Namaku Yumna, Yumna Azsahra,
Usia 40 tahun bukan lagi usia produktif untuk seorang wanita. Usia itu mendekati masa pensiun, pensiun pada pekerjaan dan mungkin pula pensiun secara jasmani. Pada usia itu harusnya seorang wanita menikmati masa tuanya dalam sebuah keluarga yang bahagia, tetapi tidak denganku.
Masa produktifku, aku habiskan dengan bekerja dan terus bekerja, larut dalam pekerjaan dan tenggelam dan tumpukan file-file. Meski puncak karirku saat ini hanya menjadi orang kepercayaan seorang pengusaha sukses yang tidak lama lagi akan pensiun.
Aku tidak pernah pacaran, tidak pernah merasakan jatuh cinta, sebab aku terlalu takut memikirkan itu semua.
Sekarang, saat semuanya terlambat, aku ingin merasakan itu semua. Aku hanya bisa menatap iri pada setiap pasangan yang berlalu dari hadapanku dengan canda tawa. Aku sendirian, ditengah keramaian kota. Padahal kata orang, truk aja gandengan kok aku nggak.
Aku menarik nafas berat. Pekerjaan hari ini selesai seperti biasanya, hidupku monoton, hanya rumah dan tempat kerja, tidak ada yang lain. Untuk mengusir galau yang selalu aku rasakan, aku memutuskan untuk jalan-jalan, entah kemana, aku tudak punya tujuan, aku hanya punya dua kaki yang akan terus melangkah saat gabut menyerangku.
Kriek..kirkeke..
Suara ban mobil yang beradu dengan aspal karena sang sopir ngerem mendadak. Disaat bersamaan tubuhku tertarik ke samping, hamper terjatuh ke got namun dengan sigap tangan kekar seseorang menangkap tubuhku agar tidak terjatuh, naasnya tangan kekar itu menyelinap masuk ke dalam pinggangku hingga aku terjatuh dalam pelukannya. Aku menatap wajah lelaki itu. Sangat dekat.
"Argh…" teriakku kemudian memberontak berusaha lepas dari pelukannya.
"Hei… kalau mau bermesraan jangan dijalan. Bisa terjadi kecelakaan," teriak sopir yang tadi ngerem mendadak karena hamper menabrakku.
"Maaf," kata lelaki itu. Sedangkan sopir tidak peduli dengan kata-kata lelaki itu, dia dengan marah sopir itu melajutkan kendaraan.
"Pak Ustad… jangan bermesraan di tempat umu. Dosa," teriak salah satu sopir angkutan umum, aku bergidik.
"Maaf," kata lelaki itu. Aku hanya mengangguk, merasa bersalah sudah meneriakkinya saat dia mencoba menolongku.
"Kamu baik-baik saja?" Tanya lelaki itu lembut.
"Iya," kataku.
"Kalau begitu, aku permisi," kata lelaki itu. Aku hanya mengangguk setuju.
"Assalamu alaikum," kata lelaki itu.
"Waalaikum salam," jawabku, lelaki itu lalu berbalik meninggalkanku. Aku merutuki diriku sendiri yang tidak focus hingga nyaris menyebabkan kecelakaan.
"Maaf," tegur lelaki tadi.
"Kok balik?" tanyaku penasaran.
"Maukah kamu menikah denganku?" Tanya lelaki itu membuatku bingung. Aku tertawa sinis. Lelaki ini pasti ingin mempermainkanku. Hanya karena aku jomblo seumur hidup, hanya karena aku nyaris pada titik terendah dalam hidupku, bukan berarti aku bersedia menikah dengan siapapun, apalagi menikah dengan lelaki yang aku temui di jalan. Sungguh tidak logis.&&&&
Aku uring-uringan sendiri. Duduk di kursi kerjaku kemudian menelungkupkan wajahku di meja, untung saja hari ini masa peralihan dari coe lama pada CEO baru, sehingga aku tidak punya banyak kerjaan dan bisa sedikit bersantai.
"Ini kesempatan terakhirmu untuk menikah," bisik Alma sahabat baikku yang sudah menikah selama 20 tahun lamanya.
"Masih untung ada yang mau melamarmu," kata Dian seenaknya. Aku langsung menatap tajam ke arah Dian tetapi Dian tidak peduli dengan tatapanku.
"Realistis saja. Kasihan jika kamu mati sebelum menikah. Saat kamu sakit, semua orang akan repot, keluarga dan sahabatmu, padahal kami juga punya kesibukan masing-masing," kata Dian lagi begitu menyakitkan.
