Chapter 7 - Bab 6

Sudah cukup lama Vio dirawat di rumah sakit, dan kini kakinya sudah sembuh. Setidaknya, sudah tidak terasa sakit lagi ketika berjalan.

Hari ini Vio menyudahi rawat inapnya.

"Lu mau ikut gua ke kampus? Buat apa?" Kaspian berkacak pinggang ketika Vio bilang ingin ikut dengannya.

"Ya … gue bosen aja di rumah. Gue janji nggak bakal ganggu kuliah lo, nggak usah bawa gue ke dalem kampus, cukup taro aja gue di pangkalan siomay, yah?"

Kaspian berdecak. "Oke, tapi lo harus nurut sama gua kalau mau ikut. Pertama, jangan keluyuran tanpa kasih tau gue, jangan pergi ke tempat sepi, jangan ngobrol sama sembarang orang, terlebih pake aku kamu, dan terkahir, jangan biarin Marvin ngeliat lu! Paham?"

Ck. Marvin lagi.

"Oke, gue ngerti!" Vio ngangguk saja. Banyak banget aturan ni orang. 

Setelah sepakat, mereka berangkat ke kampus. 

Bukan tanpa alasan Vio ingin ikut ke kampus, dia harus mencari tahu mengenai dirinya, 'Via'. 

"Gua nggak bisa biarin lu di luar, entar dicolong orang lagi. Jadi lu diem di sini aja sama Mang Carlos, ya?" kata Kaspian.

Vio mengangguk patuh.

"Mang Carlos, nitip bentar ya."

"Sip, Den. Percayakan saja sama Mamang." Mang Carlos menepuk bahu Vio yang tengah makan bakso urat Mang Carlos. Bakso kesukaannya. Duh, rasanya rindu banget, udah lama nggak jajan di sini.

"Aden pacar barunya Den Kaspian?" Pertanyaan Mang Carlos sukses membuat Vio tersedak.

"Uhk! Bukan lah, Mang! Yakali pacaran sama cowok." Vio berusaha terlihat senormal mungkin.

"Loh Den Kaspian 'kan emang pacarannya sama cowok," celetuk Mang Carlos.

"Emang?" Vio ingin memastikannya sekali lagi. Dia masih penasaran sama orientasi seksual si Kaspian.

"Katanya sih gitu. Dulu, Den Kaspian ke sini sama Erik. Mamang denger dia lagi ngegalauin seorang cowok ganteng, cowok yang jadi cinta pertamanya. Sayangnya, cowok yang disukain Den Kaspian ini straight, Den Kaspian ditolak mentah-mentah dan jadi sadboy sampe sekarang," tutur Mang Carlos. 

Waduh. Singkat nan tragis. 

"Waktu itu Den Kaspian pesen bakso love karena katanya hari itu ulang tahun cowok itu. Potong sama makan baksonya diwakilin ke Erik, karena Erik itu dulunya sahabat gebetannya itu," lanjut Mang Carlos. 

Tiba-tiba Vio mendapat pencerahan setelah mendengar cerita Mang Carlos. Jadi itu asal muasal Erik dibeliin bakso istimewa Mang Carlos sama Kaspian. Tapi kenapa dulu Mang Carlos nyeritainnya beda yah? 

Wah, jangan-jangan dulu Mang Carlos cuma mau manas-manasin. Dasar kang kompor.

Terus siapa cowok ganteng yang bikin Kaspian sampai galau brutal itu? Vio merasa sebal. Ah, lupakan. Bukan itu tujuan dia datang ke kampus ini.

"Mang, Mang Carlos kenal cewek namanya Via nggak? Dia kuliah di kampus ini, jurusan arsitektur." 

"Via?" Mang Carlos tampak berpikir sesaat.

"Nggak ada tuh, Den."

Seperti yang Vio takutkan, Mang Carlos juga tidak mengingat dirinya.

"Kenapa emang?"

Vio menghela napas. "Nggak papa. Saya mau ke toilet, di sebelah mana yah, Mang?" 

"Dari sini lurus aja, belok tangga sebelah kiri, di bawahnya toilet itu."

"Oke. Makasih." Vio bergegas. Bukan ke toilet, dia membelokkan langkahnya menuju gedung Fakultas Arsitektur. 

Suasana kampus tampak tenang-tenang saja. Tak ada desas-desus mengenai mahasiswi yang menghilang. Vio masuk ke salah satu ruangan di mana kelasnya hari ini akan diadakan.

