Berita itu benar-benar membuat Adrew jengkel, pasalnya ia telah digosipkan telah berpacaran dengan salah satu model cantik yang entah darimana asal-usulnya, intinya ia sama sekali tidak pernah berinteraksi secara intim dengan wanita itu seperti yang ada di foto. Wanita itu bernama Angelina yang merupakan model papan atas berasal dari Thailand, ia sangat cantik, seksi, dan merupakan idaman kaum Adam, akan tetapi Adrew tak tertarik sama sekali.
Adrew malah marah saat ada seorang yang menggosipkan mereka, ia langsung mengancam para media dan mengatakan kalau berani-berani menggosipkannya dengan wanita itu, ia akan meratahkan perusahaan berita itu dengan tanah. Sungguh, ia akan melenyapkan siapapun yang berani-berani mengusiknya.
Berita itu hanya bertahan dua jam setelah viral, kemudian lenyap bagai angina yang membawa masa lalu. Intinya berita itu menjadi berita lain yang sengaja dimunculkan untuk menutupi gosip sampah itu.
"Brengsek bener tuh media, kalau Annisa sampe tau, gue bakar perusahaannya!" teriaknya di sepanjang koridor menuju ruang humas.
Semua orang yang lewat bahkan para pegawai humas sendiri sampai tak berani mengangkat wajah gara-gara melihat wajah Adrew yang sepertinya ingin makan orang. Adrew ke sana karena ingin mengecek persiapan acara yang akan dilaksanakan lima hari lagi, yakni acara ulang tahun Rexan Corp.
"Sabar Bos, yang namanya juga numpang tenar tuh artis."
"Awas aja sampe gosip itu berlanjut, gue peres satu-satu tuh yang jadi backing tuh malaikat busuk."
"Angel namanya Bos cantik gitu juga …."
"Lo belain dia, Vin?!" teriaknya lagi.
Kevin mengatupkan bibirnya dan tak berani angkat bicara lagi, Adrew benar-benar murka dan tak ingin ada yang menyalahkannya atas apa yang sedang ia katakana. Setelah Kevin diam, Adrew melihat ke arah sekeliling dan melihat para pegawai menunduk takut, akhirnya ia mengusap wajahnya dan menghela napas.
"Dah lanjut kerja semua," ujarnya dengan nada yang ketus tetapi lebih pelan dari yang tadi.
Setelah itu Kevin langsung meminta manajer adminisrasi dan ketua tim humas untuk menghadap Adrew di ruangan manajer, begitupun Adrew langsung ke sana untuk mendengar progres mereka.
Kedua perempuan yang merupakan manajer administrasi dan ketua tim humas itu menjelaskan apa yang sudah mereka lakukan dan beberapa planning untuk mengurangi resiko kegagalan bagi mereka. Setelah rapat dadakan itu selesai dengan waktu sejam, Adrew beralih melakukan metting di luuar dengan klien.
Ia tak sabar untuk menunggu waktu lima hari lagi di mana ia akan kembali melihat sosok yang ia damba. Ia ingin sekali melihat Annisa dan dekat dengannya meski Annisa mungkin tak menyadari keberadaannya. Sayang sekali, ia sendiri saja tak bisa menyampaikan banyak hal padanya, hanya bisa melihan dan mengagumi dari jauh.
Rapat kali ini agak menyeblkan karena harus rapat dengan anak dari perusahaan yang akan bekerjasama dengannya. Masalahnya adalah Bagus Permana—putra Biantara Permana ini adalah musuh bebuyutannya sejak SMP, mereka selalu memiliki permusuhan entah soal akademik ataupun soal basket ketika SMA mereka ada di sekolah yang berbeda. Sepertinya Bagus memang memiliki ketertarikan untuk menyainyinya dari awal, hal itu membuat ia akan melakukan apapun yang Adrew lakukan juga.
Setelah rapat selesai secara professional, mereka makan siang dan mengobrol. Namun, lagi-lagi Bagus ini memang jahil dan selalu membuat orang sebal terutama Adrew.
"Lo masih betah jomblo, Ad?" tanya Bagus dengan wajah jahilnya.
Adrew memutar bola matanya malas, "Bukan urusan lo."
