Chapter 46 - TKC 40

IBARAT wanita independen masa kini, Apo mojok di suatu tempat untuk menikmati makan malam sendirian. Dia bodoh amat dengan situasi sekitar, toh desain kamar raja tak seperti milik umumnya orang. Terdapat beberapa ruang sekunder yang menyekat sebelum pintu utama. Di sanalah banyak lemari dokumen penting tertata rapi yang harusnya cuma boleh diketahui Raja Millerius. Apo pikir sang dominan sudah mempercayainya sejauh itu. Entah apa yang mendasari Apo juga tidak tahu. Setelah perut kenyang emosinya pun baru reda. Tanpa ba bi bu Apo berusaha kabur, tapi pintu kamar ternyata dikunci kuat.

"Loh, loh, loh. Mampus ...." desah Apo langsung panik.

Menoleh ke belakang Raja Millerius ternyata memperhatikan entah sejak kapan. Dominan itu memeluk Samoyed manjanya yang berdiri dengan dua kaki. Jemari ramping mengelus-elus dengan ekspresi yang santai. Apo kira pelirnya pecah setelah aksinya yang tadi.

"Mau apa," tanya Raja Millerius aneh.

"Mau pulang lah! Ketemu Ibu," jawab Apo tanpa henti memutar-mutar tuas pintu. "Ayolah ... Yang Mulia. Anda sebenarnya ingin apa?! Saya tidak suka "itu-itu" sebelum siap betulan. Jangan memaksa ya!"

Gedoran brutal membuat Raja Millerius mengerutkan kening. "Nattarylie, hentikan," tegurnya. "Ini sudah tengah malam."

Apo makin ketar-ketir. "Apa? Jangan bercanda!" bentaknya. "Bukankah baru jam 7 atau 8 ya? Anda bilang tadi bisa membatalkan konfirmasi reward? Saya merasa baik-baik saja."

"Oh, benarkah?" Raja Millerius menyentakkan dagu. "Sayangnya kau tinggal tantrum dan makan malam sudah kelewatan batas. Kenapa tidak balik tidur? Sikat gigi dulu sana, lalu cuci muka."

"...."

Sialan!

"Kalau tak mau ya tinggal baring seperti biasa. Jangan nakal di tempat ini atau fatal akibatnya. Banyak orang-orang penting di luar sana dengan motif yang berbeda. Mereka bisa berkomentar kasar, jika menemukan hal yang dibenci," kata Raja Millerius. "Apalagi kalau kau macam-macam padaku," tegasnya.

"Ihhh ...."

Suara sang raja memberat. "Nattarylie, kembali," titahnya, makin kebal main-main.

"Terus tidur di sebelah Anda? Peh ...."

"Nattarylie."

Apo menatap sekeliling dan menemukan beberapa sofa yang dipakai mengecek urusan pemerintahan. Ada versi panjang, ada versi tunggal, ada juga versi super duper megah. Mungkin Raja Millerius duduk di sana dengan kedua orangtuanya jika ada yang urgensi. Lelaki carrier itu akhirnya mendekat dan berbaring berbantalkan lengan. Dia membuat suasana Istana Pusat layaknya warung kopi Wi-Fi. Raja Millerius terheran-heran melihat kakinya nangkring di bagian lutut kiri.

"Ya sudah, Yang Mulia. Kalau begitu saya di sini. Tak masalah ...." katanya, lalu memejamkan mata. "Jangan ganggu saja karena saya sangat capek. Anda sendiri yang di kasur selayaknya Raja Agung Inggris. Happy safety."

"...."

"Pokoknya selamat malam."

Tiada lagi percakapan setelah itu, padahal Apo sempat mengira dia akan diajak berdebat terus. Si carrier dibiarkan lelap kembang kempis seperti maunya. Tidur molor setelah kenyang adalah berkah yang luar biasa. Apo tak peduli dianggap jorok atau bagaimana. Lagipula siapa juga yang memenjara hingga tidak bisa pulang. Lambat laun kesadaran Apo pun makin hilang. Dia tak tahu Raja Millerius menemaninya lama di tempat itu untuk mencicil tugas kenegaraan. Sang dominan membuka-buka banyak gulungan petisi. Jam 12 kurang dia baru menyudahi dengan mata yang mengayun.

"Hmph, dasar ...." gumam Raja Millerius sambil membopong Apo agar pindah. Dia pandang wajah itu saat membentur dada bidangnya. Dia dekap amat erat hingga ditata rebah ke ranjang. Jika tidur, Apo berkali-kali lipat lebih manis. Kelopak dan hidung berkilau indah dilengkapi bibir lembab tipis. "Kau benar-benar seperti bayi, Natta. Sangat cantik," pujinya. "Tapi kenapa aneh kalau sudah buka mata? Aku tidak habis pikir ...." Satu kecupan pun mendarat di bibir itu. Satu lagi di ceruk leher, dengan tegukan ludah yang rakus. Bohong jika Raja Millerius mampu melewatkan momen precious mereka. Sang dominan betah kantuk akibat keindahan tersaji untuk matanya.

"...."

