Melihat Alisa dan Arin sedang asik mengatur tempat tidur mereka untuk malam ini, entah kenapa Hazel jadi terkena reality-attack. Kenapa tadi Aku bilang oke… Di satu sisi, dia memang tidak bisa menolaknya karena Ruri yang minta. Tapi yang sebenarnya tadi buat dia jadi tidak bisa membantah adalah saat Alisa ikutan memohon dengan mata anak kucingnya. Dan begitulah ceritanya Hazel yang tidak baik hati akhirnya harus mengalah dan terpaksa membiarkan Arin juga Alisa untuk menginap di pondoknya.
"Kak Hana sebenarnya menemukan anak itu di mana sih?" Protesnya saat dia kembali ke meja luar di mana Hana dan Ruri sedang duduk. "Haruskah kakak pilih anak yang punya tatapan yang bisa buat orang merasa bersalah begitu?!"
"Hazel, diam sebentar!" Balas Hana yang sedang sibuk diskusi dengan Ruri. "Bagaimana? Kau terpikir sesuatu?" Tanya Hana lagi pada Ruri.
"Anggap saja kalau energi sihirnya memang kabut…" Gumam Ruri lagi yang sejak tadi terus-terusan mengulang pesan Rei. "Kalau mau melihat di kabut, apa? Pakai lampu?"
"Atau dengan api? Bukannya kabut biasanya hilang kalau udaranya panas?" Timpal Hana.
"...Hh."Menyerah untuk protes di diskusi yang serius itu, akhirnya Hazel pun ikut duduk. "Tapi kalau sedang siang hari Arin masih bisa melihatnya kan? Kalau begitu pasti bukan cuma panas." Katanya, dan mereka pun bertiga kembali hening untuk beberapa saat.
"Ahh, padahal Rei bilang itu sudah petunjuk yang paling mudah."
"Dia bilang begitu?" Tanya Ruri yang terlihat tidak yakin. "Hhh, apa memang ramuannya tipe yang sulit ya?"
"Maksudnya?"
"Habisnya, kalau Rei mengatakan itu supaya kita bisa menemukan ramuan yang tepat… Kemungkinan besar dia tahu kalau ramuannya adalah ramuan sulit yang tidak bisa dibuat dengan cepat."
Kaget dengan spekulasi itu, Hana melebarkan matanya. "Berarti kita memang sudah pasti kalah?!" Celetuknya. "Eh, tapi itu tidak apalah! Pokoknya untuk sekarang Aku cuma tidak mau merepotkan Arin lebih lama." Ocehnya. Soalnya dia juga sudah mengetahui tentang gosip itu dari anggota-anggota baru di Osis tadi sore. Makanya dia langsung lari ke Rei untuk minta petunjuk lainnya.
"Kalah?" Tiba-tiba Hazel kembali menyela. "Kakak… Jangan-jangan memang taruhan dengan kak Rei ya?"
"..." Untuk kesekian kalinya Hana dan Ruri lupa kalau mereka daritadi bicara di depan salah satu orang yang paling curigaan di Aviara. "...Itu, tidak sesimpel yang kau pikirkan." Kata Hana akhirnya.
"Tidak simpel apanya? Palingan kakak cuma menginginkan sesuatu, tapi kak Rei tidak mengijinkannya kan? Lalu kalian taruhan dan syaratnya adalah buat ramuan untuk Arin, berapa, seminggu ini?" Balas Hazel.
Saking benarnya, Hana dan Ruri akhirnya hanya menghela napas pelan. Selagi di sisi lain, Arin yang ada di dalam pondok sebenarnya memperhatikan mereka dari jendela.
"Hanya perasaanku atau kak Hazel kelihatan sedang mengomeli kak Hana dan kak Ruri…?" Gumamnya. "Tapi mana mungkin dia berani kan?"
Walaupun saat dia menoleh ke arah Alisa, orangnya ternyata tidak mendengarkan karena sedang sibuk melihat tumpukan catatan milik Ruri. "Kau masih baca semua itu? Aku saja pusing melihatnya. Kau tidak?" Ocehnya.
"..." Tapi lagi-lagi Alisa tidak menyahut. Dia benar-benar terpaku pada catatan di tangannya. Dengan pandangan yang aneh, Alisa benar-benar tidak bisa mengalihkan matanya seakan itu adalah peninggalan yang sangat berharga.