"Weh, masih judes aja ye, pantesan cewek pada kabur."
"Daripada sibuk julidin gue, lebih baik lo ngaca sana, emang lo udah ada cewek?"
"Hahaha … ya udah dong, gue mah banyak yang minat. Sayangnya gue lagi nunggu satu cewek pujaan hati gue yang sampe sekarang belum buka hati buat gue."
"Heleh, alesan."
"Yang penting gua normal."
"Lo kira gue bengkok, hah?!"
"Hahahaha sante Bro, ya wajar sih pangkat lo lebih tinggi dari gue. Saking sibuknya gak sempet ngejar cewek yah, ckckck."
"Bangsat lo."
Begitulah percakapan mereka membuat Kevin meringis, ganas betul Adrew itu, ditambah si Bagus ini tidak takut sama sekali pada Adrew. Sepertinya mereka memang sudah saling kenal sejak lama dan memiliki hubungan yang cukup rumit.
Entahlah, yang pasti hubungan itu tak baik, mengingat sedari tadi mereka hanya saling debat dan mengejek satu sama lain.
+++
Annisa pulang jam tiga sore setelah menyelesaikan pekerjaannya tadi, ia seperti biasa langsung pulang dan ia baru beradaptasi lagi dengan jalanan yang baru. Namun jalanan itu memang lumayan ramai sehingga ia tidak perlu khawatir jika ada oknum preman yang mengganggunya.
Hingga ketika ia sedang fokus mengamati jalanan, sebuah suara mengagetkannya.
"Hai, Annisa, gimana kabarnya?" tanya pria itu.
Annisa berhenti melangkah dan menoleh ke sumber suara, ia mengeryiitkan dahinya bingung.
"Alhmdulillah baik, kalau boleh tau siapa ya?"
"Hehe … aku Bagus, masa lupa yang dulu SMA sering gangguin kamu," ujarnya.
Annisa mengingatnya, si jahil Bagus datang lagi. "Inget … inget, hey kamu kemana aja?"
"Aku berkelana ke ujung bumi," jawab Bagus asal.
"Gaya lu," gumam Annisa. "Eh by the way, gimana menurut kamu tentang keadaanku sekarang?"
Bagus melihat Annisa memang tekejut mengetahui kenyataan baru bahwa gadis pujaannya itu mengalami kebutaan. Ia sedih dan merasa terpukul, tetapi ketika ia melihat Annisa yang mengalaminya, ia sepertinya sudah menerima keadaannya dan menjalani harinya dengan penuh keikhlasan.
"Aku merasa bai katas kamu, aku lihat kamu lebih bijak dari yang aku kenal dulu. Mungkin saja kalau aku yang ada di posisimu, aku gak akan kuat. Aku akan bunuh diri dan mengakhiri hidupku, daripada hidup tanpa bisa melihat indahnya dunia. Tapi … kamu kuat Nis, aku sangat bangga sama kamu. Keren banget dan itu buat aku sadar, harusnyaaku lebih bersyukur dan gak banyak ngeluh tentang karunia yang Allah kasih ke aku."
"Hehe … makasih Gus, tapi aku juga pernah ada di titik terendah dalam hidup kok."
"Tapi kamu bisa bangkit kan?"
Annisa mengangguk sembari tesenyum, "Yah, berat memang, tapi aku bisa melalunya karena ada oraangn hebat seperti Ibu di dunia ini untuk menemani perjuanganku."
"Syukurlah Nis, kalau aja aku tau, aku bakal lakuin hal yang sama. Kamu sendiri kan yang pernah bilang kalau aku iniudah dianggap saudara sama kamu," ujar Bagus.
Mereka menyusuri trotoar menuju ke sebuauh kontrakan, Bagus juga bermaksud ingin menemui Eni karena lama tak bertemu.
"Eh Ibumu ada kan?"
"Gak tau kalau sekarang, biasanya dia ambil pesenan keliling warung. Tunggu aja nanti di depan, dia biasanya balik jam empat."
"Oke," ujar Bagus.
Bagus menunggu di eperan kontrakan, ia membiarkan Annisa masuk dan ia setia menunggu Eni di luar. Saat ia menunggu di luar, Kintan—salah satu penghuni kamar kontrakan di rumah itu pun menghampirinya.