"Hhhh, lama-lama aku bisa gila. Sudahlah," gumam Raja Millerius begitu lewat sepuluh menitan. Dia akhiri malam itu dengan endusan di kening. Rasa sayang pun menggebu-gebu dalam dadanya tanpa ada cela lagi. "Lebih baik memikirkan perombakan ulang sesi lain. Selamat malam, kutunggu jatah hiburanku untuk besok pagi."

*

SEMENTARA itu Phelipe kaget melihat sang suami duduk di teras rumah pukul 6. Apalagi dengan baju belum ganti dari seharian kemarin. Cekungan hitam juga tampak di bawah matanya. Diakui atau tidak Phillip jelas tidak tidur sejak pulang menonton ujian sesi 9. Lelaki itu begadang hingga matahari terbit. Tumben sekali bukan karena lembur, melainkan merakit pistol berbagai ukuran.

"Sayang?"

"Hmm?"

Sahutan itu bahkan tidak disertai tolehan satu kali pun.

Phillip asyik membongkar pasang laras panjang yang belum sesuai dengan keinginannya. Phelipe pun menyentuh lengan agar perhatiannya teralih. "Lagi apa, huh? Kenapa tidak beristirahat? Padahal kulihat-lihat Ayah sempat masuk kamar."

"Aku kepikiran Natta, Bu. Hhhh ...." desah Phillip sambil meletakkan rakitannya ke meja. "Sepertinya hubungan dia dengan Yang Mulia mutual dan makin jauh, tapi di titik ini apa tak terlalu memaksakan diri?"

Phelipe tampak langsung nge-blank. "Maksud Ayah?" tanyanya, masih dalam gaun tidur. Wanita itu langsung keluar karena saat bangun tidak menemukan Phillip di sebelah kiri ranjang. Muka kantuk-nya disempurnakan oleh ekspresi yang polos. "Apa kita membahas soal tadi sore? Apo pingsan habis main anggar ya, Sayang?"

"Hm."

"Aduh ...."

"Kenapa, memangnya? Tidak boleh khawatir dengan bayiku sendiri?" semprot Phillip. "Bu, Natta itu belum tentu menang kedepannya. Mana saingan dia rata-rata berat. Kalau pun kuat, menurutku anak itu telat paham posisi di kerajaan. Aku tidak yakin dia bisa menyusul sekarang."

"Astaga ...." Phelipe pun memijit bahu Phillip untuk merilekskan ketegangan. "Jangan begitu ah bilangnya. Ayah jelek kalau ngomong, padahal Natta lagi semangat-semangatnya. Di mataku justru Natta jatuh cinta sama jelasnya dengan Yang Mulia."

"Ck, aku tahu ...." desah Phillip. "Lagipula siapa yang tidak suka ke raja kita. Beliau mengagumkan."

"Terus?"

"Ya lihat saja Natta jadi sering pingsan. Entah karena anxiety, atau kecapek-an. Apalagi Natta peserta yang paling muda. Tekanan istana pasti berat buat dia. Dipanggil kemarin mukanya sampai pucat pasi. Sudah beberapa kali loh sejak ujian dimulai. Hahhh ... astaga, Bu. Seharusnya dulu aku tidak memaksanya daftar."

"Ayah ...."

Pijitan berganti elusan punggung.

"Hmmph, cih. Pokoknya sampai Natta jadi selir. Aku akan sering menerobos Istana Noble Consort untuk melihat kondisi dia. Persetan ...." janji Phillip. "Toh jaraknya tidak jauh dari sini. Aku belum sanggup membayangkan Natta dikurung di tempat itu. Pasti sesak dan jiwa mudanya butuh keluar jalan-jalan, kan? Ingat Bu. Natta itu suka jajan dan bermain."

"Ya ampun ... jangan menyuarakannya terang-terangan." Phelipe pun memeluk kepala Phillip ke dada. Dia elus pipi bercambang itu, disusul ciuman di ubun rambut. Phelipe tak peduli meski Phillip berkeringat. Dia bisiki sang suami, semata-mata untuk menenangkan kegundahan miliknya juga. "Pokoknya kita fokus dukung dia. Tak perlu berekspektasi, tapi jangan memikirkan kemungkinan yang terburuk juga. Percaya ke Natta, Ayah. Yang penting dia kan belum menyerah. Bayi pasti punya jalan, hm? Yang Mulia akan melindungi dia dengan caranya sendiri."

"... begitu?"

"Iya, Sayangku ...." angguk Phelipe tegas. "Natta itu pandai, walau kelihatannya semau hati. Kita ini cukup tegar and keep moving forward. Masak orangtua sendiri meragukannya. Ckckck ... Ayah tercela~" katanya agak menggoda. "Natta pasti bisa jaga diri~."

"Tapi setiap hari aku membayangkan Natta dihamili sebelum menikah, Bu. Apalagi dia itu kondisinya--halah ... pusing kalau harus kilas balik," keluh Phillip berakhir meledak juga. "Aku juga tidak tahu sudah berlebihan atau salah lihat. Cuma Natta kan--pas malam itu ... bukankah lehernya bekas digigit?"

"Eh?" kaget Phelipe. "Iyakah, Yah? Yang kapan? Ibu benar-benar tidak tahu."

Phillip pun menghela napas panjang. "Pokoknya tes terakhir tak menjamin kedepannya Natta baik-baik saja. Aku hanya berharap ... mereka berdua tahu batasan hingga hari peresmian tiba."