Alisa tadinya belum mau menceritakan spekulasinya dulu pada yang lain sebelum dia memastikannya dengan Ruri. Tapi karena Arin kelihatan ogah-ogahan untuk ke pondok hari ini, Alisa pun menceritakannya. Setelah berpisah dengan Mary tentu saja, karena Alisa juga khawatir Mary akan terlalu semangat dengan hal yang belum pasti ini.
Dan sejujurnya, Arin juga agak terpengaruh dengan itu. Karena kalau perkataannya benar, itu artinya dia harus diberikan kemampuan sihir supaya penglihatannya kembali normal…! Apalagi karena itu merupakan taruhan di antara empat anggota Vip yang semuanya tidak mau kalah, 99% mereka akan coba untuk mengabulkannya kan?
Alisa yang tidak sabar ingin cepat-cepat menanyakannya pada Ruri, terus saja menarik tangan Arin supaya mereka bisa cepat-cepat sampai ke pondok. Tapi Arin malah jadi sedikit gerogi karena takut terlalu berharap.
"Eh tunggu, tunggu." Kata Arin yang tiba-tiba menahan tangannya. "Kenapa Aku jadi agak gerogi? Jangan membuatku berpikir macam-macam. Ramuannya kan belum tentu ada dan mereka mungkin tidak akan memberikannya padaku."
Tidak membalas, Alisa cuma bisa diam menatap Arin. Bagaimanapun dia memang sudah terlanjur membuat Arin jadi berharap, jadi wajar kalau dia takut kecewa. "Itu, kalau begitu mau di sini dulu?" Balasnya.
"Mm, iya, di sini dulu." Sahut Arin. Walaupun tidak sampai satu menit, akhirnya dialah yang tidak tahan nongkrong di hutan terlalu lama. Jadi kali ini dia yang menarik Alisa untuk pergi ke pondok.
Tapi untuk kesekian kalinya, pemandangan yang terlihat di pondok lagi-lagi malah terlihat membingungkan. Di mana Hazel sedang tergeletak di tanah dengan rambut kusut dan jaket yang robek-robek--entah dia masih hidup atau tidak--juga Ruri yang sedang mengubur kepalanya di atas meja. Selagi Hana cuma berdiri di pinggir meratapi pemandangan itu.
"Ah. Gerogiku hilang." Celetuk Arin.
Dengan ragu-ragu, mereka berdua pun melangkah masuk melewati pagar dan mendekati Hazel pelan-pelan. "Anu, kak Hazel—"
"Jangan tanya!" Potong orangnya kesal duluan. Dilihat dari dekat, Hazel mungkin hampir terlihat seperti zombie betulan sekarang. "Ini juga karena kau, grr! Kenapa juga Aku harus terlibat hal begini terus. Aku mau pindah sekolah!" Ocehnya tidak jelas.
Bingung, Alisa dan Arin cuma saling pandang sampai akhirnya Alisa menunjuk hidungnya sendiri. "Aku…?"
Dan setelah dijelaskan oleh Hana—satu-satunya orang yang bisa diajak bicara—rupanya Hazel baru saja menceritakan tentang kebodohan Alisa yang dia dengar pagi tadi pada mereka. Tapi selagi Hazel memamerkannya sambil tertawa, Ruri justru jadi menyadari kalau cara untuk menyembuhkan mata Arin mungkin adalah dengan memberikannya ramuan yang bisa membuatnya menggunakan sihir. Sama seperti yang Alisa pikirkan.
"Oh! Kak Ruri juga berpikir begitu?" Sahut Alisa yang spontan senang, meski ekspresinya langsung berubah jadi heran lagi. "Kalau begitu kenapa…?"
"Mm, yaa, itu…" Hana menjawab dengan suara getirnya. "Kelihatannya butuh waktu lebih dari seminggu untuk membuatnya." Jelasnya dan kedua adik kelasnya itu pun langsung paham.
Kalaupun dibuat sekarang, mereka sudah pasti kalah taruhan dengan ketua Osis itu.
