"Kev, kamu tolong belikan saya rumah kontrakan di sekitar kantor pusat J-Production, ya."
"Oh iya Pak, sebentar saya hubungi seseorang dulu."
Kevin yang merupakan sekretaris keduanya langsung garcep melaksanakan tugas sang bos entah sedang apa ia kini. Memang itulah fungsinya sekretaris bagi Adrew, mereka harus siap kapanpun ia butuh dan garcep tanpa tapi dan nanti.
Tak lama Kevin menghubunginya dan memberi kabar baik, yakni ia berhasil membeli rumah kontrakan itu untuk bosnya.
"Tapi Pak, untuk apa Anda melakukan ini?"
"Ini rahasia …."
"Oooh iya Pak, saya pamit undur diri."
"Hem …."
"Selamat malam,izin mematika sam …."
Tuuuut!
Sambungan dimatikan oleh Adrew terlebih dahulu, akan tetapi Kevin dan karyawan lain sudah biasa dengan kelakuan Adrew yang satu itu. Mereka sebenarnya tak berani juga mematikan sambungan terlebih dahulu, sebab kalau Adrew tersinggung ia bisa saja mempersulit pekerjaanmu yang sebenarnya sudah bagus.
Mungkin inilah yang namanya slogan, 'Bos mah bebas.'
Malam ini Adrew merasa sangat cemas dengan kejadian tadi, ia sangat mengkhawatirkan Annisa yang hamper dilecehkan. Ia langsung saja menghabiskan lebih dari 2 Miliar rupiah untuk membeli tanah dan rumah kontrakan di dekat kantor J-Production yang bagus. Biaya asli kontrakan itu seperti yang dikatakan Annisa, 1,5 juta perbulan. Akan tetapi Annisa ternyata agak naif dan tidak terlalu mempermasalahkan semuanya, ia menerima bantuannya dengan tangan terbuka. Tak apa, nanti sebelum Annisa mendapat tempat terbaik itu, ia akan mengirim mata-mata yang akan menjaga Annisa dari jauh, apapun yang terjadi Annisa adalah dirinya yang harus dilindungiteramat sangat.
Adrew senyum-senyum sendiri di balkon kamarnya, hingga ketukan pintu terdengar dari luar kamarnya. Ia menghela napas malas karena merasa terganggu dengan orang di balik pintu tersebut, malam-malam malah mengetuk pintunya. Akan tetapi ia terkejut ketika melihat siapa yang mengetuk pintu, kakaknya. Siapa lagi kalau bukan Darell, si bapak dua anak yang lucu-lucu itu.
"Ngapa lo, Kak?" tanyanya.
"Suruh gue masuk kek, malah tanya ngapain," ujar Darell nyelonong masuk.
Adrew hanya menghela napas, buat apa butuh perizinan kalau ujung-ujungnya masuk sendiri juga tuh orang.
"Biasanya juga nyelonong lu," balas Adrew lalu menutup pintu kamarnya.
Darell duduk santai di atas kursi santai milik Adrew yang mengarah ke balkon dan memperlihatkan hamparan taman yang dipenuhi pohon-pohon rindang yang ukurannya tak terlalu besar
"Ngapain sih lo, ke sini?" tanya Adrew risih karena Darell selalu membawa berita penting ketika ia menemuinya, sementara ia sendiri sangat terganggu dengan hal penting dan harus ia selesaikan.
"Sante napa, Bro?" ujar Darell sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.
"Bukannya gak sante, apa yang mau lo bahas sama gue?"
"Oke, jadi gue denger dari Dokter Yunan, katanya lo cari donor mata, buat siapa sih? Lo gak katarak kan," ujar Darelll bercanda.
Adrew menghela napas, "Dasar Abang laknat, gue cari buat seseorang yang gue sayang, dia buta. Lo emang gak diceritain sama Kak Mei?"
"Mei kalo dicurhatin orang, dia mah jaga rahasia, gue disuruh tanya langsung ke lo. Certain deh biar gue ngerti, sapa tau bisa bantu kan …."
Adrew akhirnya mengerti duduk perkaranya, lagipula ia juga ingin menceritakan pada Darell hanya karena mereka sama-sama sibuk sehingga tak memiliki waktu untuk bertemu, bahkan di meja makan kadang Adrew atau Darell berangkat terlebih dahulu. Andai Darell dan Mei tidak tinggal di rumah keluarga Rexan, nasib rumah mewah itu akan sangat sepi dan terkesan horror.
"Jadi gini lo, Kak. Lo inget tragedy dulu yang diurus Bang Windu gak?"
