Chereads / Sebuah Perjalanan di Dunia Kai / Chapter 2 - Titik Berkumpul

Chapter 2 - Titik Berkumpul

"Jadi kamu bilang namamu itu istimewa 'kan, Mel? Memang, istimewanya dimana sih?" Ujar seorang pria dengan lengan yang berotot yang duduk di depan meja makannya. "Iya, istimewanya dimana sih? Aku juga bingung lho, Amelia kan sebenarnya nama yang cukup umum ya bang Yuda." Ujar teman perempuan disamping tempat duduk Amelia.

"Kata bapakku, namaku ini berasal dari puteri dari Jenderal Ahmad Yani yang menolong bapakku dulu ketika dia masih kecil. 'Mungkin beliau tidak akan mengingatku' kata bapakku, 'tetapi setiap cerita yang keluar dari mulutnya menginsipirasi bapak untuk lebih mencintai Negara.' Begitu katanya" Amel menjawab pertanyaan teman-temannya.

Peristiwa itu sekilas terlintas, yang kemudian tergantikan dengan sebuah adegan lain. "Aku yo gak takut sama yang namanya miskin. Yang penting itu kamu nolongin orang, bukan karena ingin dikasih balas budi." Nasihat-nasihat Ayah Amel terdengar di telinga Maria sepenggal demi sepenggal.

"Kamu pikir aja nak, kalo kita sebagai warga negara gak cinta sama negeri sendiri, apalagi negara lain?"

"Percuma ya kalo kepinteran itu gak seiring kelakuan. Kamu liat aja berapa banyak abdi negara yang terjerat sama namanya korupsi, emang mereka gak pinter?"

"Kuat terus mau apa? Menindas yang lemah?"

"Semua orang itu ada kelemahannya, gak semua kuat. Kalo kita ga mau sama-sama berdiri, suatu saat kamu jatuh, siapa yang mau nolong kamu?"

"Jaman udah berubah nak, angkat dagumu. Bapak bangga punya anak perempuan ini. Punya kamu. Kamu pikir kalo seandainya bapak punya anak lelaki, dia bisa bikin bapak lebih bangga? Kamu tuh mentalnya sekuat baja Mel, andai ibu masih hidup, dia bakal marah sama kata-kata kamu."

'Ah… Iya. Karena pandangan bapak lah aku ingin masuk ke korps TNI biarpun aku hanya seorang perempuan.'

Pipipipi…. Suara kicauan burung terdengar dari arloji Maria yang dia taruh di samping tempat tidurnya. Maria bangun dari tempat tidurnya tanpa membuang waktu. Alarm di arlojinya menyebutkan bahwa dia harus bersiap untuk perburuan yang akan dimulai pada jam 7 pagi, sementara waktu telah menunjukkan pukul 5 pagi.

Maria bergegas ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Maria melihat bahwa kamar mandi yang dia gunakan sangat mirip dengan kamar mandi yang ada di film yang dia tonton sebagai Amelia. Handuk dan sikat gigi yang dia gunakan juga sangat mirip dengan apa yang dia pakai sebelumnya.

Setelah dia membersihkan dirinya, nampak di cermin seorang wanita dengan kisaran tinggi 160 cm. Mata dan rambutnya berwarna cokelat, seperti warna pipinya. Rambut wanita itu terjatuh di pundaknya. 'Inikah Maria, tubuh baruku.' Tangannya menyentuh cermin tersebut. Sesaat kemudian, Maria menepis pikirannya dan keluar dari kamar mandi tersebut.

'Nampaknya Maria adalah seseorang yang cukup terorganisir.' Pikir Maria sambil membuka laci di sebelah tempat tidur Maria. Ia memilih sebuah kalung choker dengan tombol hati di sebelah kiri dan memasangkan kalung itu di lehernya.

'Segalanya seperti sebuah insting. Caranya menggunakan handuk setelah mandi, mengalungkan choker di leher, kaki, dan lengan. Mengaktivasikan tombol dan mengenakan baju ketat yang bahannya mirip dengan karet. Keahliannya dalam mengoperasikan arloji. Apakah masih ada Amelia di dalam tubuh ini?' Maria menggelengkan kepalanya. 'Mungkin ingatan Maria lah yang semakin pudar dari tubuh ini.'