"Hai, nunggu siapa?" tanya Kintan tiba-tiba duduk di kursii sebrang Bagus.
Bagus yang dasarnya supel pun menyambutnya dengan ramah, "Hai juga, lagi nunggu Bu Eni. Saya temennya Annisa, terus mau ketemu Bu Eni," ujarnya.
"Oooh iya iya, kenalin aku Kintan Hilanaya," ujarnya mengulurkan tangan kanannya.
"Aku Bagus Permana, panggil aja Bagus," balas Bagus menerima uluran tangan dari Kintan.
"Sebagus orangnya haha ...."
Mereka tertawa bersama dan saling bercerita tentang pekerjaan dan tentang banyak hal, hingga tak lama Eni pulang sehingga Kintan memberi mereka ruang untuk bicara.
Eni senang melihat bocah jahil itu tumbuh menjadi seorang pria tampan yang lebih rapih daripada terakhir mereka bertemu, berantakan dan terlihat sangat berandalan. Akan tetapi Eni sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Bagus sering membantunya saat ia melakukan pekerjaan apapun, ia memang kesepian sepertinya, orang tuanya yang tidak terlalu perduli padanya dan ibu kandungnya sudah meninggal digantikan ibu tiri yang pastinya sibuk dengan anak kandungnya sendiri.
Namun Bagus tak masalah dengan itu, asalkan ibu tirinya tak mengusiknya saja itu sudah lebih dari cukup. Ia dan ibu tirinya memang tak memiliki hubungan yang baik sehingga ia juga tidak terlalu perduli pada apa yang dilakukan wanitaa itu. Ibu tirinya menikah dengan ayahnya sebagai janda muda yang tak membawa anak, ia kemudian hamil di tahun kedua pernikahan mereka dan sekarang adiknya berusia tujuh tahun.
Meski ia tak dekat dengan ibu tirinya, ia dekat dengan adik tirinya itu. Sejak ia lahir adik tirinya sudah ia jaga dan kadag ia membantu menjaganya saat ibu tirinya akan pergi ke luar dan keika pengasuhnya akan membuat makan untuk anak itu. Kini mereka tumbuh menjadi saudara yang akur, meski ayahnya lebih perduli pada adiknya ia tak perduli dan tetap menyayanginya. Toh kalau ditakutkan ibu tirinya adalah warisan, ia sudah memiliki usaha sendiri untuk hidup mandiri dan tak perlu menunggu ayahnya mati untuk hidup kaya.
Ia sudah memiliki café selain menjadi direktur di kantor sang ayah, ia memang sudah disetting mennjadi pewaris meski entah bagaimana akhirnya nanti. Ketika ia lahir di dalam keluarga penuh drama itu, ia menyadari bahwa ia harus bisa bersaing dan setidaknya menentukan sikap. Namun, ia tak pernah perduli dengan warisan. Bukan karena ambisinya yang kurang, tetapi ia hanya tak ingin hal sedangkal harta bisa membuat orang saling bunuh.
Pada akhirnya ialah yang akan mengalah, toh ia sudah merasakan hidup kaya sejak lahir, kini stelah dewasa ia mengetahui bahwa hidup kaya pun tak menjamin bahagia. Ia sudah memiliki rumah dan apartemen untuk singgah dan pulang, ia tak perlu lagi bersinggungan dengan ibu tirinya yang merasa terancam, jikalau ia yang harus pergi, ia sudah memiliki tempat tinggalnya sendiri yang nyaman. Namun ia masih merasa sepi dan ia butuh pendamping dan ia hanya mencintai Annisa selama Sembilan tahun ini.
Ketika ia melihat keadaan Annisa yang buta, ia merasa sangat sedih dan terpukul, ia merasa dunianya akan runtuh. Tetapi senyum Annisa menghentikan perasaan itu dan seolah berkata kalau, 'Aku gak papa.'