"Kau tidak perlu menjengukku saat sakit. Tidak perlu datang ke pemakamanku saat aku mati," teriakku pada Dian. Semua karyawan dalam ruangan kami menatap ke arahku. Aku tidak peduli, sekali-kali aku ingin meluapkan kekesalan yang selama ini terpendam.
"Terserah kamu saja," kata Dian lalu bangkit meninggalkanku. Dia membawa sebuah file dan berjalan menuju ruang CEO.
"Emang Ceo baru langsung kerja tanpa pengenalan dulu?" tanyaku pada Alma.
"Emang kita anak sekolahan, harus pengenalan dulu?" Tanya Alma kemudian menertawakanku.
"Baru kali ini otakmu lambat loading," kata Alma lagi masih menertawakanku. Aku hanya cemberut.
Tititititititk
Aku mengendus kesal saat mendengar suara hak sepatu Dian yang terdengar sangat berisik. Dian berlari dari ruang CEO ke ruang kerja kami.
"Ada apa?" Tanya Alma pada Dian.
"CEo, sudah datang," kata Dian pada Alma, Dian lalu memukul kepalaku, membuatku meringis kesakitan, "Jangan bermalas-malasan begitu. Kau bisa kehilangan pekerjaan jika tidak segera menyambutnya," kata Dian padaku.
"Tidak apa-apa. Aku sudah siap pensiun," kataku dengan senyum bangga.
"Emang tabunganmu cukup untuk pensiun?" Tanya Dian penasaran.
"Cukup, aku sudah punya rumah dan motor," kataku lagi. Dian memukul kepalaku.
"Rumahmu minimalis, banyak bocornya saat hujan turun, motormu motor butut, lebih banyak mogoknya," kata Dian membuatku geram mendengar kata-katanya. Selama ini Dian memang membuatku kesal namun tidak pernah sekesal ini.
Baru saja aku akan membuka mulut untuk pembelaan, tiba-tiba Dian langsung membekap mulutku.
"Yang terpenting, nih CEO keren abis. Baru meraih gelar sarjananya, masih muda bo. Tapi sudah memiliki masa depan yang super duper cerah, pewaris perusahaan ternama ini," kata Dian.
"Masa?" Tanya Alam.
"Andai kami dipertemukan saat masih muda, atau saat aku belum punya suami atau saat aku berstatuskan janda," kata Dian yang langsung ku dorong hingga terjatuh.
"Mimpi sih mimpi Dian, tetapi jangan sembarangan bicara, pengen jadi janda, emang kamu siap? Belum tentu CEO itu jauh lebih baik dari suamimu," cerocosku meski Dian terus memberikan kode agar aku diam tetapi aku tidak peduli.
"Lelaki yang menikahi itu adalah takdirmu. Dia juga yang memilih untuk berkomitmen denganmu. Mengambil tanggung jawab dari ayahmu. Tidak hanya bertanggung jawab padamu di dunia tetapi juga diakhirat, paham kamu?" teriakku, aku ngos-ngosan setelah berteriak tanpa jeda. Dian menutup mata, lalu menunjuk ke arah belakangku. Aku terkesima, ternyata CEO baru bersama dengan beberapa pejabat perusahaan berdiri di belakangku. Aku tertunduk malu. Tapi bukan itu masalahnya, aku menatap lekat-lekat CEO baru itu. Aku meringis. Bagaimana bisa lelaki yang melamarku di jalan adalah CEO baru kami. Aku membakap mulutku sendiri, melangkah perlahan menuju kursiku. Duduk tenang dan berusaha untuk mengalihkan perhatianku dari CEO baru tersebut.
"Yang terpenting, nih CEO keren abis. Baru meraih gelar sarjananya, masih muda bo. Tapi sudah memiliki masa depan yang super duper cerah, pewaris perusahaan ternama ini," kata Dian kembali tergiang di telingaku.
"Apa?" teriakku tanpa sadar. Semua orang kembali menatapku. Aku hanya bisa tertunduk malu, membekap mulutku lalu perlahan meninggalkan ruang kerjaku menuju toilet wanita.
"40 tahun di kurang 22 tahun, 22 tahun kemungkinan dia sarjana. Itu berate, kami beda 18 tahun. Och Tuhan.. bagaimana bisa seorang bocah melamarku. Di jalanan lagi. Dia pasti tidak berfikir jernih," kataku pada diri sendiri. Aku mencuci tanganku dengan kasar kemudian keluar toilet dengan perasaan dongkol.&*&*&