Sejauh ini kinerja Annisa sangat bagus meski ia membawa kekuarangannya itu, Adrew juga melihatnya dubbing untuk pertama kalinya dengan alasan ingin melihat proses dubing. Akan tetapi Adrew bahkan rela menunggu dua jam untuk giliran Annisa yang melakukan tugasnya dengan baik. Ia senang melihat betapa cerianya Annisa di dalam ruang rekaman itu bersama seorang rekannya, ia melihat pancaran aura bahagia dari wajah Annisa.
Adrew semakin yakin untuk melindungi Annisa dengan baik, ia akan mencoba menjaganya dan mencintainya dengan caranya. Annisa melakukan banyak hal untuk hidupnya dan ia merasa menjadi penjahat yang melepaskan pertanggungjawaban atas sikap buruknya pada sang korban. Namun ia paham, ia aka pergii dan mencoba menjadikan Annisa sebagai prioritasnya, tidak ada yang bisa menyentuhnya barang seujung kuku pun.
"Hebat kamu, Nis!" puji Dania sebagai rekan dubbignya hari ini.
"Kamu juga, Kak Dania," balas Annisa malu-malu.
Mereka keluar dari ruang rekaman dan langsung membungkuk pada Boss besar mereka sekarang, Annisa diberi isyarat oleh Dania untuk melakukan hormat pada bos mereka. Annisa pun mengangguk dan memikirkan semuanya dengan benar.
"Kerja bagus," ujar Adrew mengapresiasi.
Annisa agak akrab dengan nada bicaranya, seperti seseorang yang pernah ia kenal, tetapi ia tak yakin hanya berpikir sejenak. Hingga ia mengikuti Dania untuk duduk di sebuah kursi tunggu, mereka bergantian dengan Yudha dan Nico yang saat itu akan mendubbing adegan action yang cukup menguras tenaga.
Adrew tak lagi melihat ke arah dubber, tapi ia memperhatikan Annisa yang duduk di sampingnya sekitar semester dari tempatnya duduk. Sepertinya Dania juga merasakan hal itu, sehingga ia seilah membiarkan Annisa duduk di bagian kiri agaria tak menghalangi pandangan Adrew.
Sore jam empat, Annisa pulang setelah salat asar tadi, ia mengoperasikan tongkatnya untuk memandu jalannya, hingga ia menabrak sesuatu.
Bruk!
Ia langsung panik, "Maaf Pak, Mas, Mbak, Bu, Dek … saya gak sengaja!" ujarnya bertubi-tubi.
"Hey, tenang … gak papa kok," ujar suara bass itu.
Annisa mundur beberapa langkah, ia tersenyum tipis dengan raut wajah merasa bersalah.
"Sekali lagi saya mohon maaf, saya pamit dulu, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," gumam orang itu kemudian.
Annisa kembali melanjutkan jalannya, ia tersenyum pada siapapun itu yang menabraknya tadi sebelum oergi. Ia juga merasa bersalah karena sering menabrak orang, tak jarang mereka melayangkan banyak sekali hinaan dan hujatan yang menunjukan bahwa orang buta sepertinya adalah manusia rendahan yang tak pantas hidup.
Tentu ia merasa sakit hati, mungkin karena terlalu sering hatinya jadi kebal menerima hinaan yang paling hina sekalipun. Ia bahkan pernah dilecehkan dan hamper diperkosa tatkala ia baru pulang kerja, tetapi seseorang menolongnya dengan baik sehingga kejadian mengerikan itu tak pernah terjadi lagi padanya.
Ia berjalan menyusuri jalanan, trotoar yang membantunya merasakan dan beberapa orang yang menyapanya membuatnya ingat jalan untuk kembali pulang. Seberapa banyak ia merasa sakit, semuanya akan baik-baik saja jika ia melihat hal positif lain yang ada di dunia ini, bahkan sebobrok apapun dunia ini.
Akan tetapi perasaan Annisa semakin tidak enak ketika ia melangkah semakin masuk ke hang tempatnya tinggal. Ini masih jam 17.00 WIB, tetapi jalanan sudah sepi. Memang lingkungan tempatnya ngontrak tahun ini juga tak jauh beda dengan yang dulu, tidak aman dan banyak orang mabuk-mabukan di jalan.
