Perjalanan dari pondok Hazel sampai ke asrama harusnya tidak jauh. Tapi karena Hilda terus memandanginya dari samping, Rei pun akhirnya menoleh dengan alis berkerut. "Kenapa? Kupikir kau bilang tidak akan tanya apa-apa." Tukasnya, mengingatkan Hilda tentang percakapan mereka siang tadi.
Hilda melipat bibirnya sejenak, tapi kemudian dia tetap menceletuk. "Tapi tadi itu apa? Rasanya anak itu tidak benar-benar lemas." Katanya. "Dan tidak mungkin kau tidak menyadarinya…"
Tidak langsung menjawabnya, Rei tadinya hanya diam sambil meliriknya balik. Meski cuma bisa satu sihir, Rei seperti diingatkan kalau Hilda memang termasuk orang yang teliti dengan hal seperti itu. "Kalau tidak begitu nanti Fiona juga menyadarinya." Jawabnya kemudian.
Hilda terdiam lama untuk mencerna itu, sampai akhirnya dia sampai pada satu tebakan. "Kenapa? Apa anak itu spesial?" Tanyanya. Soalnya kalau iya dan Fiona tahu, bisa-bisa dia langsung berusaha menjadikannya mainan.
"Mungkin, entahlah."
"Begitu…" Sahut Hilda seadanya seperti sudah akan mengakhiri rasa penasarannya. Tapi setelah beberapa detik dia tetap saja kembali melongokkan kepalanya ke depan Rei. "Tapi anak itu sangat manis ya? Hana pasti sangat menyukainya."
"Ya, ya."
"Apa ada hubungannya tentang kenapa dia dan Ruri pindahan ke sana?"
"..." Sembari menurunkan burungnya ke tanah, Rei memandang balik tatapan Hilda yang tulus. Dia tidak kelihatan penasaran dengan alasan mereka bertengkar, tapi seperti tetap ingin memastikan kalau nantinya mereka akan baikan lagi.
Jadi Rei pun membalas, "Kalau kau janji tidak akan mendukung Hana, Aku mau menceritakannya."
"Mm… Kalau kau berkata begitu, justru rasanya Aku tidak boleh bilang iya." Balasnya dengan senyum getir. "Tapi apapun itu, Aku yakin Hana pasti melakukannya untukmu juga kan? Kau saja yang tidak suka."
"Kalian selalu begitu. Saling peduli, tapi tidak pernah sepemikiran…" Lanjutnya.
Terdiam, Rei tidak kelihatan bisa membalas itu. "...Aku bosan mendengar itu."
"Aku tahu. Maaf ya." Balas Hilda dengan tawa kecil. Dan setelah terdiam sejenak, dia pun kembali melebarkan senyumnya. "Yah, meski begitu Aku juga percaya kalau kau tidak akan menyakiti..."
Tapi anehnya Rei malah mengalihkan pandangannya ke arah punggung Hilda. "Rei, kau lihat apa—"
Tapi belum selesai bertanya, Rei malah sudah menggunakan sihir bayangannya. Asap dengan warna biru kegelapan itu langsung membentuk tali-tali dan menjulur jauh ke arah pondok Hazel.
Dan begitu kembali, sudah ada seorang laki-laki dan perempuan yang terjerat di ikatan bayangan itu. "Raika? Navi?" Kata Hilda yang mengenali si saudara kembar itu.
"Tunggu, fotonya akan kuhapus. Jadi jangan hancurkan—" Si kakak berusaha berkata, tapi sayangnya Rei sudah duluan merebut kamera itu.
Dan benar saja, ada banyak foto pondok Hazel di dalamnya. Termasuk rekaman Alisa yang ditangkap beruang, sampai Rei yang datang untuk melepaskannya. Bahkan fotonya dengan Hilda sejak tadi juga sudah ada beberapa.
Sehingga tanpa pikir dua kali, Rei pun membakar kamera itu.
"Ah, kameraku!" Seru si kembar.
"Aku bahkan harus kerepotan dengan hal seperti ini, tapi tentu saja tidak ada yang peduli." Gerutu Rei yang dengan kalap menginjak-injak lelehan kamera itu, entah rasanya panas atau tidak.
"...Re-Rei, itu sudah hancur. Hentikan." Kata Hilda sambil berusaha menarik Rei, meski orangnya belum mau berhenti sampai kameranya jadi rata dengan tanah. "Rei, Aku mengerti! Jadi hentikan!"