aja."

"Bangsat ya lo pada!"

"Haha asyik juga ni anak."

Mereka cekikikan puas. Kali ini, Kaspian juga ikut tertawa, tanpa suara.

Vio melotot padanya dengan sebal. Pantes aja ni orang cungar-cengir mulu dari tadi.

"Jadi gimana? Malem ini kita jadi hunting suster goib itu?" Setelah puas menertawakan Vio, mereka kembali ke topik asal mengenai misteri suster manis kecengan Radit.

"Nggak usah lah, gue cuma penasaran. Ada syukur nggak ada ya biarin." Radit mengibaskan tangannya.

"Yee, padahal kita udah seneng lo naksir cewek." David kecewa.

"Kalau misal nanti lo ternyata nggak bisa move on dari mbak suster itu, jangan sungkan minta bantuan kita. Kita pasti bantu lo nyari dia sampe dapet." Erik menepuk pundak Radit.

"Betul, dunia ghoib pun kia jabanin, watashi punya banyak kenalan dukun."

"Kagak lah, ngapain repot-repot mikirin satu cewek, ghoib lagi. Masih banyak cowok-cowok manis yang ngantri jadi uke gue."

Vio hanya cengir kambing. Oh, seme toh.

.

.

.

Sudah satu jam sejak teman-teman Kaspian pulang. Vio selonjoran di kasur sambil melamun.

"Kas, lo … tau cewek yang namanya Via nggak?" Dia menengok pada Kaspian yang tengah fokus membaca buku.

"Via?" Kaspian refleks mengangkat kepalanya dengan kerutan di dahi seolah terkejut.

"Itu … gue lihat namanya di buku yang ada dalem tas gue. Terus kayaknya gue inget sesuatu tentang cewek ini." Vio berbohong dengan cukup baik.

Beberapa hari ini dia terlalu terlena dengan kehidupan bersama Kaspian sampai melupakan sejenak masalah tak masuk akal itu.

"Gue nggak kenal." Kaspian menggeleng secara mengejutkan.

"Coba lo inget-inget lagi deh. Siapa tau ada yang namanya Via, entah itu temen kampus lo atau siapa pun," desak Vio. Masa ni orang lupa? Belum lama ini 'kan 'Via' nembak dia, terus sekarang satu kampus pasti heboh karena Via tiba-tiba ngilang.

Kaspian tampak berpikir keras namun lagi-lagi menggeleng.

"Nggak ada, beneran."

"Temen kampus lo? Nggak ada?"

"Kayaknya emang nggak ada deh." Radit yang masih lenyeh-lenyeh di sofa—berbunyi.

"Masa, sih?" Vio bergumam heran. Otaknya tiba-tiba jadi ngeblank.

Duk

Sebuah toyoran di jidat membangunkannya dari lamunan.

"Ingetan lo udah balik?" Kaspian yang entah sejak kapan bergeser ke dekatnya menatap selidik.

"Belum. Pala gue pusing, gue mau tidur." Vio berbaring.

"Gue juga mau balik dah, udah malem ini." Radit berpamitan lalu pergi.

Kaspian juga meletakkan bukunya dan naik ke atas tempat tidurnya.

Krtekk

Bunyi kayu yang patah terdengar jelas, sedetik kemudian ranjang yang ditempati Kaspian ambruk.

Brugh

"Eh eh?!"

"Babi!" Kaspian mengumpat dan melompat turun dengan sigap.

"Waduh, kok bisa ambruk jir, lo gajah apa gimana?" Vio menepuk kepalanya.

Kaspian berkacak pinggang bingung.

"Terus gua tidur di mana malem ini woy?"

"Bingung amat. Tidur sama gue aja sini." Vio cengir sambil menaik turunkan alisnya.

"Dih."

"Canda. Noh ada selimut cadangan di lemari. Tidur aja di lantai." Vio berebah.

Kaspian tidak mengatakan apa pun lagi. Dia lekas mengambil selimut di lemari.

"Geser." Dia menepuk pundak Vio.

"Dih? Lo mau tidur di sini?"

"Yakali di lantai. Najis gua."

"Tapi masa seranjang berdua?" Vio melotot. Enggak, dia belum siap tidur sekasur bareng pujaan hati, bisa salting brutal semaleman ini.

