"Bukan cuma kak Ruri, tapi kak Hana dan kak Fiona juga ada di sini? Tempat apa ini? Markas kedua anggota Vip?" Celetuk Mary heran.
"Tunggu, jangan-jangan kak Rei juga ada di sini?" Lanjutnya sambil melihat sekitar. Tapi selain laki-laki yang sedang merengut putus asa di depan pintu pondok, sepertinya memang tidak ada siapa-siapa lagi.
"Yang itu kak Hazel." Kata Arin seakan tahu isi pikiran Mary. "Dia ketuanya. Aku tahu. Aku juga tidak percaya awalnya."
Baru setelah itu Arin kembali menoleh ke arah Alisa. "Tapi Aku juga tidak tahu kenapa mereka di sini. Apa kau tahu?" Tanyanya. Tapi karena orangnya masih tidak menyahut, Arin pun mencolek pundaknya. "Alisa."
"Eh, ah, tidak tahu. Tapi lihat, ramuannya ada sebanyak itu!" Kata Alisa yang semangat sendiri melihat ke arah tenda. "Bahkan ada alat pengaduk, juga mangkuk pemisah, juga kain—"
"Iya, iya…" Sahut Arin dan Mary seadanya sembari menyeret teman mereka ke meja makan.
Dan sembari mereka semua mulai memakan segunung sandwich yang ada di meja, Hana ternyata menjelaskan 'semua' yang bisa dijelaskan pada tiga anak kelas satu itu. Kalau mereka berencana going all-out dalam pembuatan ramuan untuk Arin. Makanya mereka sampai pindahan begini.
Walaupun dibanding dengan Arin sendiri, Alisa dan Mary justru kelihatan lebih kaget. "Semua ini hanya untuk Arin?" Tanya Mary tidak percaya. "Kurasa gosip tentang Osis yang jahat memang tidak benar." Komentarnya, yang spontan malah membuat Fiona tersedak minumannya sendiri karena tertawa.
Tapi untungnya Hana yang ada di sampingnya langsung buru-buru menyumpal mulut Fiona dengan tisu dan mengambil alih lagi. "Walaupun untuk sekarang, rencananya ini hanya akan berlangsung selama 1 minggu. Lalu Aku dan Fiona juga akan bantu Ruri di sini. Lalu Hazel juga—"
"Jelas tidak." Potong Hazel cepat. Walaupun dia duduk terpisah jauh di ujung meja, dia tetap mendengar semuanya.
Kalau saja ada laki-laki lain yang bilang kalau dia harusnya senang pondoknya didatangi 6 perempuan sekaligus, Hazel mungkin akan langsung mencekiknya. Kata canggung saja tidak cukup untuk menjelaskan perasaannya sekarang.
"Aku juga sebenarnya tidak berencana bantu-bantu sih." Kata Fiona juga. "Tapi Aku sudah bawa kamera yang bagus. Jadi kalau cuma dokumentasi, serahkan padaku." Katanya bangga.
Cemberut karena langsung dicampakkan oleh semua orang, Hana pun akhirnya memilih untuk memandang ke arah Alisa saja. "Tapi kalau Alisa mau bantu kan?"
"Aku? Tentu saja." Jawab Alisa senang.
Meski orang yang menjadi pusat permasalahannya sendiri malah masih kelihatan ragu. "Anu, tapi Aku merasa sangat merepotkan." Kata Arin kemudian. "Apa keluhanku segitu seriusnya?"
"Tidak, tidak. Sama sekali tidak kok." Balas Hana langsung. "Kita semua cuma melakukan tugas seperti biasa, jadi jangan terlalu dipikirkan."
"Ya, tentu saja." Timpal Hazel lagi tiba-tiba. "Mereka bukan tipe orang yang akan menolong bahkan saat diminta, jadi palingan mereka melakukan ini karena alasan lain. Alasan pribadi misalnya." Sindirnya yang langsung membuat Hana dan Ruri jadi terdiam.
Tapi lagi-lagi, Fiona beda. "Woo… Seperti biasa kau tajam sekali." Katanya malah mengiyakan. "Yep, mereka memang melakukannya untuk alasan pribadi, jadi tidak perlu merasa terbebani." Jelasnya santai.
"...A-Akan kujelaskan kapan-kapan. Jadi tolong jangan tanya dulu ya." Kata Hana akhirnya agak memohon.
Tidak tahu harus menjawab apa, suasananya sempat canggung sesaat karena itu. Tapi setelah beberapa saat melihat temannya belum jawab apa-apa, Mary pun berencana untuk mengalihkan pembicaraannya dulu sementara.
"Tapi omong-omong, apa kak Rei tidak sekalian ikut ke sini?" Tanyanya, meski anehnya suasananya malah jadi tambah hening.
'Apa Aku salah tanya juga…'
Pada akhirnya, karena tidak banyak yang bisa dibicarakan--mengingat semuanya sedang sensitif--semua orang tadinya mulai kembali terdiam bingung. Tapi untungnya di suasana yang canggung seperti itu, tiba-tiba saja ada sapu tangan terbang yang terlihat muncul dari langit. "Oh, itu…?"
"Ah, itu pasti Hilda." Kata Hana yang dengan senang langsung berdiri dan berjalan mendekat. "Tadi Aku meneleponnya."
Tapi Mary yang familiar dengan nama itu kemudian jadi bingung lagi. "Kak Hilda? Kak Hilda ke sini juga?" Tanyanya tidak percaya.
"Kurasa dia mengantarkan sesuatu? Jangan bilang makanan lagi." Celetuk Ruri.
Penasaran, Alisa pun menarik pelan lengan Mary. "Siapa?" Bisiknya pelan.