Selama ini Ruri hanya suka memperlihatkan resep-resep padanya. Jadi ini adalah pertama kalinya Alisa lihat catatan lain seperti ini--yang notabenenya mirip dengan buku pengetahuan sihir pada umumnya. Setting-nya memang berfokus pada tanah Aviara yang bertuah, tapi kurang lebih materinya tetap mirip.
Tapi bahkan bukan itu yang sekarang membuat Alisa terpaku.
"Alisa." Panggil Arin lagi yang kali ini mencoleknya.
"Eh, ah, iya, kau tadi bicara apa?"
"Kau baca bagian itu lagi?" Tanya Arin sambil menunjuk judul di salah satu halamanya. Tulisannya Bab 5. Siklus energi sihir. "Itu petunjuk yang dari kak Rei kan? Kau terpikir sesuatu?"
"Mm, belum." Sahut Alisa sedih. Padahal penjelasannya tidak panjang. Tapi sama seperti Ruri, Alisa juga sama sekali tidak tahu apa hubungannya semua itu dengan kasus mata Arin.
Soalnya kalau mau disingkat, intinya hanya menjelaskan tentang bagaimana energi sihir bebas yang ada di sekolah memasuki tubuh semua murid, memberi mereka kemampuan, lalu setelah disalurkan lagi keluar, semuanya akan jadi energi sihir bebas lagi. Itu saja. Sama sekali tidak ada bedanya dengan siklus pernapasan manusia. Tidak ada hubungannya dengan mata.
Alisa mulai membalik-balik halaman itu lagi. Tapi saat orangnya mulai melamun lagi, kali ini Arin tidak bisa tidak menyadarinya. "Kau melihatnya seperti itu lagi." Tukasnya. "Kenapa? Ada yang aneh dengan catatan itu ya?"
"..." Alisa menoleh dengan ekspresi ragu, tapi kemudian dia coba menjawabnya. "Mm, bukan apa-apa. Hanya, Aku baru sadar kalau tulisan tangannya sama dengan semua kertas resep yang biasa dibawa kak Ruri."
"Maksudku, catatan seperti ini pasti aslinya sudah sangat tua. Susunan kalimatnya saja masih sangat puitis seperti berasal dari abad lalu. Tapi sebaliknya, kertas dan tintanya masih mulus dan bagus, mungkin baru berumur 1 atau 2 tahun. Ejaannya juga sudah diperbaiki." Lanjutnya.
"..." Kaget mendengar Alisa malah mengoceh panjang, Arin sempat terdiam bingung. Bukan karena perkataannya yang sulit dimengerti, tapi fakta bahwa Alisa bisa menyadari itu semua hanya dengan melihat catatannya sekali. Meski tidak kelihatan, Alisa sepertinya memang agak pintar.
"Mm, yang artinya?"
"Artinya semua ini adalah salinan!" Balas Alisa. "Aku penasaran siapa yang rajin menulis semua ini pakai tangan. Padahal kalau baru 2 tahun lalu, harusnya lebih mudah pakai komputer. Apalagi di sekolah ini kan ada banyak."
"Begitu…?" Arin sedikit melongokkan kepalanya untuk melihat kertas yang ditunjuk Alisa, tapi dia tidak yakin apa yang harus dilihat jadi dia menarik kepalanya lagi. "Mm, bukan kak Ruri yang menulisnya?"
"Aku juga tadinya berpikir begitu. Tapi tulisan kak Ruri tidak seperti ini. Kak Hana juga tidak." Balas Alisa. "Ditambah…"
"Ditambah…?" Ulang Arin, entah kenapa merasa kalau Alisa mulai ragu lagi melanjutkannya.
"Aku tidak tahu… Hanya saja tulisannya sangat rapi."
Tidak langsung menyahut, Arin menatapi dulu ekspresi Alisa. "Tapi kenapa kau mengatakannya seakan itu bukan hal yang bagus?"
Gantian tidak paham, Alisa yang kali ini mengerutkan alisnya. "Memangnya Aku mengatakannya seperti apa?"
"Entahlah. Seperti kau kasihan dengan orang yang sudah repot-repot menulisnya."
"...Masa?"
==============================================
Karena di pondoknya ada banyak perempuan yang menginap, Hazel tadinya berencana untuk langsung kembali ke asramanya begitu dia selesai merakit miniatur kapalnya di meja luar sendiri. Tapi tanpa disadarinya, jamnya ternyata sudah menunjukkan angka 3 begitu dia selesai.
"Haha…" Meski begitu dia tetap saja mengeluarkan tawa mengerikan begitu dia puas melihat rakitannya sudah jadi.