Maria mengambil sebuah ransel kecil yang terletak di pojok ruangan. 'Nampaknya, tas untuk persiapan berburu sudah dia siapkan bahkan sejak sebelum hari kemarin. Aku cukup beruntung hidup sebagai Maria disini, karena instingnya cukup sejalan dengan jalan pemikiranku.'

Maria Turun ke ruang tamu, dimana ibunya telah menunggunya dengan sebuah bungkusan kecil berbentuk kotak di tangannya. "Ini bekalmu hari ini. Kau sudah siap?" Tanyanya kepada Maria. Maria menganggukkan kepalanya "Ya, ibu." Maria merangkulnya dengan erat.

"Tidak usah khawatir nak, semua akan baik-baik saja." Ibunya membisikkan kata-kata tersebut dengan lembut di telinganya sambil menepuk punggungnya perlahan. "Aku akan menunggumu membawa medali kedewasaan kepadaku" Ia tersenyum.

"Tenang saja bu, aku pasti akan membawanya." Maria menimpali perkataan ibunya dengan penuh semangat. Maria mengambil sebuah sandwich yang telah disiapkan ibunya dari piring di sebelahnya dan segera memasukkannya ke dalam mulutnya. Setelah itu, dia pun bergegas ke pintu depan.

Ia menekan tombol di kedua kakinya sebanyak masing-masing dua kali. Sepatu yang dipakai Maria berubah menjadi sebuah sepatu skate yang memiliki rongga yang dapat membantunya berlari lebih cepat dengan memanfaatkan tekanan angin.

Maria mengecek arlojinya ditengah jalan. Dia yakin bahwa arlojinya itu bisa membantunya menemukan jalan ke distrik Badak Afrika KXL-143. Dia menekan tombol-tombol kecil di sisi kanan arloji untuk beberapa saat. Sebuah proyeksi peta kota memancar ke depan arloji. 'Tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk mengetahui dimana bangunan aula pertemuan perburuan itu.'

Diluar perkiraannya, ternyata peta kota yang dia lihat membuatnya tercegang. 'Mungkin tidak cukup….' Pikirnya dalam hati. Kota yang semula dia kira hanya sebuah tempat yang kecil, ternyata merupakan sebuah kesatuan provinsi besar, mungkin lebih seperti negara-negara kecil. Matanya membelalak untuk beberapa saat dengan penuh ketakjuban.

Maria menggunakan instingnya untuk mengoperasikan peta yang terbentang di hadapannya. Ia menggunakan telapak tangannya untuk memperbesar area dan jari jemarinya menari dengan terampil ketika dia mencari area yang dimaksud.

'Ini dia. Oke, ini terlalu jauh. Waktunya tidak akan terkejar bila aku hanya menggunakan sepatu ini.' Maria menyerah untuk pergi ke distrik tersebut hanya dengan sepatu skatenya. Ia mengeluarkan mobilnya sambil menghela nafas. 'Semoga aku bisa mengendalikan mobil ini, aku percaya padamu Maria.' Ujarnya dalam hati.

Mobil Maria melaju kencang dan sampai di tempat tujuan dalam waktu yang cukup singkat. Namun demikian, waktu telah menunjukkan pukul 8.55. 'Argh… Ini semua karena aku terlalu banyak membuang waktuku berlari tadi.' Maria segera keluar dari mobilnya sambil mengoperasikan arlojinya dan segera menarik kembali mobilnya ke dalam arloji. Ia lari tergopoh-gopoh menuju pintu utama Aula Perburuan.

Seorang pemuda dengan rambut keperakan dengan baju zirah dengan warna yang sama dengan rambutnya berdiri tegap di jalan menuju Aula. Parasnya sangat tampan dengan warna mata kuning keemasan dan dagunya terlihat sedikit lancip namun terpahat dengan sempurna seperti sebuah permata. 'Malaikat' Pikir Maria. Maria tidak dapat memalingkan wajahnya dari pemuda tersebut untuk beberapa saat. 'Argh… bukan urusanku, aku sudah hampir telat.' Maria segera kembali pada kesadarannya, dia mulai berlari kembali.

