"Maria, bangun…" Seorang perempuan muda menepuk pundak Maria dengan lembut. Maria terbangun dari tidurnya. Dia memicingkan matanya sembari menopang dahinya dengan tangan. "Ini… dimana?" Tanyanya sambil kebingungan.
"Hahaha… Ada apa dengan dirimu Maria, tentu saja kita masih ada di perpustakaan." Perempuan muda itu tertawa kecil sambil membereskan buku-buku tua yang tersampul dengan rapi.
"Maaf, tapi siapa kamu?" Maria menatapnya dengan tatapan penuh kebingunan. Perempuan muda disebelahnya menatapnya tanpa bicara beberapa saat. "Hei dengar ya, aku tahu kamu sering melantur ketika kamu baru bangun, tetapi ini sudah keterlaluan. Masak kau bertanya padaku siapa aku?! Aku Lisbeth! Teman baikmu yang sudah menemanimu selama lima puluh tahun lamanya!" Lisbeth mendecakkan mulutnya sambil tersenyum kepada Maria.
"Sudah, sudah! Ayo kita bereskan ini semua. Hari sudah mulai malam." Dia menyodorkan setumpukan buku-buku tua yang telah dia bereskan kepada Maria yang masih terduduk kebingungan.
Maria beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti Lisbeth yang berjalan di depannya. Dia memandang ke sekelilingnya dengan pandangan asing. Langit-langit yang tinggi berwarna putih dengan pilar-pilar besar, rak-rak buku berwarna putih dengan material yang tidak pernah dia lihat sebelumnya, lantai hitam yang terlihat keras tetapi terasa lembut seperti karpet, dan rak-rak USB transparan seperti sebuah showcase berlapis dengan berbagai label di setiap sisinya.
"Hei, Maria Anjali." Lisbeth melirik kepada Maria yang tersentak kaget ketika Lisbeth memanggil namanya. "Material mengenai manusia burung harus kau taruh di susunan rak itu" Lisbeth menunjuk ke rak besar dengan label nomor 48 dengan tulisan dibawahnya: Perburuan. "Aku tahu kau sangat gugup dengan perburuan besok, tetapi kau tidak perlu terlalu khawatir. Para pejuang akan selalu melindungi kita ketika berburu dan mereka memastikan bahwa kita akan selamat apabila kita mengikuti prosedur."
Maria menatap Lisbeth dengan tenang walaupun kepalanya dipenuhi dengan teka-teki. 'Perburuan? Pejuang? Maria Anjali? Tempat asing ini? Dimanakah ini?' Maria berusaha memproses semua informasi yang dia dapatkan. Dia melihat kedua tangannya sambil menyusun buku-buku ditangannya kembali ke rak nomor 48. "Perburuan? Dimana aku bisa mengakses informasi itu?" Maria bertanya kepada Lisbeth.
Lisbeth mengernyitkan dahinya "Kau ini sungguhan hilang ingatan ya? Masak hal begitu saja harus kau tanyakan? Tanyalah ibumu nanti ketika kau pulang." Dia menggelengkan kepalanya ketika dia mengambil salah satu buku dari tangan Maria dan menyalakan mesin pada sebuah papan platform dengan pegangan disekitarnya. Papan tersebut kemudian terbang dan membawa Lisbeth naik ke rak paling atas. Lisbeth memasukkan buku yang ia pegang ke dalam rak tersebut dan kembali turun. "Jangan-jangan kau tidak bisa pulang sendiri?" Dia bercanda sambil setengah tertawa.
Maria melihat Lisbeth dengan tatapan serius selama sedetik, sebelum dia mengatur kembali ekspresinya dan tersenyum kepada Lisbeth. Maria menonjok Lisbeth perlahan "Candamu itu tidak lucu tahu, tapi aku tidak akan menolak apabila kau mau mengantarkan aku pulang." Kedua sahabat itu kemudian berjalan ke arah pintu besar di ujung ruangan perpustakaan.
