Memandangi temannya ditahan oleh beruang raksasa, yang juga dijaga oleh puluhan beruang kecil, Mary dan Arin sebenarnya masih tidak begitu paham apa yang terjadi meski sudah dijelaskan berkali-kali oleh Ruri.
"Eh, apa, jadi beruang itu menahan Alisa karena pin bintangnya?" Tanya Mary lagi.
"Tapi kenapa?" Tanya Arin juga.
"Tentu saja supaya orang yang memakainya tidak bisa masuk ke gedung Osis." Sahut Fiona yang masih sibuk mengambil foto Alisa. "Hh, sayang sekali Rei hanya memberikan yang beruang. Padahal Aku ingin lihat yang dinosaurus."
Tapi Mary yang mendengar itu malah semakin melebarkan matanya. "Tunggu. Maksud kakak di sekitar gedung Osis ada beruang dan dinosaurus seperti ini juga?" Tanyanya, meski semua kakak kelas itu sudah tidak ada yang menyahut lagi.
"Alisa, kau baik-baik saja?" Panggil Hana lagi untuk kesekian kalinya.
"Iya, Aku tidak apa-apa, kak Hana." Sahut Alisa juga untuk kesekian kalinya. "Malah, sebenarnya di sini lumayan empuk." Gumamnya pelan sendiri. Soalnya secara teknis beruang besar itu hanya duduk diam dan memeluknya dari belakang. Kalau saja situasi ini sedikit berbeda, mungkin sebenarnya beruang ini cocok jadi kasur sekalian.
"Memang tidak bisa kalau pinnya dilepas saja?" Tanya Arin lagi.
"Yah, Alisa tidak bisa melepaskannya sendiri karena tangannya ditahan…" Balas Ruri. "Dan beruang yang kecil juga tidak akan membiarkan kita mendekatinya sampai Rei yang datang langsung. Pakai sihir juga nanti akan diserang lagi."
"Terus kakak sudah telepon kak Rei?" Tanya Mary lagi.
"Kalau vudu-nya ada yang aktif, Rei harusnya langsung tahu, jadi…"
Dan benar saja, orang yang ditunggu-tunggu pun akhirnya betulan muncul. Si ketua Osis yang kelihatan merengut tidak senang karena dia benci dipanggil vudu-nya sendiri.
Apalagi kalau melihat rambutnya yang agak kusut dan kaus santainya, dia mungkin sedang berbaring santai di kamarnya sebelum terpaksa ke sini. Rei sudah mengira kalau dia akan tetap direpotkan, tapi dia tidak menduga akan direpotkan secepat ini.
"Rei!" Panggil Hana yang langsung lari mendekati Rei saat dia mendarat. "Kenapa kau baru datang?" Tanyanya.
Meski bukannya menjawab, Rei malah semakin menekuk bibirnya kesal karena faktanya dia sudah ke situ secepat yang dia bisa. Tapi begitu dia mulai melihat sekitar, yep, kerajaan beruangnya kelihatan jelas di sana.
"Apa yang terjadi? Baru hari pertama sudah ada maling?" Tanyanya.
"Sama sekali tidak! Itu Alisa, tahu." Balas Hana.
Terdiam sejenak, Rei melirik sekali lagi ke arah anak yang tertahan di pelukan beruangnya. "Dan dia bukan maling? Lalu kenapa vudu-ku menahannya?" Tanyanya. Soalnya vudu yang dia buat sudah diatur supaya hanya aktif kalau—satu, ada yang berusaha mencuri ramuan-ramuan disitu, atau dua, ada kekacauan masal.
Tapi karena bingung bagaimana mau menjawabnya, semua orang malah gantian terdiam saat ditanya begitu. Walaupun Hilda yang berdiri tidak jauh darinya akhirnya berjalan mendekat dan berbisik pelan. "Karena dia pakai pin bintang Fiona." Katanya.
Terdiam, Rei menaikkan kedua alisnya. "...Coba ulang lagi." Katanya, meski tentu saja Hilda tidak mengulanginya.
"Pokoknya lepaskan Alisa dulu ya." Sela Hana yang kemudian menarik Rei untuk mendekati kerajaan beruang itu. Tapi karena beruang yang kecil tetap menahan Hana menjauh, akhirnya hanya Rei yang bisa melewatinya sampai dia berdiri tepat di depan Alisa.
Tapi dibanding saat segunung beruang menyerangnya tadi, entah kenapa Alisa jadi merasa lebih deg-degan saat Rei mendekatinya. Karena seperti yang dikatakan semua orang, aura ketua Osis ini benar-benar sangat mengintimidasi. Belum apa-apa saja rasanya Alisa sudah merasa harus minta maaf sambil berlutut atau semacamnya.
Rambut hitamnya yang agak panjang kelihatan mencuat ke sana-sini seakan dia habis melewati badai topan sebelum ke sini. Tapi justru karena itu juga, mood-nya jadi kelihatan sangat buruk. Dibanding Fiona yang murah senyum, sejujurnya Rei kelihatan lebih jahat.
