Sudah lama sejak Kaspian pergi. Hari sudah sore. Vio hanya selonjoran sambil main game di handphone yang dipinjamkan Radit. Teman Kaspian itu ternyata dirawat di sampingnya. Mereka hanya terhalang oleh tirai.
Radit hanya tidur sepanjang hari. Kasihan sekali dia dipukuli sampai babak belur. Tadi, Vio sempat melarikan diri saat hendak ditangkap oleh para penjahat itu. Dia bertemu dengan Radit yang kemudian menolongnya dan melawan mereka dengan gagah berani.
Meskipun, pada akhirnya Radit berakhir bonyok-bonyok dan dirinya kena geprek di kaki ketika hendak melarikan diri lagi.
"Apa menu rumah sakit biasanya semewah ini?"
Vio mengembalikan ponsel Radit ketika suster membawakan mereka makan. Dia melihat menu makanan di depannya dengan heran, ada lobster kukus dengan sausnya, tumis sayuran yang harum, pepes ikan dan ayam goreng. Tidak lupa susu dan buah-buahan segar. Semuanya lengkap.
"Biasanya nggak, tapi karena 'wali' kita adalah Kaspian, kita diberi pelayanan istimewa," tutur Radit yang langsung menyambar makanannya. Pun Vio. Mereka makan dengan lahap.
"Kenapa gitu? Kayak Kaspian anak CEO-nya aja. Dia 'kan miskin." Vio berkata dengan heran.
"Wah, omongan lo bener-bener ya!" Radit geleng-geleng. "Kaspian bukan anak CEO-nya, tapi cucunya."
"Oh … eh? Gimana-gimana?" Mulut Vio seketika menganga, hampir-hampir nasi di mulutnya berjatuhan.
"Pasti lo belum tau, tapi emang cuma segelintir orang yang tau fakta ini. Keluarga dari pihak ibu Kaspian adalah kalangan dokter sekaligus pebisnis yang mendirikan beberapa rumah sakit, salah satunya rumah sakit ini." Radit menjelaskan secara garis besar.
Vio hanya melongo mendengarnya. Kaspian, cowok yang tinggal di rumah yang hampir rubuh dengan fasilitas seadanya itu ternyata cucu CEO? Woah, cerita novel di dunia nyata, nih. Gebetanku yang terlihat miskin ternyata pewaris perusahaan besar!
Vio melamun untuk beberapa saat.
"Oh … haha, nggak heran si, selama ini terkadang Kaspian keliatan banyak duit, kadang keliatan miskin banget," ujarnya.
"Selama ini? Lo udah kenal Kaspian dari lama?" Radit bingung dengan ucapan Vio.
"O-oh bukan gitu maksud gue, selama ini itu ya sejak gue kenal Kaspian kemaren," Vio cengir.
"Gue lihat rumahnya jelek banget, terus hampir nggak ada perabotan di dalemnya. Tapi gue heran liat Kaspian jajan banyak banget, terus motor dia juga motor mahal, nggak mungkin rasanya orang miskin punya motor gitu, ternyata dia anak horang kaya." Dia manggut-manggut.
Radit hanya bisa terus geleng-geleng kepala mendengar ucapan Vio yang selalu gamblang.
"Bapak Kaspian emang miskin, miskin banget. Pak Jono nggak berbakat nyari duit, siang malem kerja tapi hidupnya masih gitu-gitu aja. Pantes aja ditinggal isterinya." Namun, dirinya lebih parah dari Vio.
Sekarang giliran Vio yang geleng-geleng. Enteng banget ngatain bapak temen.
"Hubungan Kaspian sama ibunya kurang baik. Dia sama sekali nggak mau nerima uang sepeser pun dari mereka. Tapi mereka selalu rutin ngirimin Kaspian makanan dan jajanan lain. Motor yang dia pake sekarang juga hasil maksa, awalnya dia sama sekali nggak mau nerima motor dari kakeknya itu," lanjut Radit.
Vio manggut-manggut paham. "Kenapa hubungan mereka nggak baik?"
