Bukan Apo jika menyerah begitu saja. Lelaki carrier itu batal pulang karena ingin mengejar lukisan. Sumpah Demi Tuhan Apo tak berniat mengintili orang kencan. Apalagi lokasi Kastil Magdalena cukup jauh. Apo benci melihat Raja Millerius dansa dengan Sia di sebuah gazebo. Dia heran bisa seceroboh itu dalam meletakkan meletakkan lukisan. Kalau ditaruh rebah di lantai kereta mungkin takkan kelihatan dari jendela. Sampai tujuan dia menyelinap diantara sekelompok prajurit yang sedang patroli.
"Eukhhh," keluh salah satunya yang dicekik Apo dari belakang.
[Tring! Tring! Tring! Mau apa, Tuan Nattarylie? Kenapa sampai melakukan ini?]
Kehadiran sistem sempat mengagetkan Apo.
"Diam," katanya sambil menyeret si prajurit pingsan ke balik semak-semak. Kebetulan formasi mereka tadi hanya satu jalur. Kalau pun hilang yang paling belakang pasti takkan ketahuan. Semuanya menuju taman belakang. Mungkin bertugas mengamankan kegiatan kencan di sekitar lokasi itu. "Aku cuma mau menukar seragam, tahu! Mending kau jaga kereta biar kalau ada apa-apa harus tanggap! Cih, sial ... lukisanku kenapa dibawa masuk segala? Memang Yang Mulia tidak pulang ya setelah ini? Biasanya kan habis kencan the end begitu saja," omelnya sambil berganti baju.
[Mana saya tahu, Tuan?]
[Namanya kencan Raja Millerius]
[Pasti setiap player menang punya request berbeda. Kalau sama Anda kan, pasti cuma begitu-begitu?]
Suara sistem terdengar meremehkan kali ini.
"Hehhhh?" Apo pun memasang wig tinggi khas prajurit ke kepalanya. "Begitu-begitu bagaimana? Memang dengan mereka Yang Mulia main chocochips dan chuu-chuu juga ya?"
[Ya bukan ...]
"Terus?" sewot Apo.
[Tapi dengan mereka pasti mengobrol lama, Tuan Nattarylie. Anda mah susah diajak komunikasi. Ini menurut penilaian saya ya]
"Anjing bacot!" maki Apo. "Mulut-mulut siapa, aku cuma menjadi diri sendiri," protesnya dengan ubun yang terasa panas.
[Oke?]
[Saya minta maaf kalau begitu--]
"Minggir," sela Apo. "Aku mau mengambil barang, ya. Syuh, syuh. Nanti kau cuma merecokiku," desisnya sebelum berjalan ala tentara. Di dalam kastil Apo pun bertingkah seolah prajurit betulan. Jika ada iring-iringan lewat, dia segera ikut mengintili. Kadang Apo mengendap-ngendap kalau sudah aman. Di balik patung, dinding, tirai, dan guci-guci matanya terus mengawasi situasi sekitar.
Untung saja lukisan Apo berukuran cukup tinggi. Butuh usaha keras bagi prajurit meletakkannya ke sebuah ruangan khusus. Cara jalan sosok itu tetap tegap, meski membawa sebuah kado. Apo memutuskan membuat jarak cukup jauh agar tidak ketahuan.
"Pelan-pelan, Apo. Pelan saja. Kau pasti bisa melakukan ini," batinnya sambil membenahi posisi wig berat yang dikenakan. Jujur Apo tidak terbiasa berpenampilan seperti ini. Dia tersiksa oleh baju longgar yang tidak sesuai ukuran badan. Untuk pinggang Apo butuh sabuk tambahan didobel dua. Semua agar tidak melorot ke mata kaki. Jeleknya prajurit tadi punya lingkar cukup besar. Jika dibandingkan dengan dia yang 26, jelas selisihnya jauh.
Oh, fuck!
Jemari tenggelam, baju kedodoran, dan sepatu kebesaran ternyata lebih berbahaya daripada tingkah aneh. Apo pun dipanggil seorang ajudan yang menyadari ada kejanggalan di depan matanya. "Halo, yang di sana? Siapa itu?" tanyanya dari belakang. Suaranya berat hingga bulu kuduk Apo berdiri. Si manis pantang untuk menoleh meskipun sempat tergoda.
"Mampus!" batin Apo. "Aku harus apa sekarang? Mana tinggal masuk ruang saja," keluhnya sambil menghadap pintu yang baru ditinggal prajurit tadi. Jemari Apo pun bergeliatan di balik lengan baju. Dia tidak menggubris, melainkan langsung memutar kenop demi menerobos. "Ayo, abaikan saja, Apo. Abaikan. Cukup maju dan tutup langsung dari dalam."
Cklek!
"HEI! TUNGGU! ADA PENYUSUP!" teriak si ajudan refleks.
Apo pun membanting pintu seperti rencana awal. Gebrakannya terlalu keras, tapi dia tidak kehilangan fokus. Meja, kursi, sofa, dan lemari terdekat Apo dorong untuk menjadi pengganti kunci. Semua benda berhasil menghadang pergerakan si ajudan, meski ada banyak prajurit datang berbondong-bondong membantu.