"Hai, Neng!"
Benar, ini tidak aman, Annisa merinding mendengar ada sekelompok orang yang tengah bersenang-senang dan bau menyengat alcohol mulai mendekati penviumannya yang tajam itu, ini situasi darurat.
"Maaf Pak, biarkan saya lewat," ujar Annisa takut sambil terus berjalan maju berusaha menghindari orang yag menghadangnya itu.
"Gak semudah itu Neng geulis," balas orang itu.
"Iya, sini Neng, kita main sebentar yok!"
"Gak mau, pergi!" bentak Annisa mencoba kabur tetapi ia malah jatuh tersandung batu.
"Weh jangan gitu dong neng, udah buta gak usah jual mahal," ujar yang lain.
"Lepasin!"
Namun semua usahanya tidak berhasil, seseorang memegangi tangannya, lalu menyeretnya untuk mendekati teman-temannya yang lain. Annisa merontah dan minta tolong.
"Tolong siapapun!"
"Santai dong Neng, kita cuma mau main sebentar, ya gak Sob?"
"Gak mau lepasin, tolong!'
Belum ada juga yang menolong, sampai sebuah tinjuan sampai di wajah seseorang yang memegang Annisa, ia meniju penjahat itu dan berkata.
"Lepasin, calon bini gue, asu!"
"Wah ngaku-ngaku lo …." Ujar preman lainnya.
Akan tetapi orang yang ditinju tidak terima dan segera membalas, tetapi pahlawan itu mampu menangkisnya dan melemparkan apapun pada keempat preman itu. Pria itu langsung membawa Annisa kabur dan melarikan diri dari keempat preman yang mabuk dan oleng itu. Keempat preman itu tak bisa mengejar Annisa dan dirinya, hingga mereka sampai di tempat aman.
"Hos hos hos! Aku sudah gak kuat, Mas …." Ujar Annisa melepas pegangan tangan laki-laki itu.
"Iya udah aman kok, kamu gak papa kan?" tanya pria itu.
"Alhamdulillah gak papa, makasih yah Mas," ujar Annisa.
"Sama-sama, kamu harusnya jangan lewa sana," ujar pria itu.
"Tapi saya gak tau lagi harus lewat mana selain jalan itu, kami baru sebulan pindah ke gang ini," ujar Annisa lesu.
"Ya udah saya antar kamu ke rumah ya," ujar pria itu.
"Boleh, makasih yah Mas, maaf ngerepotin."
"Its oke, yang penting kamu aman."
Mereka pun berjalan dalam keheningan, hanya suara tongkat Annisa yang membuat suasana mencekam itu mulai berirama.
"Aku ada kontrakan punya Ayah saya, tempatnya aman dan gak jauh dari jalan utama, mudah akses kendaraannya. Kamu mau coba di sana," tawar pria itu.
"Hem, biayanya berapa yah tiap bulan?"
"Satu juta sih, bisa dinego kok karena kamu kenal saya," ujar pria itu.
"Masa Mas, biasanya segitu sudah mentok kalau gak jauh dari keramaian, malah kebanyakan lebih mahal sekitar 1,5 juta."
"Enggak juga sih, orang Ayah saya niatnya bantu para perantauan," jawab pria itu dengan suara menenangkan.
"Em, oke Mas," ujar Annisa mengeluarkan ponselnya, "Bisa ketik nomornya Mas?"
"Oke, nama kontaknya Kris," ujarnya.
Annisa agak kaget, tetapi ia tersenyum dan mengangguk, "Iya Mas, makasih."
"Sama-sama, jangan sungkan. Kapan-kapan kalau kamu ma uke tempatnya, panggil saya aja."
"Iya Mas, makasih."
Tidak masuk akal memang, tapi apa salahnya mencoba. Kalau itu rezeki bisa saja, kadang memang rezeki datang dari arah yang tak disangka-sangka dan tidak semua rezeki berbentuk uang, bisa saja pekerjaan, barang, makanan, atau bahkan iman Islam kita adalah rezeki yang belum tentu semua orang bisa medapatkan itu.
Pada akhirnya Annisa sangat bersyukur bisa bertemu dengan pria itu meski dalam keadaan genting. Ia senang bisa mendapatkan solusi dari kekhawatirannya selama ini.