Habisnya karena asramanya sering kena gempa atau meledak tanpa sebab, dia dan ketua divisi lain selalu tahu untuk tidak meletakkan barang-barang penting di kamar mereka. Alhasil, biasanya tempat divisi mereka sering jadi tempat koleksi cadangan. Seperti yang biasa dilakukan Hazel pada miniatur kapal-kapalnya. Lagipula tempat koleksi di kamarnya juga sudah sempit.
Tapi sebelum dia siap-siap kembali, Hazel yang masih ingin memandangi rakitannya itu pun meletakkan kapalnya kembali di meja. Lalu dia menggunakan sihirnya untuk membuat sebuah lampu yang bisa meneranginya, baru akhirnya dia mulai mengangguk-angguk dengan puas. Cahaya yang dia buat sebenarnya merupakan cahaya biasa, tapi kalau gelap begini cahaya itu hampir terlihat seperti kembang api karena ada debu samar yang muncul--
"Oh, benar juga."
"EH APA?!" Sahut Hazel yang kaget mendengar ada suara di belakangnya. Itu Alisa, yang kelihatan masih pakai piyama kuning norak yang dibawakan Hana tadi. "Kenapa kau di sini? Kau tidak tidur?" Tanyanya.
Meski bukannya menjawab, pandangan Alisa masih fokus pada lampu yang dibuat Hazel. "Kalau siang tidak begitu kelihatan, tapi saat kita menggunakan sihir sebenarnya memang ada percikan cahaya yang keluar kan?"
Terdiam bingung, Hazel ikutan melirik lampunya lagi. "Apa? Maksudmu yang seperti debu itu?"
"Iya, itu. Saking kecilnya dia cuma kelihatan kalau gelap seperti sekarang." Balasnya. "Kak Hazel, coba matikan cahayanya sebentar."
"Mau apa memangnya?"
"Matikan dulu." Pintanya lagi dan Hazel pun akhirnya menurutinya dulu. Dan seperti yang dipikirkan Alisa, bahkan setelah sihirnya dihilangkan, debunya masih sedikit kelihatan dan sedikit meninggalkan jejak. Kalau tidak salah di catatan yang dia baca semalam, itu biasa disebut residu sihir.
"Hm, akan kutanyakan kak Ruri nanti." Celetuk Alisa yang begitu saja sudah akan kembali ke pondok.
Grap! Tapi ternyata Hazel langsung menahan kerah baju Alisa dan menariknya kembali. "Woi, mana boleh kau pergi begitu saja setelah menyuruh-nyuruh ketua divisimu begitu!" Protesnya. "Jelaskan."
Seketika kikuk, Alisa sempat kebingungan untuk menjawabnya. "Mm, itu, kak Ruri cerita kalau kak Rei bilang energi sihirnya memang seperti kabut…"
"Iya, lalu?"
"Jadi solusi yang paling ada hubungannya adalah pakai penerangan…" Lanjutnya dan Hazel masih diam memintanya terus bicara. "Dan setelah melihat sihir kakak tadi, Aku jadi terpikir kalau pada dasarnya sihir sudah punya cahaya sendiri. Seperti residu--debu tadi, yang masih kelihatan sedikit meski kakak sudah menghentikannya."
Terdiam, Hazel sebenarnya mulai bisa memahami apa yang sedang Alisa bicarakan. Tapi karena masih agak ambigu, dia pun hanya membalas, "Oke, lalu?"
Tapi Alisa sudah tidak punya penjelasan lain karena itu semua masih spekulasi. "Yaa jadi, siapa tahu ada hubungannya…"
"Eh apa? Itu saja?" Balas Hazel yang akhirnya malah mulai tertawa. Melihat anak yang selalu dipuji Hana kelihatan agak bodoh, entah kenapa Hazel jadi sedikit merasa senang. "Kau lihat kan tadi debunya cuma muncul sedikit dibandingkan cahaya yang kubuat? Kalau mau pakai debu itu untuk menerangi penglihatannya, memangnya kau mau menyiraminya dengan sihir terus-menerus? Atau mau langsung menembakkan bola api ke wajahnya sekalian?"
Mendengar itu bibir Alisa pun langsung menekuk ke bawah. "Aku hanya pikir mungkin ada hubungannya…" Balasnya sedih.
"Ya, ya, tenang saja. Kau masih lebih pintar dari monyet yang kukenal." Katanya sambil menepuk kepala Alisa sekali. Baru setelah itu dia kembali berbalik untuk mengambil kapalnya dan pergi sambil tertawa.