"Permisi." Vio menghampiri sekumpulan mahasiswi yang merupakan teman-teman dekatnya. Mereka sedang asyik mengobrol. Tak ada yang salah.

Mereka menengok padanya dengan bingung.

"Apa di kelas ini ada mahasiswi bernama Via?" tanyanya.

"Via?" Orang-orang itu saling lirik lalu menggeleng.

"Nggak ada. Ada apa, Kak?"

Lagi-lagi.

"Bener nggak ada? Apa boleh gue liat absensinya?" Vio buru-buru mengambil buku absensi yang tergeletak di meja. Dia membukanya, lalu mencari namanya di sana. Tak ada.

Kepalanya tiba-tiba menjadi linglung. 

"Ah … saya permisi, makasih." Dia bergegas pergi.

Para mahasiswa itu saling pandang dengan bingung.

"Via?"

"Via siapa ya?"

Di area uiniversitas. Vio berjalan gontai tanpa tujuan. Beberapa orang terus memperhatikannya sambil mengambil foto diam-diam. Sebenarnya mereka mau deketin, tapi takut tiba-tiba pawangnya dateng terus ngamuk lagi.

"Vio?" Suara Marvin membuyarkan lamunan Vio.

"Eh?"

"Gue denger Kaspian bawa lo ke sini, ternyata bener, haha. Apa kabar? Kenapa wajah lo pucet gitu?"

"Ini … gue lagi nyari orang. Seinget gue dia kuliah di sini, tapi nggak ada satu pun orang yang tau."

"Siapa namanya?"

"Via."

"Coba gue bantu."

Marvin adalah mahasiswa jurusan TI. Dia menggunakan komputer sekolah dan mengakses data-data mahasiswa di universitas itu. 

"Via, tanggal lahir 26 Juli 20xx." Vio menyebutkan semua informasi yang bisa digunakan untuk mencari datanya. Namun, hasilnya nihil. Bahkan data mahasiswa dari sepuluh tahun terakhir tidak ada yang memuat namanya. 

Kepalanya semakin berdenyut nyeri saja. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tidak ada? Seolah-olah eksistensi gadis bernama Via tidak pernah ada di dunia ini.

Ia tertegun selama beberapa lama.

"Vio, lo baik-baik aja?" 

"Gue nggak papa. Cuma pusing aja. Gue mau balik aja deh. Makasih atas bantuannya yah, Kak."

"Bentar. Bisa bagi nomor telpon lo dulu?"

"Huh?"

"Bukan apa-apa. Siapa tau nanti gue nemuin petunjuk tentang cewek bernama Via ini, jadi gue bisa ngabarin lo."

"Oh … oke."

Marvin tersenyum. "Makasih."

Tanpa memberitahu Kaspian, Vio bergegas pergi. Dia harus mengunjungi rumahnya, hal terakhir yang harus dia pastikan.

"Nggak ada yang inget sama gue, atau gue emang nggak pernah ada? Atau … 'Via' hanya ilusi gue selama ini?" Sembari berjalan gontai, pikiran Vio semakin liar.

Dia menyeberangi jalan dengan pikiran setengah kosong, membuatnya tidak menyadari kedatangan mobil yang melaju kencang ke arahnya.

"Woy! Minggir!"

"Awas!"

Suara klakson dan teriakkan orang-orang seolah terlambat sampai ke telinganya. 

Vio malah tertegun di tengah jalan. Kejadian ini … deja vu. Kalau dia tertabrak apakah dirinya akan kembali lagi ke dunia asalnya, di mana 'Via' ada.

"Vio!" 

Tinn

Bugh

Vio hanya ingat tubuhnya terpental, dan seseorang memeluknya.

.

.

.

Vio terbangun dengan kepala berkunang-kunang. Tidak seperti harapannya, dia masih berada dalam tubuh laki-lakinya. 

Wah, seharusnya nggak gini ceritanya. Ini beda dengan skenario yang Vio karang dalam otaknya.

"Udah bangun lu?"

"Ha?" Vio mendapati Kaspian duduk berpangku tangan, menatapnya dengan ekspresi seram. Urat-urat di leher dan tangannya menonjol. Matanya merah pula.

Waduh, gue bikin salah apa nih?

"Lo … kenapa?"

"Lu yang kenapa? Baru aja keluar dari rumah sakit sekarang udah masuk lagi. Udah gua bilang jangan kelayapan! Apa perlu gua iket aja lu di rumah? Capek banget gua, anjing!" Nada bicara Kaspian tidak tinggi, namun penuh emosi dan penekanan.