"Untuk itu gue nggak berani cerita, kalau lo penasaran tanya aja langsung sama Kaspian."
Vio mengangguk. Hal apa yang membuat Kaspian membenci ibunya sampai dia rela hidup melarat dengan sang ayah? Sepertinya itu bukan hal kecil.
***
"Lu belum tidur?" Saat larut malam, barulah Kaspian kembali.
Udah puas pacaran aja baru balik ni anak. Pikir Vio.
"Udah. Gue emang tidurnya gini, sambil melek," celetuk Vio.
"Kenapa lu? Jutek amat." Kaspian duduk dan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil bermain HP.
Vio hanya menggembungkan pipinya.
"Udah makan belum lu?" tanya Kaspian.
"Udah."
"Kaki sama bahu lu udah nggak sakit?"
"Udah."
"Udah mandi?"
"Udah."
"Udah berak?"
"Udah …, eh? Dih …." Vio meliriknya sambil melotot.
Kaspian tertawa. "Wkwkwk, udah udah mulu si lu!"
"Ya lo nanya mulu!"
"Lu nya manyun terus. Masih marah sama gua? Gua kan udah minta maaf. Gua janji bakal tanggung jawab sampe lu sembuh total. Lu mau apa lagi? Bilang aja."
"Gue nggak marah ya. Gue cuma capek aja. Ruangan ini agak pengap." Vio menggeliat. "Gue mau tidur. Lo puang aja nggak papa, nggak usah nungguin gue. Lagian di sini ada Radit, gue nggak bakal kesepian."
"Gua emang mau pulang. Siapa juga yang mau nginep jagain lu, geer."
Vio mencebik. Dih, nyebelin ni anak.
"Ya … yaudah, sih." Dia tersenyum masam kemudian.
"Udah gede juga lu, ngapain dijagain. Gua balik, dah." Kaspian bangkit lalu keluar.
"Tanggung jawab apanya lo! Jagain aja kagak mau!" Vio menggerutu sambil menonjok udara.
"Jangan diambil hati." Radit tiba-tiba bersuara. Vio terperenjat dibuatnya. Dia pikir orang ini sudah tidur.
"Meski sikapnya gitu, tapi Kaspian sebenernya peduli dan perhatian."
"Hah? Modelan gitu perhatian?"
"Kaspian emang gitu. Tsun tsun dia." Radit menggeliat lalu bangun.
"Mau ke mana lo?"
"Laper gue." Radit berlalu keluar.
Ada dua kafetaria di rumah sakit ini. Satu di lantai bawah dan dua di lantai ini, keduanya buka 24 jam.
Radit berjalan menyusuri lorong yang terang dan sepi. Karena sudah larut jadi hanya ada satu dua orang suster yang berlalu-lalang.
"Kakak mau ke kafetaria?" Tiba-tiba seorang suster muda keluar dari sebuah ruangan dan menghadang Radit.
"Eh, iya. Kenapa, sus? Kok tahu?" Radit agak terpana melihat suster dengan tahi lalat di dagu itu. Cantik.
"Soalnya cuma orang laper yang rela bangun malam-malam begini di rumah sakit. Saya cuma mau ngasih tau, jangan lewat lorong yang ini, lewat sana saja. Yang ini lampunya sering mati."
"O-oh, makasih, Sus." Radit segera putar balik untuk mengambil jalan lain.
"Tunggu, boleh saya nitip?"
Radit berhenti dan menengok. "Oh?"
"Maaf, saya sedang berjaga di kamar mayat ini, jadi nggak bisa ke mana-mana. Saya nitip roti sandwich saja." Suster itu tersenyum sungkan-sungkan.
Cewek cantik jaga kamar mayat? Hih, serem amat.
"O-oh, oke, Sus. Tunggu sebentar, ya."
***
Dari kamar Vio, Kaspian langsung bergegas menuju pintu keluar. Namun, dia tiba-tiba membelokkan langkahnya. Menuju lantai atas dan menghampiri sebuah pintu dengan papan nama "Presdir".
Lelaki itu berdiri beberapa saat sebelum akhirnya mengetuk pintu dengan ragu-ragu.
