Aku menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Tidur terlentang menatap langit-langit kamarku.
"Bukankah sudah terlambat bagiku untuk menikah? Aku takut tidak mampu membahagikana suamiku. Tidak bisa memenuhi harapan keluarga," gumamku.
Sepanjang malam aku hanya memikirkan tentang masa depanku. Jika bisa aku ingin keluar dari masalah in, atau mungkin tidak pernah bertemu dengan Arifin dalam kasus seperti ini. Aku sungguh menyesali insiden sore itu.&*&
"Kau dandan? Seperti bencong saja," kata Dian kemudian meledakkan tawanya. Aku meletakkan tasku di meja kerja, duduk di kursiku dan mulai bekerja. Alma ke meja kerjaku, menatapku lekat-lekat dengan wajah cemas.
"Apa yang kau coba sembunyikan?" Tanya Alma kemudian meraih daguku, mendekatkan wajahnya dengan wajahku, kemudian membolak-balikkannya sambil diperhatikan secara seksama dan dalam tempo sedekat-dekatnya. Dian langsung mendekat mendorong Alma lalu meraih daguku yang terlepas dari genggaman Alma.
"Kau ingin menyembunyikan kerutan? Kau ingin menolak tua? Jangan begitu, syukuri, sudah masa kita untuk tua, meskipun kau masih gadis, tetapi hokum alam, saat usiamu sudah tua maka wajahmupun akan penuh dengan keriput, jangan merusak wajahmu dengan kosmetik murahan yang menjanjikan kecantikan isntan," kata Dian. Aku mendorong tangan Dian untuk menjauh dari wajahku.
"Jika kalian sudah lelah mengomentari wajahku, maka kalian boleh kembali ke meja kalian. Harus kerja, kalian digaji untuk kerja," kataku.
"Kau menyembunyikan mata pandamu." Teriak Alma membuat Dian yang sudah kembali ke mejanya langsung loncat ke mejaku.
"Mata panda? Kau tidak tidur semalaman? Apa yang kau lakukan? Memikirkan masa depan?' teriak Dian.
"Benarkan begitu?" Tanya Alma penasaran, aku hanya menghujani mereka dengan tatapan tajam.
"Masa depanmu sudah jelas. Masa tuamu akan kau habiskan dalam keadaan jomblo. Tidak punya anak dan kesepian. Saat kau sakit, kau akan sendirian, saat kau mati, mayatmu akan ditemukan setelah membusuk," kata Dian membuaku bergidik.
"Apakah akan seseram itu?" tanyaku lemas.
"Tidak akan seseram itu," kata Alma memberiku semangat. "SEbab ada kami yang selalu ada untukmu,"
"REalistis," kata Dian sambil mencolek kelapa Alma. "Kami bukan remaja lagi yang tidak punya kerjaan dan sibuk dengan dunia lebay, kira itu sudah dewasa dan punya keluarga serta kesibukan masing-masing, kami punya anak dan suami, kami wajib mengutamakan mereka dari persahabatan yang sudah terjalin sejak kita kulian ini," kata Dian panjang lebar, namun menyadarkanku akan posisiku dalam kehidupan mereka saat ini.
Tak tik tuk tik tak tik tuk
Iitu bukan suara sepatu kuda tetapi suara sepatu bidadari yang tengah singgah ke bumi. Dia sangat cantik, tinggi semampai dengan rambut tergerai indah hingga ke pinggangnya. Melangkah dengan anggun, berpakaain sederhana namun elegan, meski bisa kami pastikan bahwa semua yang melekat pada tubuhnya adalah barang branded. Aku menatap kagum pada gadis bak bidadari itu, aku melongo dengan mulut terbuka lebar. Untuk kaum hawa saja kami bisa jatuh cinta padanya, apalagi kaum adam yang pastinya klepek-klepek melihat senyum yang dia tebarkan sepanjang jalan.
"Calon istri boss," kata Dian seakan menampar wajahku dan menyadarkanku dari terhipnotis kecantikan bidadari itu.