Apo dag-dig-dug ser saat mengedarkan pandangannya ke sekitar. Dia langsung menemukan kado tadi tanpa banyak effort lagi. Benda itu tergeletak di atas sofa. Ruangan ini ternyata kamar --yang mungkin saja-- akan dipakai istirahat Raja Millerius sementara waktu. Dia mengapit benda itu diantara ketiak sambil berlari. Balkon kamar ada di lantai 3, yang harusnya tidak terlalu tinggi.
Apo kesal karena pintu mulai didobrak dari luar sana. Dia pun merelakan kado itu untuk dilempar ke tanah begitu saja. Bunyi "gedebuk"-nya cukup memilukan bagi Apo. Dia rasa ada yang lecet dari lukisan itu meski tidak parah. Apo lalu memanjat keluar dari balkon tanpa banyak pikir. Dia menghiraukan gebrakan ribut bertubi-tubi demi menyelamatkan diri.
"TERUS DOROOOOOONG!" teriak si ajudan selagi Apo mencari pegangan yang potensial. Dia kesulitan karena engsel kaki masih pegal. Habis dipakai menendang dinding memang rasanya ngilu. Akhirnya Apo jatuh, padahal kurang 1 lantai. Semak-semak si bawah sana ditimpa dia dengan bunyi "kerosak" dramatis.
"Aduh!" jerit Apo, padahal tidak bermaksud menginterupsi.
Raja Millerius dan Sia Silverlake pun menoleh ke sumber suara. Setiap mata tidak mungkin melepaskan pergerakan Apo, termasuk para prajurit yang berhasil menjebol pintu. Mereka meneriaki dari atas balkon. Beberapa bahkan langsung siap dengan senjata laras panjang yang dikokang sigap.
"HEI! BERHENTI!" teriak mereka disertai suara tembakan.
"Anjing!"
Apo pun berlindung dulu di balik pot gigantis pohon cemara. Sebagai tuan bangsawan dia takut melukai marga Livingstone lebih jauh besok pagi.
Saat menyeret lukisan itu jemarinya nyaris tertembak.
Meski bolong-bolong Apo tetap keukeuh memeluk hasil karyanya selama kabur.
"Berhenti menembak, Bangsat! Ini aku! AKU! NATTARYLIE!!" batin Apo, meski rasanya ingin menangis. Dia tetap berlari meski kakinya serasa mau patah. Salah satu kuda kereta Raja Millerius pun dicuri karena memang kendaraan itu yang terdekat.
Bunyi ringkikannya memecah malam gulita. Apo harap Raja Millerius tidak jeli melihat wajahnya kala itu.
"HIAT! HIAHHH! HIAH!! AYO JALAN!" teriak Apo dengan suara tenor-nya. Saat menuju gerbang pun si manis masih ditembaki. Apo berputar ke jalur belakang agar bisa melompat tinggi. Keamanan bagian itu memang lebih rendah daripada depan. Di sana hanya ada 4 prajurit berjaga, sayang mereka cukup siaga dan berinisiatif mengunci rapat. Apo kesal karena harus berputar lagi. Dia frustasi nan kebingungan hingga kaki kuda itu terkena satu peluru.
Binatang itu meringkik panik melebihi Apo sendiri.
Lukisan pun jatuh diinjak-injak, untung Apo tak ikut terkena imbasnya.
Si manis berhasil dibawa pergi melewati pintu anjing yang desainnya cukup rendah. Kuda curian Apo ternyata hapal denah tempat ini jauh dari ekspektasi.
"AARRGHHHH! JANGAN DULU! PUTAR BALIK, KHIKHI! LUKISANKU! ANJIR! KENAPA MALAH KETINGGALAAAN??!!" teriak Apo sambil mengayunkan tangan kanan ke belakang. Sebelahnya lagi meremas kokangan tali. Dia lihat kereta Keluarga Livingstone langsung pergi, meski kosong karena kerjaan sistem.
Kerja bagus sih, sebenernya.
Toh itu perintah Apo sendiri.
Hanya saja, entah kenapa Apo ingin marah besar. Karena usahanya dari tadi sia-sia belaka.
Di seberang sana, Raja Millerius sudah memungut lukisannya dari tanah. Sang dominan meniup debu yang menempel, lalu merobek bingkisan luarnya.
"Oh," desah Raja Millerius begitu memeriksa lukisan -rusak- tersebut. Sia terpana-pana saat ikut melihatnya. Gadis yang mengenakan gaun couple dengan Raja Millerius itu diam seribu bahasa.
Tidak ada yang mengobrol selama beberapa detik.
Raja Millerius sibuk menatap wajah asli Apo, selagi ajudannya lapor dengan napas yang menderu.
"Hoshh, hossh, hoshh, hoshh ... YANG MULIA! KAMI BENAR-BENAR MINTA MAAF!" katanya sambil membungkukkan badan. "Penyusup tadi tak berhasil kami tangkap! Tapi penyisiran pasti dilakukan malam ini! MOHON PAMIT!"
Raja Millerius justru tak menyahut sama sekali. Dominan itu mengusap darah yang terciprat di sisi wajah berjerawat Apo Nattawin. Mata tajamnya menatap ke kejauhan dimana si penyusup pergi. Angin bertiup begitu kencang diantara dahan-dahan hingga daun berguguran ke bumi.