Sesungguhnya hati kecil Maria berdebar kencang ketika dia mendengar teman baiknya mengatakan tentang dirinya yang tidak bisa pulang sendiri, karena dia memang tidak mengetahui siapa sesungguhnya dirinya. Namun demikian, Maria berusaha tenang dan membujuk Lisbeth untuk mengantarkannya pulang di sepanjang jalan mereka keluar perpustakaan.
Lisbeth berhenti sesaat sebelum dia akhirnya setuju untuk mengantarkan Maria pulang. "Baiklah, karena aku adalah seorang sahabat yang penuh pengertian, aku akan mengantarkanmu pulang. Aku takut sahabatku ini tidak menemukan jalan pulang dan berakhir di pusat medis kembali." Lisbeth menghela napasnya dan melanjutkan langkahnya kearah pintu keluar.
Lisbeth menyentuh pintu besar yang berada di ujung ruangan perpustakaan dan melepaskan anting kirinya yang berbentuk kotak. Dia menempelkan kotak tersebut dibawah pegangan pintu yang bentuknya horizontal. Tanpa disadari, Maria memegang kedua telinganya dan merasakan anting-anting yang sama tergantung di telinganya. 'Ah, jadi ini adalah kunci di dunia ini' Dia berpikir sambil melepaskan salah satu anting dari telinganya.
"Maria, apa yang sedang kau lakukan dengan kunci rumahmu?" Lisbeth memandang dengan penuh keheranan. Konsentrasi Maria terpecah dan tersenyum kepada Lisbeth, "Tidak apa-apa, hanya mengecek apakah kunci rumahku tidak tertinggal." Maria kembali memasangkan anting tersebut ke telinganya seraya menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Lisbeth.
"Gelagatmu belakangan agak aneh. Kau seperti orang yang linglung sejak kembali dari pusat medis minggu kemarin. Apakah kau yakin kau sudah tidak gugup akan perburuan besok?" Lisbeth menunjukkan kekhawatirannya kepada Maria ketika dia membuka pintu dan beranjak keluar perpustakaan.
"Tidak usah khawatir, Beth. Aku sungguh tidak apa-apa." Tangan Maria yang bergerak tanpa dia sadari segera berhenti sebelum meraih mulutnya. Maria tanpa sadar memanggil Lisbeth dengan panggilan Beth daripada Liz. Maria melihat gerak-gerik Lisbeth yang semula curiga pada gelagat Maria kemudian berubah menjadi lebih rileks ketika Maria memanggilnya dengan panggilan Beth.
'Ah, sepertinya ingatan tubuh Maria masih mengingat bagaimana dia memanggil sahabat karibnya.' Pikir Maria. Dia kemudian mengikuti Lisbeth keluar dari perpustakaan tersebut.
Maria tercegang ketika dia melangkahkan kaki keluar dari perpustakaan itu. Pemandangan yang dia harapkan sungguh sangat berbeda dari bayangannya. Sebuah jalan berwarna putih membentang lebar dan panjang seperti tiada ujungnya. Dia melihat banyak kubah kecil berwarna putih yang berjarak seragam setiap beberapa puluh meter dari bangunan sebelumnya. Kepalanya mendongak ke atas dan melihat bahwa perpustakaan tempat dimana dia baru saja keluar berbentuk seperti kapsul besar yang menjulang tinggi ke langit.
Langit yang dia lihat pun sangat berbeda dari apa yang dia ketahui di bumi tempat tinggalnya sebelum dia bangun sebagai Maria. Langit yang seharusnya berwarna gelap malam yang ada dalam kepalanya sekarang terlihat jingga dan pandangannya terhalang oleh sebuah kubah besar transparan. Matanya melihat ke kejauhan dan dia menyadari bahwa jarak langit yang dia kenali selama ini telah menjauh berkali-kali lipat.