Entah terbuat dari apa mental seorang Annisa, ia seorang wanita biasa tapi kuatnya bagai samson wati. Kuat perasaan dan mentalnya di jalan mental illness ini sangat langka. Ia malah tambah mencintai Annisa dengan keadaannya sekarang, ia memang hanya memiliki Annisa di hatinya. Apa yang tadi siang ia katakana pada Adrew memang benar, ia sedang menunggu seorang gadis padahal ada banyak yang mengejarnya. Gadis itu adalah Annisa, yang tanpa keduanya tau bahwa mereka mencintai gadis yang sama dan mengejarnya dengan cara yang berbeda.
Sungguh di luar batas kemampuan manusia untuk tau takdir yang mengikat ketiganya, tanpa tahu bahwa kedua pria yang mencintai Annisa adalah musuh bebuyutan dan selalu menjadi saingan dalam hal apapun termasuk cinta yang rumit. Pun Annisa sepertinya tidak memikirkan tentang cinta, ia erlihat sangat santai menjalani harinya tanpa ada gerak-gerik merindukan seseorang.
Mungkin Annisa memang sudah terlalu nyaman dengan Eni di sisinya, ibunya yang amat sangat menyayanginya itu sudah lebih daru cukup untuk hidupnya, tak perlu pihak lain dalam hidupnya. Padahal dua pria yang mencintainya itu adalah bagian dari kebutuhan, mereka membuthnya Annisa di sisi mereka. Padahal Annisa hanya satu dan hanya bisa memilik salah satu dari mereka. Entah apa yang terjadi nanti, semua ini tentang waktu dan keduanya hanya bisa menunggu sampai waktunya tiba akan ada masa ketika Annisa memilih dan kedua pria itu hanya harus menerima dan ikhlas atas keberhasilan yang lain.
Memanglah dalam cinta sama dengan kompetisi, ada yang berhasil sampai finish, ada juga yang tak sanggup melanjutkan dan berhenti di tengah jalan. Cinta juga seperti perjuangan, ketika harus siap untuk gagal dan kembali dari awal meski dengan orang yang berbeda. Jodoh adalah teka-teki yang harus dipecahkan dengan tindakan, bukan hanya menunggu tanpa tindakan, sama seperti rezeki meski sudah dijamin tapi perlu juga diusahakan.
Begitupun Bagus yang berusaha terang-terangan, sementara Adrew yang berusaha dengan jarak karena masih terhalang oleh masa lalu pahit di anatara mereka. Mereka yang sama-sama berjuang belum tentu semuanya menang, lagi-lagi mereka harus siap kalah untuk semuanya.
Eni meminta Annisa membawakan kemilan dan minum, awalnya Bagus tidak tega tetapi Eni bilang bahwa Annisa sudah biasa dan itu bentuk dari latihannya.
"Tenang saja, Bagus, justru ini bentuk latihannya untuk menerima keadaan dan menjadi kekurangan itu sebagai kelebihannya sendiri. Makanya dia harus banyak latihan," ujarnya setelah Annisa pergi pamit.
"Aku turut prihatin Bu, tapi saya lega melihat bagaimana dia sekarang baik sekali, malah tambah manis dan ikhlas."
"Haha kamu bisa aja, kalau Annisa denger bisa tersipu dia."
Bagus tertawa, "Serius Bu, bukan gombal ini."
"Yah begitulah dia, alhamdulillah dia bisa melewati masa kritisnya."
"Alhamdulillah. Terus dia kerja dimana Bu, saya mau tanya gak enak."
"Hehe dia jadi pengisi suara kantun," ujarnya.
"Oooh dubbing-dubbing itu?"
"Iya gitu, Ibu mah gak ngerti."
"Wah saya bakal nonton kartunnya nih."
"Tanya aja sama dia, Ibu gak tau kartun yang mana."
"Haha iya Bu …."
Pada akhirnya mereka melanjutkan pembicaraan mereka yang random itu, ia selalu berharap Annisa baik-baik saja dan mereka akan memilih untuk selalu menjadi bagian dari semua orang meski mereka tak menerima.
Annisa tak tau kalau Bagus memiliki perhatian khusus padanya, tetapi Eni tau kalau sejak lama Bagus sudah menyukai Annisa. Eni akan setuju jika Annisa setuju dengan Bagus, ia akan mendukung sepenuhnya dan membantu agar keduanya sangat lancar.