"Kakak yang buat donat gratis waktu itu." Jawabnya singkat. Dan seperti yang dikatakan Ruri, orang itu memang datang untuk mengantarkan barang. Bahkan barangnya langsung terlihat jelas begitu dia mendarat. Yaitu kulkas es krim.
"Maaf ya lama, soalnya Aku perlu mengeluarkan puding yang ada di dalamnya dulu." Kata perempuan itu.
"Kenapa dikeluarkan?!" Protes Fiona langsung.
"Tenang saja, Aku sisakan beberapa di dalam." Sahutnya agak tertawa. Dan saat dia melihat Alisa dan yang lain, dia juga tersenyum ke arah mereka. "Halo." Sapanya ramah yang justru membuat Alisa bahkan Arin jadi lebih kikuk dari biasanya.
Alasannya jelas, karena kebanyakan orang memang bereaksi seperti itu setiap mereka pertama kali bertemu dengan Hilda. 'Uwah...'
Sekilas, kesan pertama Hilda mungkin mirip dengan Hana yang terlihat sangat cantik dan elegan. Tapi entah di bagian mana—mungkin rambut panjangnya yang diikat ke samping atau lekuk senyumnya yang secerah mentari pagi—Hilda kelihatan jauh lebih dewasa dan jauh lebih anggun. Belum apa-apa saja rasanya Alisa dan Arin sudah ingin keceplosan memanggilnya 'kakak'.
"Ah, Alisa dan Arin baru pertama kali lihat Hilda ya?" Kata Hana kemudian. "Ini Hilda, dia… Mm…"
"Penghuni dapur Osis?" Usul Fiona.
"Tidak buruk." Sahut Hilda ringan, yang kemudian kembali memandangi tiga anak kelas satu itu. "Hm, mereka manis semua. Kau pasti senang di sini." Katanya jahil pada Hana.
"Da-Daripada itu, Hazel, bisa bantu Aku pindahkan kulkas ini ke…" Hana berusaha berkata duluan. Meski Hazel ternyata tidak butuh waktu lama untuk memindahkannya, karena dia langsung menggunakan sihir teleportasinya, dan kulkas itupun seketika langsung pindah ke dalam pondok.
Hana kelihatan sedikit kecewa karena kalimatnya dipotong, tapi ya apa boleh buat. Ruri, Fiona, dan Hilda juga biasa saja melihatnya. Tidak seperti para anak kelas satu yang kaget lagi untuk kesekian kalinya hari ini. "Kak Hazel… Kakak bisa sihir teleportasi juga?" Tanya Alisa duluan.
Meski ternyata pertanyaan itu justru malah membuat Ruri dan Hana bingung. "Kau tidak tahu?" Tanya Ruri balik. "Kupikir kau sudah memberitahunya." Katanya lagi ke arah Hazel.
Tapi bukannya langsung menyahut, Hazel malah memandang ke arah Alisa dulu seakan dia perlu mengingat-ingatnya. "...Yah, sepertinya memang belum." Sahut Hazel enteng, merasa kalau itu bukan masalah besar. Sama sekali tidak tahu kalau Alisa sebenarnya lumayan kaget sendiri.
Itu bukan pertama kalinya dia melihat seseorang bisa melakukan sihir teleportasi di sekolah ini. Tapi melihatnya dari dekat memang terasa lebih mengagumkan. Untuk sesaat Alisa jadi ingat saat Arin pernah bilang padanya kalau aura Hazel termasuk yang punya banyak warna. Jadi harusnya tidak aneh kalau dia memang bisa menggunakan banyak sihir lain.
"Oh iya, Aku hampir lupa…" Kata Hilda yang kemudian menyela lagi. "Sebenarnya tadi Rei juga menitipkan sesuatu padaku."
"Rei?" Tanya Ruri balik. "Apa? Buku? Catatan?"
"Tidak." Kata Hilda yang mulai merogoh-rogoh sakunya. "Dia bilang hanya untuk jaga-jaga karena kau memindahkan banyak barang ke sini… Jadinya dia menitipkan ini."
ASJDKASJJSKAJSDSJKSDKSJK?!
Entah apa yang terjadi, semua orang tiba-tiba langsung grabag-grubug panik melihat boneka beruang mini yang ada di tangan Hilda. "Alisa, cepat menjauh—"
Tapi belum sempat melakukan apa-apa, boneka beruang itu sudah melompat sendiri ke tanah dan akhirnya mulai membelah diri jadi puluhan beruang. Selagi boneka yang utamanya juga malah membesar jadi raksasa. Yang entah bagaimana, semua orang tahu akan langsung mengincar ke arah Alisa.
Makanya saat ada beruang kecil yang melompat ke arah Alisa, Hazel dengan cepat langsung memukulnya menjauh. Lalu yang ketiga, keempat, sampai akhirnya Ruri dan Hana juga ikut membantu.
"Kalian bertiga masuk ke pondok!" Kata Ruri.
Bahkan walaupun mereka tidak begitu paham apa yang terjadi, mereka pun menurut dan mulai lari ke arah pondok. Tapi sayangnya satu beruang kecil berhasil menahan kaki Alisa dan membuatnya tersandung jatuh, sampai akhirnya beruang kecil lainnya juga mulai mengerumuninya.
Arin dan Mary yang melihat itu pun berusaha menyingkirkan mereka, tapi jumlahnya malah semakin banyak. Sehingga dalam hitungan detik, mereka juga sudah kesulitan bergerak.
Dan selagi semua orang sibuk dengan beruang kecil yang ada di mana-mana, Hilda—yang sebenarnya termasuk kategori orang yang bingung—juga terpaksa menahan beruang yang besar sendirian dengan cara memeluknya dari depan supaya beruang itu tidak mendekat ke arah pondok. "Kenapa Vudu-nya malah langsung aktif?!"