"Jangan sok tahu," kataku.
"Namanya Camelia," kata Dian bangga karena tahu banyak tentang perempuan itu dibandingkan kami semua.
"Nama yang jadul," kataku sinis membuat Dian terbelalakn mendengarnya.
"Dia itu gadis lulusan kairo seperti pak bos," kata Dian nyolot.
"Tetapi cara berpakaiannya yang terbuka tidak menunjukkan hal itu," kataku.
"Yang pastinya, dia jauh lebih baik darimu," kata Dian dengan wajah memerah menahan amarah.
"Dia hanya menang muda dariku, tidak lebih dan tidak kurang," kataku. Dian mengayunkan tangannya ingin memukulku namun aku bergeas meninggalkannya. Aku meledakkan tawaku saat tiba di pantry. Satu kepuasan tersendiri membuat Dian kesal sebab selama ini Dian yang selalu memancing emosiku. Ternyata seperti ini rasanya. Pantas saja Dian suka menggodaku sebab itu bisa menjadi obat awet muda yang paling alami.
Aku menikmati secangkir cokelat panas, terlintas dalam pikiranku tentang sebuah ide. Aku lalu bergegas membuat dua buah cokelat panas dan sepiring cemilan, tanpa disuruh aku langsung membawanya ke ruangan Arifin/ aku terkesima, langkahku terhenti saat melihat tubuh Camelia condong ke tubuh Arifin. Camelia terlihat salah tingkah lalu memperbaiki duduknya saat melihatku masuk membawa nampan berisikan makanan.
"Cantik-cantik murahan," gumamku sambil mengatur makanan dan diminuman diatas meja, Arifin tersenyum sedangkan Camelia terlihat marah.
"Apa maksudmu?" Tanya Camelia padaku.
"Silahkan dinikmati," kataku. CAmelia berusaha untuk menyembunyikan amarahnya.
"Terima kasih," kata Camelia dengan nada jutek. Aku tersenyum sinis.
"Permisi, aku keluar dulu," kataku kemudian bergegas kembali ke meja kerjaku setelah mengembalikan nampan ke pantry.
Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kerjaku. Mencari nomor telfon Arifin yang semalam dia masukkan secara paksa ke ponselku saat mengantarku keluar rumahnya.
"Semoga bermanfaat," kata Arifin setelah menulis nomor ponselnya di ponselku. Tadinya aku bermaksud untuk menghapus nomor itu namun urung entah karena alasan apa. Mungkin karena akan menghubunginya hari ini.
Langsung aku kirimkan pesan pada Arifin.
Nikahi saja perempuna di hadapanmu itu.
Aku langsung mengirimnya tanpa perasan ragu.
Tidak lama sebuah pesan masuk ke ponselku, sebuah video. Aku membuka video dimana Camelia mencoba terus mendekati Arifin sedangkan Arifin berusaha untuk menjauhinya.
Seperti nabi yusuf yang harus menghindari Sulaikha. Bukankan nabi pernah merasakan hal seperti itu? Apalagi aku yang hanya manusia biasa.
Pesan dari Arifin yang langsung aku balas dengan cepat dan singkat.
Nabi yusuf akhirnya menikahi Sulaikha.
Pesan dari Arifin.
Tidak semua kisah harus berakhir seperti itu.
Aku langsung membalasnya.
Terserah, itu bukan urusanku.
Setelah itu aku melemparkan hpku ke dekat komputerku lalu kembali tenggelam ke dalam pekerjaanku.
Tidak berapa lama Camelia muncul dari balik pintu ruangan CEO, melangkah anggun sambil menebarkan senyum manis sedangkan dibelakangny, Arifin melangkah dengan penuh wibawa. Seakan menegaskan betapa bangganya memiliki Camelia dalam hidupnya.
"Pasangan yang sempurna," bisik Dian yang entah kapan berada di dekatku. Aku hanya mencibir.
