Satu bulan berlalu sejak kunjungan Putra Mahkota. Seperti biasa, penghuni mansion Chester kembali ke rutinitasnya. Mulai dari Ariadna yang biasa membantuku mandi dan berganti pakaian, Erthen dengan latihan fisiknya, ayah dengan secangkir kopi beserta korannya, dan Serena dengan teh chrysathemum-nya.
Selama itu, Luke tidak membuat pergerakan sama sekali. Kukira, minimal ia akan mengirimiku sepucuk surat---sebatas mengabarkan sesuatu. Namun hal itu tidak terjadi. Ia seakan menghilang tanpa jejak setelah mengungkapkan perasaannya.
Sebenarnya tidak apa-apa. Mungkin saja, Luke mempunyai kesibukan sesuai berita yang tersebar---bahwasannya ia melakukan inspeksi terhadap Dukedom Willard yang dilanda kebakaran. Atau, barangkali dia sudah menyerah?
Jikalau berita tersebut benar, itu bagus. Sebab, aku bisa terhindar dari tragedi yang selalu kukhawatirkan. Namun, mengapa sosoknya itu belum terhapus juga dari ingatanku?
Aku jadi bertanya-tanya. Apakah tutur katanya kemarin hanyalah pemanis?
Tidak. Mengapa aku terus memikirkannya begini?
Hah, ini berlawanan dengan prinsipku.
Senika membenci cinta, begitu pula denganku.
Di kehidupan sebelumnya, aku pernah memiliki seorang kekasih. Ia adalah pria yang lumayan baik. Reputasinya sebagai ketua klub musik sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya digemari oleh para wanita.
Namun, dia memilihku. Malam itu, dia mengakuinya melalui melodi indah yang dimainkannya. Petikan gitar yang terdengar lembut, harmoni lagu yang membelai telinga, puisi yang tulus dibuat dari lubuk hati. Pengakuan yang sangat manis sampai aku menghabiskan lima lembar tisu karena terharu.
Kau tahu? Itu kala pertamanya aku dicintai oleh seseorang. Tentu saja, aku langsung menerima pernyataan cintanya tanpa membuatnya menunggu. Dirinya begitu gembira sampai menraktir teman-temannya waktu itu.
Pada awalnya, kisah kami berlalu bahagia. Hubungan kami awet hingga bertahun-tahun lamanya dengan ribuan kenangan. Sampai suatu hari, kami berada di satu titik di mana hubungan itu menjadi beracun.
Kekasihku lelah dengan sifatku yang suka bergantung dengannya.
Sejujurnya, aku bersikap seperti itu karena aku tidak memiliki siapapun. Hanya dialah satu-satunya tempatku bersandar. Sosok yang paling kupercaya, kucintai, dan dapat kuandalkan. Namun lama kelamaan, dia semakin risih denganku yang terlalu mencintainya.
Karena itu, dia perlahan berubah. Satu demi satu tanda masuk ke benakku. Drama pertengkaran nyaris menjadi santapan sehari-hari. Hingga akhirnya, sesuatu terjadi. Pria itu sengaja menduakanku dengan wanita lain.
Alasannya? Klise. Katanya wanita itu berhasil membuatnya nyaman dan tidak membebaninya dengan banyak keluhan.
Oke. Mungkin, baik aku maupun dirinya sama-sama bersalah. Tapi tetap saja, ini buruk.
Wanita mana yang tidak sakit hati dengan pengkhianatan?
Apalagi dia sudah berjanji akan menikahiku saat usiaku menginjak 23 tahun.
Namun nyatanya, pada usiaku yang ke-23, dia bukan menikahiku, tapi wanita itu!
Bahkan dia sampai hati mengundangku ke acara pernikahannya---yang tanggalnya selisih beberapa hari dari hari ulang tahunku. Bayangkan, betapa sakitnya aku ketika undangan itu tergenggam tanganku.
Duniaku yang berpusat padanya seketika hancur. Kenangan indah yang terukir berubah menjadi kenangan pahit. Pilar-pilar kepercayaan runtuh oleh kejamnya realita. Pada akhirnya, aku menelan pelajaran tentang buruknya cinta.
Sejak peristiwa itu, aku mulai menutup diriku seutuhnya. Tidak seorangpun kubiarkan masuk ke relung hatiku.