Bahkan tidak sebanding dengan Hazel, orang ini justru kelihatan seperti tipe orang yang tidak pakai pikir dua kali kalau memang sedang ingin memasung orang.
Lalu satu lagi, sudah pasti tatapan matanya yang tajam itu. Bahkan dengan kacamata yang agak lebar, caranya memandang orang lain benar-benar sangat tajam dan menyelidik seakan dia bisa tahu semua isi pikiran Alisa hanya dengan memandanginya seperti itu.
Makanya saat Rei akhirnya berjongkok di depannya, jantung Alisa terasa mencelos sedikit sehingga tanpa sadar dia sedikit memundurkan tubuhnya lebih dalam ke pelukan beruang di belakangnya. Walaupun saat berusaha menghindari tatapannya, Alisa malah jadi tidak sengaja melihat banyak bekas tindik yang ada di telinga kanannya.
Meski tentu saja Rei sendiri sebenarnya hanya sedang sibuk menggerutu dalam hati sambil memandangi pin bintang yang ternyata betulan dipakai Alisa di kerah bajunya. Baru setelah keheranan untuk beberapa saat, Rei akhirnya mengalihkan pandangannya pada Alisa. "Memangnya tidak ada yang mengguntingnya saat kau jadi Osis?" Tanyanya.
"A-ah, anu, itu, mm, A-Aku suka pinnya, jadi..." Jawab Alisa sebisanya, yang kemudian malah membuat Rei semakin memandanginya dengan tatapan tidak paham. Tatapan yang jelas-jelas mengatakan kalau dia berpikir Alisa adalah anak alien atau semacamnya. "Ma-Maafkan Aku…" Tambahnya takut.
"Bukan karena ada yang menyuruhmu untuk memakainya?" Tanya Rei lagi sambil mulai mengulurkan tangannya untuk melepaskan pin itu. "Misalnya Fiona."
Agak heran dengan pertanyaan itu, Alisa tadinya sempat terdiam sejenak. Tapi kemudian dia pun menjawab, "Tidak juga…"
Dari pandangan Rei, dia kelihatan tidak begitu puas dengan jawabannya. Tapi akhirnya dia hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Meski anehnya tangannya juga ikutan berhenti seakan sedang mengurungkan niatnya untuk melepaskan pin itu dari kerah Alisa.
Dan tiba-tiba saja Rei kembali menatap Alisa dengan ekspresi menimbang-nimbang. "Kau… Bisa akting tidak?" Tanyanya tiba-tiba, yang tentu saja hanya membuat Alisa mengedip-ngedipkan matanya dengan bingung. "Kelihatannya tidak. Hh…" Desah Rei kecewa. Lalu dengan sihir kecilnya, dia pun menghancurkan pin itu begitu saja.
Menurut dengan pengaturannya, para beruang yang kecil pun mulai berlarian dan menyatu kembali dengan induk mereka yang masih memeluk Alisa dari belakang. Baru setelah semuanya menghilang, beruang yang paling besar itu akhirnya melepaskan Alisa dan mulai ikutan mengecil. Dan dia pun pergi melayang untuk nongkrong di pagar.
Di mata Alisa, pemandangan itu agak mengagumkan. Karena hal paling rumit yang pernah Alisa lakukan pada sebuah boneka hanyalah menyuruhnya untuk mengambilkan gelas—dan itu juga akhirnya pecah. Tapi ternyata di sekolah ini ada yang sampai bisa bikin boneka jadi bodyguard meski mereka baru mempelajari sihir selama kurang dari 3 tahun?
Walaupun penyihir tulen, kelihatannya Alisa memang bukan penyihir paling hebat di sini.
Segera sadar dari kekagumannya, tadinya Alisa sudah akan bangun untuk berdiri sendiri. Tapi saat akan melakukannya, Rei malah kedengaran bicara lagi. "Hazel, cepat gendong dia dulu ke meja." Panggilnya.
"Eh?" Celetuk Alisa bingung.
Tapi Hana sudah langsung kedengaran ramai lagi. "Alisa, kau tidak apa-apa?" Panggilnya sambil lari mendekat. "Tubuhmu pasti terasa lemas ya? Tidak apa, tidak apa. Kalau terlalu lama ditahan vudu Rei memang seperti itu." Katanya.
Hazel yang memasang ekspresi enggan pun mau tidak mau ikutan berjalan mendekat dan jongkok di depan Alisa menawarkan punggungnya. Sampai akhirnya Hana juga mulai mendorong-dorong Alisa untuk naik.
"Tapi--" Alisa sudah gelagapan bingung dengan situasi aneh itu. Tapi saat dia mengalihkan pandangannya ke arah Rei yang berdiri di sampingnya, tatapan tajam ketua Osis itu kelihatan berkerut serius seperti sedang mengancamnya.
'Cepat naik!' Rasanya Alisa juga bisa mendengar itu. Jadi karena takut dan bingung, Alisa pun akhirnya mulai naik ke punggung Hazel.