"Masuk." Suara seseorang terdengar dari dalam.
Kaspian membuka pintu dan masuk.
Di meja kerja yang padat, seorang wanita berjas putih dengan penampilan rapi—duduk sambil membaca buku. Melihat Kaspian, ia mengangkat kepalanya dan tersenyum.
"Oh, hai. Sudah lama kita tidak bertemu."
"Aku punya permintaan, apa pasien nomor 24 dan 25 bisa dipindahkan ke ruang VIP?" Kaspian langsung menyampaikan maksudnya tanpa berbasa-basi atau bahkan menyapa presdir rumah sakit itu.
Wanita itu menampilkan ekspresi kebingungan, namun lantas tersenyum.
"Wow, ini sepertinya untuk pertama kalinya kamu membuat permintaan padaku. Tentu saja semua pasien bisa pindah ke ruang VIP jika membayar sesuai ketentuan."
Kaspian diam. Tak mengatakan apa pun selama beberapa lama.
"Tapi, aku bisa membebaskan semua biaya, asal dengan satu sarat." Wanita itu meletakkan bukunya dan menatap Kaspian intens.
***
"Haduh, Nak Vio. Bapak bener-bener minta maaf. Padahal Nak Vio belum juga sembuh dari kecelakaan tempo hari, sekarang sudah terluka lagi." Pak Jono menghela napas tak berdaya begitu melihat keadaan Vio.
"Nggak papa, Pak. Lagian ini salah saya karena keluyuruan ke luar," ujar Vio.
"Bener. Udah dibilangin diem aja di rumah, malah ngeyel. Untung aja lu masih bisa selamat." Kaspian menyahuti.
"Diem kamu!" Pak Jono memelototinya. "Ini juga ulah kamu. Pegang orang kayak pegangin apa. Nggak pake perasaan. Kebiasaan kamu, Pian!"
Kaspian berdehem kecil. "Ya maaf."
"Udah, nggak apa-apa, Pak. Kaspian juga bukannya sengaja," bela Vio. "Dia cuma khawatir sama saya."
Pak Jono menghela napas lagi. "Ini sebabnya Bapak suruh dia berhenti ikut MMA. Udah berhenti masih aja lukain orang lain."
"Kaspian ikut MMA?" batin Vio sambil memiringkan kepalanya untuk melihat penampakan Kaspian. Oh, pantesan badannya bagus. Keren juga ni gebetan gue, hehe. Tapi tunggu, wajahnya kenapa?
"Kaspian pipi lo—"
"Permisi, Pak, Pasien nomor 24 dan 25 akan dipindahkan ke ruangan VIP." Dua orang suster masuk dengan membawa kursi roda.
"Huh? Pindah?" Vio celingukan.
"Udah ikut aja, di sana lebih nyaman," kata Kaspian sembari melongos keluar.
"Gue bilang juga apa. Gitu-gitu Kaspian itu peduli sama temen-temennya," bisik Radit.
Vio hanya mengangguk.
Mereka akhirnya dipindahkan ke kamar VIP yang berada di lantai atas. Sebuah ruangan dengan fasilitas dan pemandangan yang jauh lebih baik. Ruangan itu tak ubahnya seperti kamar pribadi, ada dua kasur, lemari, meja dan kursi, bahkan lemari pendingin dan televisi.
Pemandangannya juga bagus. Salah satu dinding berupa kaca tebal nan transparan. Dari kaca tersebut mereka dapat melihat pemandangan taman rumah sakit yang cantik.
"Apa bener ini cuma VIP? Bukan VVIP?" Vio yang duduk di kursi roda memandang keluar dengan takjub.
"Tapi Kaspian, fasilitas ini pasti mahal 'kan?" Vio melirik Kaspian yang berdiri di sampingnya. Dia tahu semua ini pasti gratis berhubung Kaspian adalah cucu dari CEO rumah sakit. Vio hanya ingin memancingnya.
"Atau … jangan-jangan gratis? Lo kan nggak punya duit, mana mungkin bisa sewa kamar VIP," lanjutnya.