Aku yang terluka pun terinspirasi menulis novel yang bertema gelap. Novel berjudul Bloody Roses---yang mengisahkan tentang bagaimana kejinya cinta. Oleh karena itu, aku yakin aku tidak akan memiliki perasaan itu lagi.
Tapi mengapa ... mengapa harus Luke?
Dengan malas, kusandarkan kepalaku ke atas meja.
Aku tidak boleh lengah begini. Bahkan, rencanaku untuk melarikan diri sudah mulai pudar.
Apakah sekarang saat yang tepat untuk melarikan diri?
Tidak. Kurasa kondisi Chester masih aman terkendali, begitu pula dengan kekaisaran. Selain itu, hubunganku dengan Luke tidak ada "sesuatu". Menyimpulkan asumsi bahwa semuanya sedang baik-baik saja.
Kalaupun aku ingin, aku bisa melarikan diri. Tabunganku sudah hampir mencapai target.
Tapi, aku masih belum siap untuk berpisah dengan ayah dan Serena. Mereka adalah keluarga yang sangat berharga untukku. Entah mengapa hatiku teramat berat untuk melepaskan mereka. Semakin hari, aku semakin tidak mampu kehilangan mereka.
***
Suatu malam yang biru, Senika terlelap di meja belajar. Ia terlarut memikirkan sesuatu sampai rasa kantuk menelan kesadarannya. Kepalanya bertumpukan dengan buku dan lembaran kertas. Timbulan pulpen menempel jelas di pipi kirinya.
Tak tak
Jendela yang terpasang di lantai dua menggemakan ketukan. Namun, berapa kalipun ketukan berbunyi, Senika tak kunjung menunjukkan tanda terganggu. Oleh karena itu, sang pengetuk memutuskan untuk membobol sendiri jendela kayu itu.
Sosok pengetuk menghampiri Senika. Ketika jarak mereka kian dekat, ia mengamati Senika yang mendengkur pelan. Bibirnya yang seharusnya merah muda memucat kebiruan. Dibalik surai tipis yang membalutnya, gadis itu menggigil karena dinginnya angin malam.
Menyadari itu, sosok misterius merapatkan jendela. Ia pun mengambil selimut tebal yang membentang di ranjang. Dilapiskannya selimut itu ke punggung Senika.
Gemetar tubuh Senika mulai mereda. Pelan-pelan, ia menyunggingkan senyum damai---menyebabkan lekukan bibir tergambar di wajah sosok berjubah. Tak tahan dengan menatapnya saja, jemarinya mengelus rambut Senika yang tergerai indah.
"Ah?!"
Sentuhan itu membangunkan Senika. Kala mata birunya nampak, ia tertegun mendapati sosok asing berjubah cokelat.
"Kau ..."
Sosok tadi bukannya menjawab. Ia malah menyibak penutup kepala yang menyembunyikan rambut pirangnya. Samar-samar, wajah misteriusnya terlihat jelas.
"Kau mengiraku sebagai siapa?"
"Yang Mulia?"
Senika bangkit dari kursinya. Ia tidak menyangka pria itu nekat menyelinap ke kediamannya.
Benarkah dia Luke? Bagaimana bisa dia masuk ke dalam kamarnya? Bukankah mansion Chester penjagaannya sangat ketat?
Itu benar-benar mencengangkan sekaligus menakutkan.
"Senika, tidakkah kau ingat janjimu waktu itu?"
Senika mengerjap tak paham. Janji apa yang Luke maksud? Lamanya waktu membuatnya lupa dengan percakapan mereka.
Dengan gemas, Luke meremas pundaknya, mendorongnya sampai punggung Senika menghimpit ke dinding. Ia mengunci posisi Senika dengan lengannya.
"Panggil aku 'Luke'!"
Senika menghindari tatapannya. Ia yang tidak suka dipaksa memutuskan untuk bersikap dingin.
"Tidak takut dengan orang-orang rumah?" ancam Senika.
"Kau bisa berteriak kalau kau mau. Mereka yang memergoki kita akan menyebarkan rumor panas," goda Luke dengan senyum miring.
Senika mengeryit dan menatap Luke tajam. Baginya, Luke sudah tidak sopan karena memasuki kamar pribadinya. Ditambah, ucapannya barusan sangat kurang ajar. Perilakunya sudah sangat cukup untuk mendidihkan darahnya.
"Apa yang kau inginkan?" ketus Senika.