"Yaudah kalo gitu lo yang tidur di bawah." Kaspian naik dan langsung tidur telentang di samping Vio.

"Sinting, yakali gue sakit suruh tidur di lantai." Vio masih dengan mata melototnya, namun yang dipelototi tidak mengindahkan.

"Belajar di bawah, cuma satu orang yang boleh di atas," ujar Kaspian.

Hah gimane-giamne? Kenapa kedengerannya ambigu? Vio sudah tidak mampu berpikir suci kalau sudah seranjang begini.

"Enak aja. Gue juga mau di atas." Vio tak mau mengalah. Kalau tak ada yang mau mengalah begini, dua-duanya di atas juga nggak papa kayaknya.

Ah, yaudahlah. Untung kasurnya gede.

"Awas lo ya ngelewatin batas ini." Vio meletakkan guling di antara mereka. Sebuah adegan klise.

"Tapi, pertama-tama gue harus mastiin dulu, biar gak zonk kaya sebelumnya. Lo gay apa straight?" Vio menatap pria itu selidik.

Kaspian membuka matanya kembali, dia mencondongkan tubuhnya pada Vio dan memegang dagu lelaki berwajah manis itu tanpa diduga.

"Menurut lu?"

Hening. Otak Vio ngeblank lagi.

"Me-menurut gue … ya mana gue tau lah bambang!"

"Beberapa waktu ke belakang gua straight." Kaspian kembali ke posisinya. Melipat kedua tangan ke belakang kepala.

"Kalau sekarang?"

"Nggak tau. Mau bantu tes?" Kaspian memonyongkan bibirnya berlagak hendak mencium.

"Najis, kesurupan apa lu monyet?!" Vio refleks menimpuk wajah gantengnya dengan bantal.

Najis apa nais, Vi?

Kaspian ketawa ringan  sementara Vio terus menggebuginya dengan bantal dan guling.

"Mati kek lo!"

Saltingnya ngeri euy.

.

.

.

Pagi hari ketika terbangun, Vio merasakan tangannya mati rasa. Begitu membuka mata dia mendapati Kaspian tidur ganteng di lengannya.

"Anjir, apa nggak kebalik? Harusnya gue yang tidur di lengan lo." Vio tak habis thingking.

"Kas, bangun Kas, lo nggak kuliah?" Via mengguncangnya pelan.

"Hmm …, hari minggu bego." Kaspian berucap pelan. Dia mengubah posisinya menjadi miring lalu memeluk Vio dengan entengnya.

"Heh! Sinting lo?!" Vio refleks menendangnya hingga rasa kantuk Kaspian kabur entah kemana. Dia langsung duduk dan membuka matanya.

"Sorry, gue kira guling." Kaspian menggeliat. Rambutnya yang agak panjang berantakan tak karuan.

Malah tambah ganteng.

Waduh goblok, seganteng ini kenapa malah gue dorong?

Vio langsung memaki diri sendiri. Kesempatan sebagus itu malah dia sia-siakan. Kan mubajir.

"Nyenyak tidur lu?" tanya Kaspian sambil beranjak. Tumben basa-basi.

"Nyenyak. Lu gimana?"

"Nggak sama sekali. Kaki sama tangan lu nggak mau diem tuh. Tidur doang udah kek ngereog lu."

"Maaf. Kita minta ranjang baru aja nanti." Vio cengir. Dia turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi.

Tok Tok

Suara ketukan di pintu. Kaspian bergegas membukanya. Tampaklah seorang pria paruh baya yang memakai helm kuning. Sepertinya tukang.

"Permisi, saya mau ambil kapak saya yang kemaren," ujar pria itu.

"Oh, bentar, Pak."

Kaspian mengambil sebuah kapak yang berada di atas lemari dan menyerahkannya beserta selembar uang merah.

"Makasih banyak, Pak."

Bapak itu tersenyum sumringah dan mengangguk. "Sama-sama, Den. Lain kali kalau mau pinjem kapak ke saya aja lagi ya. Permisi."

"Siapa, Kas?" Vio keluar dari kamar mandi sambil sikat gigi.

"Bukan siapa-siapa." Kaspian menutup pintu dengan sigap.