Kaspian mengerling. "Enak aja gratis. Gua harus bayar mahal buat kamar ini tau."
"Emang lo punya duit?" Vio berkata tak percaya.
"Bukan uang, tapi hal lain."
"Hah? Apaan tuh?" Vio tak mengerti.
"Udah lah, kepo amat lu."
Vio berdecak pelan. "Ngomong-ngomong, pipi lo kenapa?" Dia menunjuk wajah Kaspian dengan tatapan curiga.
"Kenapa ada bekas lipstik di pipi lo?"
"Huh?" Kaspian langsung bercermin pada layar HP-nya. Melihat ada jejak bibir berupa lipstik merah di pipi kanan kirinya, dia melotot dan buru-buru menghapusnya.
"Idih …." Vio menatapnya sinis. "Habis ngapain lo, Pian? Tampang lo kayak habis digrepe tante-tante."
"Emang, kenapa? Ini semua gua lakuin supaya lu bisa tinggal dengan nyaman di rumah sakit. Hargain pengorbanan gua."
***
"Makan, Vio. Lo kenapa ngelamun terus dari tadi?" Radit heran melihat tingkah Vio yang hanya berdiam diri, berpangku tangan dengan ekspresi wajah seolah sedang memecahkan soal matematika yang beranak-pinak.
"Lo bilang Kaspian cucu CEO rumah sakit 'kan? Tapi kenapa buat mesen kamar VIP aja dia harus digrepe tante-tante?"
"Hah?" Radit hampir tersedak.
"Tadi Kaspian bilang gitu." Ekspresi Vio makin menjadi-jadi.
Radit tersenyum sembari menggeleng. "Percaya aja lo sama omongan Kaspian."
"Tapi lo juga lihat 'kan bekas ciuman di pipinya tadi?"
Radit mengangguk. "Tapi nggak mungkin—"
Ckrek
Pintu kamar terbuka dan seorang wanita berjas putih masuk. Radit dan Vio saling lirik.
"Jaga sikap. Dia presdir rumah sakit ini." Radit berbisik.
Vio langsung mengubah posisi duduknya menjadi tegap. Buat apa petinggi rumah sakit ini kemari?
"Apa saya mengganggu?" Wanita itu tersenyum dan menghampiri.
"Tidak sama sekali, Dok." Mereka menggeleng.
"Bagaimana keadaan kalian? Sudah lebih baik?" tanyanya.
"Yah …, sudah lebih baik," balas Radit. "Tapi … Dokter ke sini untuk … menemui kami?"
Wanita itu mengangguk.
"Santai saja. Saya ke sini hanya ingin melihat …, teman-teman seperti apa yang membuat Kaspian sampai rela menemui saya duluan. Sepertinya kalian sangat dekat dengan Kaspian. Saya pernah melihat kamu beberapa kali dengan Kaspian dulu."
Radit mengangguk. "Betul, Bu. Saya memang teman Kaspian."
"Kalau kamu, saya baru melihat kamu. Teman Baru Kaspian?" Wanita itu beralih pada Vio yang hanya tertegun sambil memperhatikannya.
"Dari bentuk bibir dan warna lipstiknya … mungkinkah wanita ini yang nyium Kaspian?" pikir Vio. Dia yakin orang inilah pelakunya. Tante ini, cantik sih, pantas saja Kaspian pasrah digrepe. Vio semakin sengit menatapnya. Perlukah dia memberi presdir mesum ini pelajaran?
"Hallo?" Wanita itu melambaikan tangannya di depan wajah Vio. "Sepertinya kamu benar teman barunya. Perkenalkan, saya ibu Kaspian."
"Heh? Huh?" Vio terperenjat dengan ekspresi konyol.
Wanita itu tersenyum. "Teman Kaspian yang satu ini menggemaskan, yah! Kalau begitu saya permisi. Istirahatlah dengan baik. Jika butuh apa pun katakan saja pada suster, oke?"
"Baik, Dok. Terimakasih banyak." Radit mengangguk hormat.
Wanita itu kemudian keluar.
"Wo-woah! Gila! Dia ibu Kaspian?!" Vio berseru.