Pluk
Tanpa disangka-sangka, Luke menyandarkan dirinya ke bahu Senika. Ia tertunduk lesu. "Aku merindukanmu. Aku ingin bertemu denganmu hingga tanpa sadar aku menyelinap begini. Rasanya seperti hampir mati."
Mendadak, dada Senika sesak. Bukannya marah, malah, pipi Senika berganti memerah.
"Maaf, aku mengganggumu malam-malam begini," mohon Luke pasrah.
Senika mematung beberapa detik. Logika dan perasaannya bercampur aduk. Ia pun menjauhkan lengan Luke sebelum membuka mulutnya.
"Lalu mengapa tidak mengirimi surat?"
Luke melebarkan matanya. Ia hampir tak percaya dengan yang baru saja ia dengar. Seorang Senika---yang biasa menghindar dan mengacuhkannya---melontarkan sebuah pertanyaan mengenainya?
Luke ragu-ragu mengangkat kepalanya. "Kau ingin aku mengirim surat?"
Senika terbelalak saat ia sadar dengan ucapannya. Ia pun menutup bibirnya pelan dan membungkam. Dalam hati, Senika meruntuki dirinya hingga rasanya ingin bersembunyi ke lubang tikus.
Bibir Luke mengembang di tengah rona pipinya. "Maafkan aku. Aku terlalu sibuk menyelesaikan masalah di Duchy Willard sampai aku tidak sempat memberi kabar."
Pria itu pun menghapus coretan tinta di pipi Senika. "Namun, apa kau tahu? Betapa senangnya aku ketika kau bertanya tentang itu?"
"...."
"Bolehkah aku berharap kalau kau juga merindukanku?"
Senika menggeleng cepat. Ia mengulum bibirnya sendiri dan mendorong dada bidang Luke.
"Hah, kenapa tiba-tiba panas, ya?" Senika menghindar sambil mengipasi lehernya.
Luke tersenyum simpul. Ia pun memundurkan langkahnya sampai ke tepi jendela. Lalu, memutar badannya 180 derajat. "Kalau begitu, ambillah gaun di lemarimu!"
"Apa?"
"Mau berganti baju tidak?"
Senika mengeryitkan dahi, berusaha memahami apa yang dikatakan Luke. Namun berapa kalipun ia memproses, otaknya tidak dapat menangkap sinyal yang diberikan Luke.
"Benar tidak mau? Kuberi waktu tiga detik!" perintah Luke, menutup sepasang matanya rapat-rapat.
"Satu ... Dua ... Tiga! Waktu habis!"
Luke kembali mendekati Senika--- membuat kedua alis Senika terangkat. Selagi kakinya melangkah, gadis itu meraba-raba meja di belakangnya. Senika pun mengambil belati kecil dari dalam lacinya, lalu menodongkannya ke arah Luke.
"Ma-mau apa? Awas kalau macam-macam!" gertak Senika. Ia lupa bahwasannya seseorang yang menodongkan senjata tajam pada keluarga kekaisaran mendapatkan hukuman gantung.
Luke hanya tersenyum lebar tanpa menanggapi Senika. Tentu saja, belati itu langsung ditepisnya dengan mudah.
"Gahh!" Senika ternganga saat belatinya jatuh ke lantai.
Mendadak, pria jangkung itu mengangkat tubuh Senika. Ia memikul dirinya ibarat sekarung kentang. Sontak, Senika meronta meminta tolong. Namun Luke sama sekali tidak khawatir, karena sebenarnya dia sudah menggunakan sihirnya untuk membuat kamar Senika kedap suara.
Perlahan, Luke menuju ke balkon. Ia pun mengeratkan punggung Senika kuat-kuat. Setelah itu, ia menerjunkan dirinya dari balkon.
"Aaack! Apa yang kau lakukan?!" protes Senika, memukul-mukul punggung Luke. Namun pukulannya sama sekali tak berpengaruh, karena Luke menganggap kepalan tangannya seberat kapas.
"Apalagi? Tentu saja membantumu mencari udara segar!"
Senika membulatkan matanya. Ia tak habis pikir dengan ide apa yang digagas pria itu.
"Ini bukan membantu! Ini penculikan!" seru Senika.
Luke tergelak akibat tingkah lucu Senika. Baginya, kemarahannya bukannya menakutkan, melainkan menggemaskan. Dengan segera, Luke menggendong Senika kabur dari mansion Duke Chester.
***