Maria juga baru menyadari bahwa ia berada di sebuah tempat asing yang peradabannya sangat canggih. Dia memperhatikan Lisbeth menekan tombol-tombol pada arloji antiknya yang kemudian memproyeksikan sebuah kapsul oval dengan empat jendela kecil. Kapsul tersebut ia proyeksikan ke arah jalan dan tiba2 proyeksi tersebut menjadi sebuah wujud padat yang terbang di sisi jalan.
Lisbeth menyentuh jendela terdekat dan jendela itu membuka seperti sebuah pintu mobil. Di dalam kapsul tersebut ada empat buah tempat duduk dan Lisbeth masuk ke dalamnya. Beberapa detik setelah Lisbeth masuk ke dalam kapsul tersebut, pintu kapsul tersebut kembali menjadi jendela. "Ayo masuk ke dalam mobil." Lisbeth mengarahkan ibu jarinya ke arah kursi di belakangnya.
Maria mengikuti isyaratnya dan menempelkan tangannya ke jendela di belakang kursi Lisbeth. Pintu mobil pun seketika terbuka dan Maria memasuki mobil kapsul tersebut tanpa ragu. Mobil kapsul yang mereka tumpangi segera bergerak setelah Maria menaiki mobil tersebut.
Di sepanjang jalan, Maria melihat berbagai pemandangan asing. Pepohonan yang dia lihat di jalanan terlihat seperti dunia di eropa namun dengan perpaduan gaya asing dimana rumah-rumah berbentuk kubah bulat dan jarak antar rumah ditata sedemikian sehingga setiap rumah memiliki halaman rumah yang cukup untuk bernafas. Pemandangan yang dia lihat terasa seperti sebuah tempat wisata dengan tema yang futuristik.
Maria memperhatikan nama-nama jalan yang dia lewati di sepanjang jalan pulangnya bersama Lisbeth. Nama-nama jalan tersebut sangat familiar di matanya, yaitu nama-nama fauna yang telah punah di dunia tempat asalnya dengan perbedaan frasa distrik sebagai pengganti kata jalan. 'Distrik burung Ibis, Distrik Badak Putih, Distrik Ibex Pyrenea, dan Distrik burung Dodo'
Tanpa terasa, mobil yang mereka tumpangi berhenti di distrik burung Dodo dengan nomor ABL-15. "Ayo, kita sudah sampai." Lisbeth menyentuh jendela mobil disebelahnya dan beranjak keluar setelah jendela itu terbuka sepenuhnya. Maria keluar dari mobil Lisbeth dan berjalan dengan tenang ke arah gerbang berwarna putih di depan rumahnya.
Maria mengamati bentuk pintu gerbang tersebut untuk beberapa saat dan menoleh ke arah kanan setelah dia melihat beberapa tombol di arah kiri pintu. Dia mencopot anting kanannya dan menempelkan salah satu kotak di antingnya ke lubang kotak di pintu gerbang. 'Ah, bukan yang ini.' Pikir Maria, sambil mencoba memasukkan kotak yang lain ke lubang pintu. Kotak kedua masuk dengan sempurna dan terdengar suara klik ketika kotak itu masuk ke lubangnya.
Pintu gerbang itu pun terbuka selebar satu meter, seakan-akan memang tidak dirancang untuk masuknya mobil ke dalam rumah. Lisbeth mengeluarkan arlojinya dan mengarahkannya ke arah mobil kapsul. Hanya dalam waktu sepersekian detik, mobil tersebut menjadi proyeksi dan kembali ke dalam arlojinya.
"Ayo masuk." Maria mengajak Lisbeth untuk masuk ke dalam rumahnya. Sekali lagi, perasaan familiar terasa di dalam dada Maria seakan-akan segalanya sudah pernah dia alami. Maria mengambil sebuah kotak yang berbeda dari antingnya dan memasukkannya ke dalam lubang di pintu rumahnya. Tidak lama kemudian pintu masuk ke rumahnya terbuka dan mereka masuk bersama-sama.