"Ta-Tapi tenang saja. Setelah ini Ruri akan langsung membuatnya." Kata Hana lagi. "Lagipula takdirnya mungkin sudah seperti ini sejak awal, karena kami jadi memanfaatkan kalian. Maaf ya, kalian pasti kerepotan juga."
Dan begitulah akhir ceritanya.
Jadi selagi Hana berusaha menghibur dan membujuk Ruri untuk langsung buat ramuannya, Alisa dan Arin pun cuma bisa duduk di meja dengan canggung.
"Hei…" Tapi tidak lama kemudian Arin mencolek temannya lagi. "Aku tidak sempat tanya dua kali tadi, tapi mereka benar-benar akan memberikannya begitu saja padaku?" Katanya heran. "Mary mengatakannya seakan itu adalah ramuan paling rahasia seantero sekolah, jadi kupikir mereka akan ragu untuk memberikannya."
"Mm, entahlah… Mungkin Mary memang hanya melebihkannya." Balas Alisa dengan tawa kecil. Meski setelah dipikir-pikir, keheranan itu sebenarnya normal. Habisnya kalau mengingat Osis yang kerjaannya melarang murid untuk pakai sihir ini-itu terus, memberikan ramuan seperti itu rasanya akan memancing banyak protes di sana-sini.
"Tapi seminggu kah?" Gumam Arin lagi. "Masih lumayan lama—"
"Ada apa di sini?" Tiba-tiba saja terdengar suara rendah yang tidak begitu familiar.
Bahkan setelah ditengok, Alisa dan Arin juga masih tidak mengenali laki-laki yang berjalan memasuki pondok itu. Meski anehnya saat dia melihat Hazel, laki-laki itu kemudian tertawa. "Pfft, ada apa dengan rambutmu?"
"Jangan tanya!" Balas Hazel yang masih kesal.
"...Kak Rei?" Celetuk Alisa yang akhirnya sadar.
Mungkin karena itu adalah pertama kalinya dia melihatnya pakai seragam, entah kenapa auranya jadi kelihatan lebih tegap dari sewaktu dia pertama melihatnya. Rambutnya juga sudah tidak kusut, meski tidak lurus juga. Ditambah, karena tidak pakai kacamata, mata gelapnya juga jadi terlihat lebih jelas.
Tapi entah kenapa, Alisa familiar dengan senyum tipisnya. Yang justru aneh, karena Alisa tidak ingat pernah lihat Rei tersenyum.
Untuk sesaat Rei hanya diam memandang ke arah Ruri dan Hana, tapi kemudian dia membulatkan bibirnya. "Oh? Jangan-jangan kalian sudah tahu ramuan apa yang harus kalian buat ya?" Tanyanya datar dan Ruri maupun Hana cuma bisa diam tanpa balas apa-apa. "Kalau begitu kalian juga harusnya tahu sudah tidak bisa menang—"
"Itu sebabnya kau santai-santai saja memberikan petunjuk untuk buat ramuannya?" Potong Ruri kesal. "Karena kau sudah pasti akan menang sejak taruhannya dimulai?"
"Tapi Aku menambahkan satu hari, kau ingat? Kau tidak tahu betapa gelisahnya Aku pada hari pertama, kalau-kalau kau langsung tahu jawabannya." Katanya dan seketika suasananya langsung jadi hening dan canggung.
Rei tidak sengaja menoleh ke arah lain, tapi kemudian matanya balah bertemu dengan mata Alisa. "...Mereka tidak kelihatan kaget. Jangan-jangan kalian memberitahu mereka?" Kata Rei kemudian dengan nada curiga.
"Mereka ketahuan olehku." Timpal Hazel. "Dan Aku beritahu mereka."
Tapi Rei dengan cepat mengabaikan Hazel dan mulai memicingkan matanya ke arah dua teman taruhannya lagi. "Tidak semuanya kan?" Tanyanya, kelihatan sudah siap marah.
"Isi perjanjiannya tidak! Ya ampun." Balas Ruri akhirnya.