Pemuda itu melihat Maria berlari ke arah Aula, kemudian menarik tangan Maria "Pemburu Pemula?" Tanyanya. Maria menoleh kepada pemuda itu dan mengangguk segera. "Kau cepat sekali." Kata pemuda itu sambil tertawa kecil. "Tapi sayangnya, pemburu pemula tidak memasuki Aula melalui pintu depan. Beloklah ke kiri dan masuklah melalui pintu di sayap kiri." Jelasnya sambil memiringkan kepalanya sedikit ke kiri seraya tersenyum ramah kepada Maria.

Maria mengangguk kepada pemuda tersebut dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Ia lalu berbelok ke arah kiri sesuai dengan penjelasan pemuda tersebut. Pintu menuju Aula di sayap kiri sedang ditutup ketika Maria sampai. Maria terengah-engah ketika dia memasuki Aula, tetapi dia tidak terlambat sama sekali. 'Tubuh ini, sangat berbeda dengan tubuhku sebagai Amelia. Sangat rapuh, tetapi kecepatannya berlari bukan main. Dengan jarak sejauh ini menuju aula, aku hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit.'

Maria masuk ke dalam aula sambil menghitung jarak yang dia tempuh selama ia berlari dari pintu gerbang menuju aula. 'Lima kilometer… Ha… Jarak sejauh itu dengan berlari… dan dalam waktu kurang dari lima menit? Tubuhku sebagai Amelia tidak akan dapat melakukan ini.' Maria mengepalkan tangannya sambil mengagumi tubuh barunya itu.

Maria melihat ke sekeliling aula ketika dia memasuki ruangan tersebut. Dalam aula, Maria dapat melihat banyak sekali orang yang berkumpul dalam kelompok. 'Bagaimana caranya aku dapat mengetahui kemana aku harus pergi disini.' Maria melihat dengan cemas sambil mengamati lingkungannya.

Tiba-tiba, seorang wanita dengan seragam karet berwarna biru tua menepuk pundak Maria "Identitas." Ujarnya singkat. Maria menoleh dan segera menjawab pertanyaan wanita tersebut. "Maria Anjali. Pustakawati distrik burung Ibis. Kode identitas nomor ENIM-03062445N006."

"Ho… Darah campuran yang unik." Kata wanita tersebut. "Tunggu sebentar ya, aku akan mencari kelompokmu." Wanita tersebut mengambil sebuah kotak kecil dari saku di paha kanannya. Ia memasukkan kode identitas Maria ke dalam layar kotak tersebut.

'Sangat mirip seperti Handphone, tapi apakah fungsinya sama juga?' Maria diam-diam bertanya-tanya dalam hatinya. 'Mengapa Maria tidak memiliki kotak yang sama dengannya?'

"Ketemu." Ujar wanita dengan seragam cokelat tersebut. "Kelompokmu adalah kelompok distrik burung dodo, pemula 2. Carilah teman kelompokmu yang memiliki seragam yang sama dengan seragam yang akan kuberikan padamu." Ia mengeluarkan satu buah choker leher dari kantong yang sama seperti tempat ia mengeluarkan kotak identifikasi di pahanya, lalu memberikannya kepada Maria. 'Darimana dia bisa mengeluarkan choker untuk setiap anggota, apakah kantong itu tak terbatas? Apakah orang ini doraemon?' Pikir Maria dalam hati.

Tanpa berpikir lebih lanjut, Maria menggunakan Choker tersebut dibawah choker yang dia pakai saat itu. Maria menekan tombol choker tersebut dan seketika ia diselimuti dengan rompi berwarna hijau tua dengan lambang dodo di dekat dada kanan. Ia melihat ke sekeliling dan segera menemukan kelompoknya tanpa kesulitan yang berarti.