"Iya. Namanya Bu Paramitha, Cantik 'kan?"
Vio mengangguk setuju. Wanita itu bahkan tidak kelihatan tua. Kulit dan tubuhnya terawat. Karena itu Vio tak menyangka kalau dia adalah ibu Kaspian. Pantas saja Kaspian punya wajah rupawan, ternyata menurun dari ibunya.
***
Sudah beberapa hari Vio dirawat di rumah sakit dan dia benar-benar betah. Siapa pula yang tidak akan suka tinggal di kamar VIP dengan layanan istimewa? Rasanya Vio ingin tetap sakit agar bisa terus tinggal di sana.
Setiap hari, Kaspian berkunjung dan menghabiskan waktu bersama mereka.
"Wkwk gua lagi kan yang menang? Sini gua jitak pala kalian." Kaspian berselebrasi setelah memenangkan lima ronde permainan ludo.
"Ah curang lo mah!" Vio tak terima. Sudah berkali-kali Kaspian menggerakkan bidaknya agar tidak mengeliminasi bidak miliknya.
"Najis Kaspian, gue sumpahin lo sembelit sampe besok!" kutuk Radit.
"Ngeri banget." Kaspian masih tertawa. Dia mengepalkan tangannya dan menjitak kepala mereka satu persatu. Satu jitakan pelan untuk Vio, dan satu jitakan keras untuk Radit.
Pltakk
Radit sampai berdengung dibuatnya.
"Dih! Nggak adil lu! Kenapa ke gue keras mulu?" Radit misuh-misuh sambil balas memukul kepala Kaspian.
Kaspian terkekeh.
"Itu karena Vio masih sakit, sementara lu udah sembuh."
Memang luka-luka Radit hampir sembuh sepenuhnya. Tidak seperti Vio yang mengalami patah tulang, dia hanya mengalami luka di luar tubuh. Rencananya dia akan pulang besok pagi.
"Asem lo!"
"Satu kali lagi yuk! Gue yakin kali ini gua yang bakal menang! Liat aja lo Kas!" Vio berujar sambil meregangkan jari-jari tangannya.
"Uh … gue sampe sini aja. Erik udah selesai les, gue harus jemput dia." Kaspian melihat pesan di HP-nya lalu bangkit.
"Kenapa lo selalu anter jemput Erik tiap hari? Lo kerja jadi sopirnya kah?" Vio penasaran. Kalau mereka tidak pacaran, mungkin Kaspian disewa jadi sopirnya sampai harus antar Erik ke mana-mana.
"Kepo lu!" Kaspian bergegas pergi. Seperti biasa, dia selalu menjawab begitu.
Vio mengangkat sebelah bibirnya sebal. "Jangan bilang mereka beneran pacaran?"
"Ya nggak lah. Ada-ada aja lo. Kaspian sama Erik udah temenan sejak SMP. Erik kurang sehat, tubuhnya lemah karena penyakitan. Itu sebabnya Kaspian kasih dia perhatian lebih," jelas Radit. Terkadang, Vio lupa kalau Radit adalah teman Kaspian. Dia seharusnya bertanya segalanya pada Radit.
"Tapi … kenapa orang-orang nyangka mereka ada hubungan? Anu, itu waktu gue dateng ke kampus kalian, gue denger orang-orang ngomongin mereka gitu." Vio mengarang cerita agar tak terlihat mencurigakan.
"Yah …, biasalah. Orang-orang emang sering berprasangka yang enggak enggak kalau liat cowok sama cowok deket dikit aja. Apalagi Kaspian orangnya perhatian banget sama temen-temennya."
"Gitu, ya?" Vio masih tak percaya sebenarnya, tapi kalau Kaspian dan Radit sendiri bilang begitu maka mungkin memang itulah faktanya.
"Gue mau keluar dulu." Radit beranjak.
"Mau ngapain? Keluar mulu lo akhir-akhir ini," ujar Vio heran.
"Biasalah, ketemuan Neng Suster cantik itu. Hehe." Radit mengedipkan matanya.
