"Serahkan kuda dan hartamu!" teriak para bandit.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Setelah menikmati pesta kembang api, aku meminta Luke untuk segera pulang. Kami pun menunggangi kuda hitam miliknya dan melakukan perjalanan.
Tadinya, jalanan lenggang yang kami lewati aman saat menyusuri bukit. Kalau tidak salah, bukit ini merupakan jalan pintas yang menghubungkan Dukedom Chester dan Kota Roem di barat daya kekaisaran.
Hingga mendadak, sekelompok pria berbadan kekar menghadang. Mereka mengerumun dengan obornya dan memekik gahar. Kemudian, memblokir kami menggunakan pusaka pedang dan kapaknya.
Aku sedikit khawatir, namun tetap berusaha bertahan di tengah situasi ini. Berbeda dengan Luke yang bermimik datar. Baginya yang terbiasa di medan perang, mereka tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Alberian yang terkenal barbar.
"Kalau kau tidak segera turun, aku akan melukai gadis ini!" ancam pria berkepala plontos, menodongkan mata pisaunya ke arahku.
Luke mengusap rambut halusnya. Samar-samar, seringai di mulutnya nampak dari pendaran obor. Sayup-sayup kesunyian menyeruak dan tak lama setelahnya, ia tertawa terbahak-bahak. Gelaknya terdengar menyeramkan, hingga menyebabkan merindingnya bulu kudukku.
Firasatku tidak enak. Seumur hidup, aku tidak pernah melihat pembantaian langsung dengan mata kepalaku sendiri. Aku memang menulis cerita thriller, namun aku hanya melakukan riset dengan membaca jurnal dan menonton film. Tentu saja itu berbeda jauh dengan kenyataan!
Refleks, kuhalangi mataku dengan telapak tangan.
Apakah Luke akan mengeluarkan warna aslinya?
Apakah dia akan memenggal kepala orang-orang ini?
Astaga, kumohon! Aku tidak mau ada pertumpahan darah di sini!
"Pergi kalian!" seruku. Aku pun mengeluarkan jurus tendangan mautku.
Namun---
Crash
Pria tadi melancarkan serangan pertamanya. Ia menggoreskan pisau tajamnya ke betisku.
"Argh!" erangku. Nyeri itu mulai menjalar dari sayatan luka yang dibentuknya.
"SIALAN!" umpat Luke kasar.
Dengan tangkas, Luke mengeluarkan pedangnya yang tersembunyi dibalik celananya. Diayunkannya sebilah logam itu cepat, menembus kulit leher pria berkepala plontos. Pria itu tak sempat menghindar karena gerakannya luput dari matanya.
Pria berkepala plontos melolong kesakitan. Ia terjungkal, lalu memegangi lehernya yang mengucurkan darah. Pita suaranya tersayat oleh pedang milik Luke. Satu temannya berlutut memapahnya, sedangkan yang lainnya tak mengalihkan fokus dari sosok Luke.
"Sudah kubilang, aku akan ...."
"Luke."
Kupanggil namanya saat situasi genting. Tidak, aku tidak bermaksud mengganggu atau menjadi beban. Aku hanya tidak mau menyaksikan pembunuhan malam ini.
Gemetar di tanganku tak kunjung hilang. Keringat dingin terus mengalir dari pelipisku. Aku tidak tahu mengapa, namun aku sangat trauma melihat orang terbunuh.
Seharusnya, aku tidak begini. Aku sudah melatih mentalku bertahun-tahun lamanya. Bahkan, aku berlatih diam-diam saat ayah melarangku mengikuti kelas memanah. Namun, aku tak bisa mengendalikan diri.
Luke menunduk. Ia pun merengkuhku dengan satu lengan kirinya.
"Senika, jangan lihat!" perintahnya.
Samar-samar, suara pedang yang saling berbenturan menembus malam, diiringi rintihan orang-orang yang tersiksa. Penglihatanku terblokir karena Luke membenamkan wajahku ke dadanya.
"Hah. Janji itu membelengguku."
Janji? tanyaku dalam hati.
Namun, aku tak bisa berpikir jernih saat ini. Aku tak sempat memahami gumamannya yang tidak jelas.
Beberapa menit pertarungan masih berlangsung. Luke melawan tujuh orang bandit yang hendak membegal kami. Ia membantainya sendirian dengan satu tangan di atas kuda.
Hingga satu momen benda jatuh menggema. Juga, dentingan pedang dan kapak terdengar. Kericuhan yang terjadi berganti dengan keheningan.
Luke pun kembali memasukkan pedang kesayangannya. Pelan-pelan, ia mengelap dagunya yang terciprat darah.
***
Luke memutuskan untuk mampir sebentar di sebuah jembatan terdekat. Di pagar jembatan itu terdapat bola lampu sihir yang berbinar remang. Luke mendudukkanku di pagar jembatan
"Hhhh, hah."