Sebelum Maria menginjakkan kakinya dari keset rumah bulu di depan rumahnya, Lisbeth bertanya kepadanya "Apakah kau akan masuk tanpa membuka sepatumu?" Maria menoleh ke arah Lisbeth yang sedang menekan sebuah tombol pada sabuk kecil yang terletak di kakinya. Sepatu putih Lisbeth tersedot ke dalam tombol tersebut.
Melihat hal itu, Maria meniru hal yang sama sambil berkata "Maaf, aku merasa sangat kikuk hari ini." Ia berusaha untuk beralasan agar tidak terlihat mencurigakan.
"Maria?! Kau sudah pulang?" Suara seorang wanita dengan nada yang mengalun terdengar dari sebuah ruangan di dalam rumah. "Ya ibu, aku pulang" Mulut Maria sekali lagi menanggapi dengan otomatis, seakan kesadaran Maria menyahut kepada ibunya.
"Beth, apa kabar! Lama tidak berjumpa denganmu." Seorang wanita setengah baya dengan rambut berwarna hitam dan mata yang besar menyambut mereka dari dalam. Wanita dengan pakaian india itu segera mendekati Lisbeth dan merangkulnya. Bulu matanya yang lebat terlihat kentara ketika dia menutup matanya.
"Baik, nyonya Anjali. Bagaimana denganmu?" Lisbeth menyambut rangkulannya. Tatapan wajahnya terlihat sangat gembira dan menyiratkan betapa rindunya dia kepada ibu Maria.
"Sangat baik. Ayo kemarilah nak, masuk ke dalam. Sudah lama sekali kau tidak datang kemari." Ibu Maria masuk sambil mengambil sebuah set cangkir minum dan menaruhnya ke meja kopi di dekat sofa. Suasana rumah yang semula disangka Maria akan sangat berbeda dari rumah yang dia ketahui, ternyata terlihat sangat biasa. Sebuah sofa, meja kopi, tivi, dan tanaman hias diletakkan sedemikian rupa, seperti rumahnya sebelum ia menjadi Maria.
Nyonya Anjali menggeser sebuah tombol di belakang pegangan poci teh yang dia letakkan di atas lubang yang sangat sesuai dengan bentuk poci teh tersebut. Setelah ia menggeserkan tombol tersebut, suara air terdengar mengalir ke dalam poci.
Nyonya Anjali mengambil poci teh tersebut dan menuangkan air berwarna hijau ke dalam cangkir minum Lisbeth dan Maria. "Ini adalah teh lumut di belakang rumah, cobalah Beth. Lumut ini berbeda dengan rasa lumut yang biasanya kita minum." Nyonya Anjali tersenyum ramah kepada Lisbeth dan menoleh kepada Maria. "Tentu saja Maria sudah bosan dengan rasa ini." Ia mengeluh sembari menghela napas.
Tak lama kemudian, Lisbeth dan Nyonya Anjali asik bercakap-cakap di ruang tamu, sementara Maria hanya mengamati sambil sesekali tersenyum menanggapi percakapan mereka.
"Tumben sekali Maria yang biasanya banyak berbicara sekarang tiba-tiba hening." Nyonya Anjali tertawa riang kepada Lisbeth sambil melirik kepada Maria sambil tersenyum kecil. "Menurutku, mungkin dia sangat gugup untuk acara perburuan esok." Tanggap Lisbeth.
"Ah, aku baru ingat! Besok hari perburuanmu yang pertama ya!" Ibu Maria menepuk tangannya sendiri sambil melanjutkan, "Ini sudah malam, sebaiknya kau bersiap untuk besok!" Dia mendorong pundak Maria dengan pelan.
"Baiklah bu, Selamat malam kalau begitu. Beth, terima kasih telah mengantarkanku." Maria mengecup kening ibunya, lalu mengangguk kepada Lisbeth sambil tersenyum. "Ah, itu bukan apa-apa. Selamat malam Maria." Jawab Lisbeth sambil melambaikan tangannya dan melanjutkan percakapannya dengan Nyonya Anjali.