Darell mengangguk, "Lebih tepatnya yang bikin dia mundur dari kantor, kan," ujarnya lebih ke pernyataan.
"Ya gitulah, intinya cewek yang jadi korban itu sekarang buta, gue pingin nebus semuanya. Gue nyesel banget kenapa baru tau kasus ini dan endingnya Annisa."
"Oh namanya Annisa, yah … gue sih paham tujuan lo. Gue coba bantu deh di rumah sakit lain, pasti ada sih, lo coba bujugin orangnya aja buat operasi."
"Lagi tahap pendekatan," ujar Adrew santai.
"Emang dia mau dideketi?" tanya Darell.
"Wah ngece lo Bang, heh gini-gini gue banyak yang ngefans."
"Iya … iya, jadi gimanalanjutan cerita lo?"
"Yah gitu dia sekarang jadi dubber dan gue udah akuisisi perusahaan tempat dia kerja."
"Pemborosan lu," gumam Darell.
"Enggak juga, lagian tuh perusahaan juga menguntungkan."
"Terus apa lagi yang lo beli, Bocah?" tanya Darell geram sendiri.
"Rumah kontrakan," jawab Adrew seadanya.
"Wih, bener-bener lu yah, kalo sampai nanti tuh Bokap murka, gue angkat tangan."
"Gak usah angkat tangan juga gak papa biasa aja," jawab Adrew santai.
"Lagian, apa sih motivasi lu terhadap semua yang lo lakuin, apa lo berharap tuh cewek mau maafin lo?"
"Ya maulah, lo kok gitu sih. Kak Mei aja dukung, anjir lo Abang gue bukan sih?"
"Yah Mei kan lembut orangnya."
"Tapi realistis kok, intinya sih dia yang ngasih gue semangat kalau apa yang gue usahakan baik, gue bakal lakuin yang terbaik juga."
"Sip dah, itu baru adek gua. Lu kudu siap dengan konsekuensi nantinya."
"Iya iya, gue paham kok."
"Kalo lo butuh bantuan lagi, bilang ama gue, kecuali masalah duit. Bukannya gue pelit ama lo, lo lebih tajir dari gue anjir."
"Iya paham-paham, lagian gue juga gak mau kali ngerepotin lo sejauh itu."
"Oke, intinya tunggu perkembangannya aja nanti."
"Sip, sono lo keluar!"
Darell tertawa puas, ia berhasil membuat adiknya emosi. Tak terasa, padahal kemarin-kemarin adiknya masih SMA dan galau tentang seorang gadis, sekarang ia masih menggalaui orang yang sama hanya di posisinya yang lebih kuat.
Sejujurnya Darell agak takut dengan perjalanan cinta adiknya dan gadis itu, takut akan seterjal dirinya dan Mei. Meski begitu, ia percaya Adrew memiliki caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah serrta memilih jalan hidupnya sendri. Hal yang mengkhawatirkan sebenarnya fakta bahwa sekarang Adrew mencintai gadis muslim sementara ia masih non muslim. Mungkin menggetarka hati wanita mudah, tetapi meminta ridho Allah atas pernikahan beda agama itu mustahil, jadi solusinya yah seperti dirinya. Adrew harus memeluk Islam atau mundur dari perjuangannya selama ini.
Ia melihat Adrew memang gigih, mungkin tak seketara dirinya, akan tetapi ia melihat bahwa Adrew lebih banyak bekerja dengan otaknya, trik dan perjalanan bisnisnya tak luput dari cara bisnisnya yang senantiasa menemukan keberhasilan di akhirnya. Ia bangga pada Adrew, meski ia kurang dalam action, ia lebih banyak menjadi otak sebuah pekerjaan yang melelahkan.
Darell tersenyum saat mengambil minum di dapur ia melihat foto keluarga yang dipasang Mei di dapur, katanya agar ketika ia masak ia akan mengingat bahwa bagaimanapun lelahnya ia, ada keluarga yang siap memeluknya untuk kembali saling menguatkan. Foto itu berisi dirinya, ayah dan ibunya, Mei dan kedua anak mereka, terakhir si single Adrew.
Ia berharap adiknya bisa melewati semuanya dengan baik, semoga saja Adrew membuat pilihan terbaik baginya nanti, seperti dirinya yang memilih untuk menjadi muslim dan menemukan alasan terbaiknya, selain untuk memiliki Mei sang gadis pujaan hatinya yang sulit dilupakan sepanjang hidupnya. Ia tersenyum memandangi foto itu dan meninggalkannya setelah puas memandangi, padahal bisa saja ia melihatnya di ponselnya, lebih jelas lagi bisa dizoom. Memang aneh Darell itu.