Rei kelihatan tidak begitu puas, tapi tidak butuh waktu lama sampai tatapannya mulai kembali lurus, dan anehnya juga melembut. "Kalian tahu, karena kalian sudah pasti kalah, tidak mau batalkan saja taruhannya?"
"...Apa?"
"Mm, kalau kalian setuju akan langsung kuberikan ramuannya sekarang."
"...!" Kaget, Hana dan Ruri cuma bisa melebarkan mata mereka bingung ke arah Rei yang justru kelihatan serius, seperti sengaja supaya tidak terlihat sedang mengejek. Walaupun kesal, Rei juga bukannya mau bertengkar terus.
"Sejujurnya Aku khawatir setengah mati melihat kalian memindahkan banyak ramuan kemari, dan bukankah lebih bagus untuknya kalau taruhannya langsung berakhir?" Katanya lagi, mengisyaratkan matanya ke arah Arin.
Semua orang yang ada di pondok itu saling memandang seakan berusaha memeriksa pikiran satu sama lain. Tapi karena heningnya agak terlalu lama, Rei pun menceletuk. "Yasudah, pikirkan saja dulu. Lagipula Aku perlu mengambil beberapa obat dulu." Katanya sambil berjalan ke arah tenda.
"Tunggu, kau terluka?" Tanya Hana.
"Jangan tanya."
Walaupun bukannya berdiskusi, Hana dan Ruri lebih memilih untuk diam karena itu bukan usulan yang harusnya perlu dipertimbangkan. Tentu saja mereka harus mengalah, makanya mereka sedang menyiapkan perasaan mereka dulu untuk itu.
Hana melirik ke arah Arin untuk menenangkan diri karena bagaimanapun mengakhiri taruhan mereka adalah yang terbaik untuknya. Hanya saja kalau melihat Alisa… Hana justru jadi merasa frustasi lagi membayangkan kalau dia harus melepaskan anak pilihannya, lagi.
Rei selalu menolak siapapun yang disarankan Hana untuk masuk Vip, tapi rasanya ini yang paling akan menghantuinya kalau sampai gagal lagi. Memikirkan itu, sekarang Hana yang jadi mengubur kepalanya ke meja.
Bahkan Ruri yang melihat itu juga jadi merasa tidak rela lagi. Hana mungkin sudah beberapa kali mengalaminya, tapi ini pertama kalinya Ruri bertemu dengan anak yang pandai membuat ramuan. Dia bahkan juga sadar kalau ternyata jadi mentor itu agak menyenangkan.
"A-Anu…" Tapi akhirnya Arin lah yang duluan bicara. Soalnya dia juga merasa tidak enak setiap Hana dan Ruri meliriknya dengan tatapan bersalah. "Aku sih maunya memang cepat-cepat. Tapi kalau harus menunggu seminggu lagi kurasa bukan masalah besar juga." Katanya.
"Tapi kakak tetap akan kalah kan?" Timpal Hazel. "Kalau sudah pasti kalah, untuk apa menunggu lebih lama? Kalau kataku batalkan saja."
"Rasanya aneh mendengarmu mendukungku." Celetuk Rei yang ternyata sudah kembali dari tenda. "Tapi akan kubiarkan karena kau terlihat menyedihkan." Tambahnya, sebelum akhirnya kembali memandang ke arah Hana dan Ruri. "Jadi, mau terima usulannya?"
Keduanya sempat terdiam sangat lama. Tapi karena Hana kelihatan belum mau menyahut, akhirnya Ruri memutuskan untuk mewakilinya saja. "Yasudah…"
Lupa untuk menahan perasaan senangnya, senyum Rei mengembang begitu saja. Tapi karena tidak mau memperburuk perasaan Ruri dan Hana yang baru saja kalah taruhan, dia pun buru-buru menahannya lagi.
"Fiuh, kalian benar-benar sempat membuatku takut." Celetuk Rei. "Kupikir kalian akan bilang tidak tadi."
"Apanya yang tidak?" Dan akhirnya muncul juga suara orang yang tidak ditunggu-tunggu.