"Dia super model yang sedang naik daun, berencana pensiun setelah menikah lalu menjadi muslimah sejati, memakai hijab dan sibuk mengurus rumah tangga," kata Dian.
"Kalau mereka jodoh. Kalau tidka jodoh? Camellia tidak akan menjadi muslimah sejati? Sayang sekali," kataku dengan mimic pura-pura prihatin. Dian langsung mendorong tubuhku dengan wajah marah.
"Apa masalahmu?" Tanya Dian.
"Harusnya aku yang bertanya demikia. Tanpa alasan kau mendorongku, marah-marah tidak jelas," kataku lalu memilih untuk duduk santai di kursiku.
"setiap yang aku ceritakan selalu kamu sangkal," kata Dian.
"Aku hanya mengatakan kemungkinan buruknya," kataku.
"Kau.." baru saja Dian akan mengamuk, tiba-tiba Arifin muncul dekat mejaku lalu tersenyum manis ke arah semua karyawan termasuk aku.
"Tolong ke ruanganku," kata Arifin.
"Baik pak," jawabku kemudian mengikuti langkah Arifin yang kembali ke ruangannya.
Arifin duduk di kursi di balik meja kerjanya. Aku berdiri tepat di depan meja kerja Arifin.
"Apa ap?" tanyaku pada Arifin.
"Kau cemburu?" tanyanya membuat dahiku berkerut.
"Apa maksudnya?" tanyaku balik.
"Tingkahmu menunjukkan bahwa kau cemburu pada Camelia," kata Arifin membuatku geram.
"Atas dasar apa aku harus cemburu?" tanyaku dengan suara sedikit pelan untuk menekan amarah yang sudah memuncak, sejak tadi Dian sudah mengusikku, sekarang Arifin yang memancing emosiku.
"Karena kau calon istriku," kata Arifin kemudian tertawa. Aku memperhatikan wajah Arifin yang menggemaskan tek.. jantungku terasa berhenti berdetak. Aku memegangin dadaku, menarik nafas berat untuk menyalurkan oksigen ke dalam jantungku yang tiba-tiba tidak berfungsi dengan baik.
"Ada apa?" Tanya Arifin panic.
"Jantungku berhenti berdetak," katak.
"Apam asalahnya?" Tanya Arifin.
"Karena kau membuat tekanan darahku naik hinggs jsntungku tidak bisa berfungsi dengan normal," kataku membuat tawa Arifin meledak. Aku menatap heran padanya.
"Apanya yang lucu?" tanyaku. Arifin berusaha menelan tawanya.
"Tidak ada," kata Arifin.
"Jika tidak ada masalah yang akan dibicarakan, lebih baik saya pergi," kataku.
"Camelia mengajak untuk kerja sama," kata Arifin.
"Saya perlu membuat kontrak kerja kalian?" tanyaku serius.
"Kau tidak marah?" Tanya Arifin makin membuatku heran.
"Untuk apa aku harus marah?" tanyaku lagi.
"Frekuensi pertemuan kami akan semakin banyak. Aku tidak ingin itu melukaimu, membuatmu cemburu atau hal yang mengusik hubungan kita," "ata Arifin dengan wajah serius.
"Tidak ada hubungan diantara kita. Dan harus anda ketahui bahwa aku adalah sosok profesional, jika untuk kebaikan perusahaan, maka berteman dengan musuh bebuyutanpun, aku bersedia," kataku tegas.
"Baguslah kalau begitu," kata Arifin.
"Baiklah jika sudah tidak ada yang dibicarakan maka lebih baik aku pamit," kataku.
"Kau yakin tidak cemburu?" Tanya Arifin lagi.
"Permisi," kataku lalu meninggalkan Arifin yang tertawa.
Di depan mejaku, berdiri Alma dan Dian, menatapku dengan pandangan menuntut penjelasan namun aku cuek saja dan siap duduk di kursiku namun mereka langsung mengapit kedua lenganku dan menyeretku menuju pantry. Mendudukkanku di kursi, mereka lalu duduk di hadapanku seakan siap untuk menghakimiku.