"A-Alisa kenapa? Dia terluka?" Tanya Arin yang bingung dan panik melihat temannya sampai perlu digendong begitu.
"Tenang saja, dia tidak apa-apa." Sahut Ruri kemudian. "Hanya saja vudu Rei punya efek samping untuk menyerap energi orang yang ditangkapnya, jadi Alisa pasti lumayan lemas sekarang." Jelasnya.
Tapi Alisa yang juga mendengar itu jelas semakin kebingungan mendengar itu karena dia sama sekali tidak merasa tubuhnya jadi lemas atau semacamnya. Dan untuk memastikannya, Alisa pun berusaha meremas-remas tangannya sendiri—
Tapi lagi-lagi dia merasakan pandangan tajam si ketua Osis.
Dan begitu mereka sampai ke tengah halaman, Hazel pun menurunkannya di atas meja. Lalu seakan tidak memberinya kesempatan untuk bertanya apapun, Rei langsung bertanya lagi. "Tapi cuma lemas kan? Pandanganmu tidak sampai buram kan?"
"...Tidak sih. Tapi—"
"Kalau begitu bukan masalah."
"Rei, kau bawa obat pemulihnya kan?" Pinta Hana kemudian.
Rei sempat mendesah pelan, tapi kemudian dia mulai menggunakan sihirnya untuk membuka sebuah portal kecil yang agak mirip seperti sihir Hazel. Lalu dia mengambil sebuah kotak dari sana. Sebuah kotak kecil—yang tidak seperti milik Hana atau Ruri, kotak milik Rei bentuknya sangat kecil, seperti ukuran handphone yang dilipat dua.
Meski Hazel yang melihat itu ternyata tidak merasa familiar. "Rasanya kotak itu lebih kecil daripada yang kuingat…" Celetuknya.
Rei melirik Hazel dan memasang senyum kecil. "Penjelasannya panjang. Kau mau dengar?"
"Tidak usah." Sahut Hazel pahit sambil membuang mukanya.
Alisa yang ada di depan Rei sebenarnya hanya lihat sekilas, tapi isi kotak itu hampir semuanya kelihatan seperti, entahlah, pulpen pendek? Walaupun setelah diambil satu oleh Rei, ternyata benda itu memang bukan pulpen. Melainkan lebih seperti tempat permen frizzy.
Rei meraih tangan Alisa dan meng-klik pulpen itu dua kali di atasnya, dan beberapa butir permen itu pun jatuh ke tangannya. "Rasanya manis, jadi terserah kalau mau dikemut." Kata Rei. "Nah, sudah kan? Aku mau kembali ke asrama lagi."
"Hh, Aku tidak percaya Aku harus repot-repot ke sini hanya karena ada anggota Osis iseng yang memakai pin itu. Perasaan kemarin ada yang bilang kalau anggota baru di sini pintar." Cibirnya ke arah Hana, meski Alisa yang juga mendengar itu jadi memajukan bibirnya sedih dan malu.
"Tapi kau tahu, secara teknis kau sendiri yang dulu repot-repot membuatnya." Balas Fiona tiba-tiba.
Padahal sejak awal pandangan matanya sudah tajam, tapi Rei masih saja memicingkan matanya lagi. "Yaa, karena dulu ada orang gila yang terus-terusan menerobos masuk ke gedung Osis, Aku terpaksa membuatnya." Balas Rei akhirnya, meski Fiona hanya menekuk senyumnya dengan jahil.
Rei tadinya sudah akan berjalan pergi. Tapi setelah melihat sekitar, dia menceletuk begini sambil berjalan. "Tapi di sini ramai sekali. Bahkan Hazel juga ada."Katanya.
"...Aku kan memang anggota di sini. Ketua malah." Sahut Hazel, meski Rei malah balik membuang wajahnya kali ini. 'Seperti biasa orang ini memang menyebalkan!'
Kembali melangkahkan kakinya, Rei tadinya sudah akan pergi betulan. Tapi kemudian dia menangkap sosok Arin di ujung matanya.
Rei memandanginya sebentar, tapi kemudian dia malah menoleh ke arah Ruri lagi. "Dia yang namanya Arin?" Tanyanya. Dan setelah Ruri diam mengiyakannya, Rei pun kembali memandangi Arin. 'Sepertinya memang sesuai dugaanku.'
"Pokoknya Aku kembali sekarang." Kata Rei lagi yang mulai menggunakan sihir terbangnya.
"Tunggu, Rei. Aku ikut." Panggil Hilda. Sehingga Rei yang tadinya mau menaiki angin pun merubah transportasinya dan mengeluarkan salah satu burung kertasnya, yang kemudian membesar jadi seperti kapal jet.
Baru setelah membantu Hilda untuk naik bersamanya, Rei kembali menoleh ke arah Ruri lagi. "Aku agak lupa, tapi kalau tidak salah ada di bab ke-5, mungkin."