Vio tersenyum sambil geleng-geleng. Cinta bersemi di rumah sakit ini mah.
Beberapa menit setelah Radit pergi, pintu terbuka. Vio kira itu Radit, tapi ternyata bukan.
"Huh?"
"Hallo, boleh gue masuk?" Marvin tersenyum hangat.
"I-iya silakan."
Ah, ternyata kesatria latto-latto nya waktu itu.
"Gimana kondisi lo? Udah baikan?" Marvin menghampiri.
"Yah, lumayan. Anu, gue belum sempet ucapin terimakasih waktu itu. Makasih banyak ya, lo udah selametin gue. Kalau lo nggak ada gue nggak tau apa yang bakal terjadi …." Vio mengucapkannya tulus dari hati.
"Sama-sama. Nggak usah dipikirin. Oh, ya, kita belum kenalan. Kenalin, nama gue Marvin, gue kakak tingkatnya Kaspian di kampus." Marvin mengulurkan tangannya dan segera dijabat oleh Vio.
"Vio."
Tidak perlu perkenalan diri, Vio tahu betul siapa laki-laki ini. Dia adalah mahasiswa populer di kampus. Tak seperti Kaspian yang terkenal karena sifat berandalannya, Marvin dikenal dengan perangainya yang baik, berprestasi, dan aktif. Jika Kaspian adalah preman kampus, maka Marvin adalah pahlawannya. Kesan mereka di mata publik sangat bertolak belakang.
Orang normal akan mengidolakan Marvin, hanya psikopat gila seperti Vio yang malah menyukai Kaspian. Ah, entahlah, di mata Vio, sehebat apa pun Marvin, dia tidak bisa mengalahkan daya tarik Kaspian yang luar biasa.
Yeah, badboy biasanya memang lebih menarik.
"Gue dateng ke sini cuma buat liat keadaan lo. Gue denger lo dirawat di sini jadi gue langsung dateng. Syukur kalau lo baik-baik aja, gue sempet khawatir karena Kaspian bawa lo paksa waktu itu."
"Nggak apa-apa. Gue udah hampir sembuh. Makasih loh lo udah repot-repot nyempetin dateng ke sini." Vio merasa orang ini sangat baik. Rumor tentangnya tidak dilebih-lebihkan.
"Haha. Nggak masalah. Oh, ya. Ini gue bawain buah buat lo. Semoga lo cepet sembuh." Marvin memberikan satu keranjang buah segar pada Vio.
"Repot-repot banget lo. Makasih banyak, ya."
"Sama-sama. Ngomong-ngomong, lo saudaranya Kaspian, ya?"
Mendengar pertanyaan Marvin, Vio hening beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "I-iya. Gue sepupunya."
Vio merasa lebih baik dia tidak menceritakan kalau dia adalah korban tabrak ayah Kaspian pada orang-orang. Biarlah teman terdekat Kaspian saja yang tau.
"Oh gitu. Terus Kaspiannya ke mana ini? Dia nggak jagain lo?" Marvin melihat ke sekeliling.
"Nggak, dia sibuk banget jadi nggak bisa stand by terus di sini. Lagian di sini ada Radit."
"Gimana ceritanya orang sakit jagain orang sakit?" Marvin menggeleng pelan. "Kalau lo nggak keberatan, gue bisa tinggal di sini malem ini."
"Hah? Nggak, nggak usah ngerepotin."
"Nggak papa. Kebetulan gue lagi senggang. Gue juga nggak tau harus ngelakuin apa. Lagi butuh temen ngobrol juga." Marvin duduk.
Vio berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Ya udah deh. sebenernya gue juga bosen akhir-akhir ini. Ada si Radit tidur mulu."
Vio merasa tak ada ruginya Marvin menginap apalagi dia bilang dia sedang senggang.
"Ngapain lu di sini?" Tiba-tiba suara sengit Kaspian terdengar. Lelaki itu berdiri di depan pintu dengan ekspresi dingin.
"Kas—"
"Keluar," titah Kaspian.
Vio dan Marvin saling lirik.
"Gue bilang keluar!" Kaspian menaikkan nada suaranya.