Vio hanya terperangah melihat amarah Kaspian.

"Gu-gue … ng–ng-gak bermaksud … ber-ma-ksud—" Tiba-tiba Vio jadi orang gagu. Asem, kenapa gua jadi nggak bisa ngomong? Nyeremin banget si bambang.

Vio tidak menyadari betapa gugup reaksi tubuhnya. Wajahnya pucat, gemetar, dan berkeringat.

"Sorry." Kaspian merangkulnya secara mengejutkan. "Sorry. Gua cuma cemas."

Vio mengerjap. Kesurupan apa lagi ni orang? Tiba-tiba marah tiba-tiba meluk. Wait …, Kaspian meluk gue? Mimpi indah macam apa ini?

"Gu-gue nggak papa. Lo jangan khawatir." Vio menepuk punggungnya. Kok suasananya jadi aneh, ya? Bau keringat bercampur parfum Kaspian, detak jantung dan embusan napasnya …, Vio tidak pernah merasa setenang ini. 

Seandainya 'Via' itu nggak nyata, apa boleh gue tetep suka dipeluk lo kayak gini?

"Ya gimana gua nggak khawatir?! Kalau lu sampe kenapa-napa bisa-bisa gua dicoret Bapak dari Kartu Keluarga!" Kaspian sukses menghancurkan suasana. Dia melepaskan pelukannya dan kembali ke stelan pabrik. Misuh-misuh dengan wajah galak.

"Babi lu!" maki Vio.

"Hah? Gimana?" Kaspian 'terpesona' karena disebut babi.

"Ya lu babi! Gue pikir lu khawatir gue kenapa-napa, taunya cuma takut dimarahin bapak lo!"

"Ya … gua juga khawatir lu kenapa-napa." Kaspian memalingkan wajahnya sambil menghela napas.

"Untung aja gua cepet dateng, kalau nggak, udah penyet badan lo dilindes truk."

"Maaf dan makasih udah nyelametin gue. Sini gue bantu obatin luka lo." Vio baru menyadari Kaspian terluka di tangan dan pipinya. Tadi penglihatannya masih buram-buram.

Dia mengambil kotak p3k yang tersedia lalu mulai membersihkan luka di tangan Kaspian.

"Kenapa ini nggak buru-buru diobatin, sih?" Vio melihat luka-lukanya sudah lumayan kering. Sepertinya sudah cukup lama dirinya pingsan.

Selesai dengan tangan, Vio beralih pada pipi. Begitu menengadah dia mendapati Kaspian tengah menatapnya lekat. Matanya yang teduh membuatnya terhipnotis sesaat. 

Duh, Kaspian, kenapa lo nggak kedip? Nggak kelilipan tuh mata?

"Yang ini … kayaknya sakit banget. Gue pelan-pelan, tahan ya." Vio hendak mensterilisasi lukanya, namun Kaspian tiba-tiba menahan tangannya.

"Eh?"

"Lu pernah tanya apa orientasi seksual gua 'kan?" Kaspian masih lekat memandangnya. Mata mereka bertautan dengan jarak tidak lebih dari satu jengkal.

"Iya …."

"Gua bisek. Gua suka cowok ataupun cewek, tapi gua lebih condong ke cowok."

"O-oh?" Vio berkedip-kedip. Nggak kaget, sih.

Kaspian menangkup sebelah pipi Vio dan lebih mencondongkan tubuhnya. 

"Gimana dengan lu? Lu suka cowok?"

"Gue … ya, gue suka cowok."

"Bagus. Jadi lu nggak akan keberatan kalau gua cium sekarang 'kan?" Kaspian menyapu bibir merah pucat Vio dengan ibu jarinya.

"Meski lu keberatan, sayangnya udah terlambat buat kabur." 

Cup

Kaspian menciumnya tanpa ancang-ancang lagi. Dan saat itu juga, Vio baru tahu bibir manusia bisa sedingin es dan selembut permen kapas di saat bersamaan. Namun, tidak dengan gerakannya. Pada tahap pertama Kaspian sudah agresif.

Karena Kaspian menyukainya. Rasa bibir anak ini melebihi ekspetasinya.

Vio meremas kerah baju pria itu erat. 

Ini sinting. Benar-benar sinting. Alurnya lebih cepat dari yang dia kira.