"Marvin mau nginep temenin gue malem ini. Apa ada masalah …?" Vio menatap Kaspian heran.
"Lagian … katanya lo sibuk jadi nggak ada waktu buat jagain Vio, jadi biar gue temenin dia malem ini," ujar Marvin.
Kaspian tidak mengindahkan mereka. Dia berjalan menuju telepon genggam lalu melakukan panggilan. "Hallo, Pak. Ada tamu tidak diundang di kamar nomor 2, bisa tolong bantu keluarkan? Ya."
"Kaspian!" Vio sungguh tidak mengerti mengapa orang ini sangat memusuhi Marvin. Hanya dalam hitungan detik, dua orang satpam datang untuk membawa Marvin pergi.
"Maaf, silakan keluar jika Anda tidak ingin kami seret."
Marvin bangkit. Dia merapikan pakaiannya dan tersenyum pada Kaspian. "Lo ini agak kekanakan, ya?" Dia menggeleng pelan lalu berjalan keluar.
Kaspian tampak menarik napas dalam. Vio menatapnya tajam. "Lo kenapa, sih?"
"Mulai sekarang lo jangan deket-deket sama dia, bahkan usahain jangan ketemu." Kaspian menghempaskan dirinya ke kursi.
"Lah, ngatur?" Vio tak paham. Dia tahu hubungan Kaspian dan Marvin tak begitu baik di kampus. Namun, dia tidak tahu akan separah ini sampai-sampai Kaspian seperti tak sudi melihat wajah Marvin.
Kaspian tak menyahuti. Dia hening sambil memandang keluar jendela.
Wah, malah masuk mode galau ni anak.
"Padahal Marvin orang baik, tapi kenapa lo kelihatannya nggak suka banget sama dia?" Vio menurunkan nada suaranya.
"Orang baik?" Kaspian menarik sebelah sudut bibirnya. "Bego lu."
"Iya! Orang baik jika dibandingin sama lo. Gue nggak kenal dia tapi dia bersedia jagain gue, lo yang bikin gue jadi kayak gini malah keluyuran mulu sama Erik tiap malem." Vio berkata dengan nada jengkel.
"Lo udah gede 'kan? Jadi nggak usah manja. Kalau mau apa-apa pun ada suster yang bakal layanin lo. Jangan banyak tingkah, mentang-mentang gua yang lukain lu, gua patahin beneran juga tangan lu!" Emosi Kaspian tersulut. Dia bangkit dengan kasar dan keluar.
"Hah? Gue banyak tingkah? Banyak tingkah gimana maksud lo?!" Vio setengah berteriak.
"Kalau nggak mau nungguin gue nggak usah ngatain yah! Gue juga nggak maksa! Dan nggak pengen juga!" Vio meraung-raung kesal. Namun, Kaspian sudah melongos pergi tanpa menyahutinya.
"Arghh! Mari kek lo!" Vio berdecak sebal. Dia langsung berebah dan membalut dirinya dengan selimut.
.
.
.
Sudah dini hari dan Vio masih belum bisa menutup matanya. Gelisah.
"Mati … mati …? Apa gue nggak terlalu berlebihan, yah?" Vio gelisah memikirkan perkataannya pada Kaspian tadi.
Setelah dipikir-pikir, dia merasa ucapannya keterlaluan sampai Kaspian tersulut.
"Duh, ni mulut." Vio memukul bibirnya pelan. Dia duduk kemudian. "Apa gue telpon aja ya? Radit, pinjem HP lu bentar ya?"
Dia meraih HP Radit. Setelah menimang-nimang akhirnya dia memutuskan mengirim pesan.
[Kas, ini gue Vio.]
[Sorry, ya.]
[Hehe.]
Hanya begitu saja, Vio tidak tahu dia harus menulis apa lagi. Setidaknya hatinya sudah sedikit lebih lega setelah meminta maaf.
Setelah beberapa saat, Kaspian membalas. Vio agak terkejut, orang ini ternyata juga belum tidur.
[Y]
Balasan dari Kaspian sangat singkat, padat, dan menyebalkan.