Deru napasku tak beraturan. Tubuhku tak mau berhenti bergetar. Pening di kepalaku tak kunjung hilang, hingga perutku tak kuat menahan mual.
"Haha, aku sungguh lemah."
Kusadari itu detik ini. Selama bertahun-tahun, aku mengusahakan diri untuk mengumpulkan uang dengan berbisnis. Tapi aku lupa, bahwa yang terpenting itu adalah ilmu pertahanan diri. Setidaknya, kalau aku tidak bisa menyerang, harusnya aku bisa melindungi diriku sendiri.
Tapi apa yang kulakukan? Aku malah membebankan nyawaku pada seseorang yang harusnya kuhindari?
Lucu sekali. Lucu sekaligus miris.
"Kau bukan wanita yang lemah," ucap Luke, seraya menggenggam tanganku erat. "Kau sudah cukup berusaha."
Lontaran kalimatnya sungguh sederhana. Namun, kehangatan di dalamnya menembus dadaku. Aku tidak tahu pasti. Yang kutahu, Luke mampu mengetahui perkataan yang ingin kudengar.
Luke berlanjut mengerutkan dahi. Ia meremas jemariku dan menaruhnya di keningnya. "Maafkan aku. Aku tidak mampu melindungimu."
Ia mengekspresikan penyesalan. Mimiknya begitu menyedihkan, hingga aku tak sampai hati untuk bersikap dingin.
"Oh, biarkan aku mengobati lukamu dulu," izin Luke. Ia melinting gaunku untuk mengecek luka di betisku. Luke mengamati goresan luka melintangku.
"Bajingan itu!"
Luke menahan umpatannya. Ia beralih merogoh saku kemejanya. Di tangannya, terdapat sebuah kalung perak dengan bandul kristal semburat biru. Kristal itu berkilau dengan serbuk kerlap-kerlip yang kutahu.
"Itu ...."
"Tunggulah sebentar!"
"Tidak usah!" tampikku.
Yang kuketahui, pada bandul kristal itu terdapat larutan elixir biru yang sangat langka. Elixir itu dihargai dua ratus ribu koin emas. Dan aku merupakan salah satu orang yang bisa membuatnya. Tapi ... aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat.
"Apanya yang tidak usah? Luka ini harus disembuhkan sekarang juga!" bentak Luke. Ia bersiap menggantungkan kalung di tangannya.
Buru-buru kurebut kalung itu darinya. "Luka goresku tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan benda ini. Sudah! Aku bisa mengobatinya sendiri!"
"Aku tak peduli tentang benda itu! Yang kupedulikan sekarang adalah dirimu!"
Apa-apaan dia. Luke, pria itu lebih peduli dengan rasa sakitku dibandingkan diriku sendiri. Apa dia tidak waras?
"Mengapa kau peduli padaku?"
Aku menahan sepasang mataku yang tergenang oleh air. Mungkin sebentar lagi, air mata akan turun dari pelupuk mataku.
"Kau 'kan sudah mengetahuinya," ucap Luke pelan.
Perasaan ini ... aku tidak mengerti mengapa perasaanku bercampur aduk begini. Aku hanya tidak bisa menjelaskannya dengan untaian kata.
"Sayang sekali, larutan ini tidak mau keluar dari kristal," keluh Luke.
Luke mencari-cari sesuatu di tas besar yang bertengger di kudanya. Ia membawa sewadah kemasan hijau berlogo ARS. Ia membuka wadah itu dan melepaskan sarung tangannya. Lalu diambilnya gel lidah buaya yang mengisinya.
Luke berlutut, kemudian memegangi telapak kakiku lembut. Ia mengoleskan gel itu ke sayatan sepanjang delapan sentimeter di betisku.
"Sekarang giliranku melakukannya untukmu."
Giliranmu? Apanya yang giliranmu?
Malam ini, Luke benar-benar aneh. Ia merancaukan kata yang terus membuatku bertanya-tanya. Meski begitu, pada pembegalan kali ini, Luke tidak membunuh siapapun. Kukira, ia akan menghabisi seseorang tanpa ampun.
Apakah dia sedang menyembunyikan rupa aslinya?
Ataukah dia memang tidak seburuk yang kutulis di novel?
Yang pasti, aku tidak bisa mempercayainya begitu saja. Walaupun sejauh ini, tindak-tanduknya terus menampakkan ketulusan.
***
Luke menggendongku turun dari pelana. Ia membantuku memijakkan kaki dengan hati-hati.
"Masih sakit?" tanyanya.
Aku menggeleng. Mulutku masih membungkam karena belum lepas dari selaman pikiranku.
"Maafkan aku. Malam ini, aku menunjukkan sisi burukku padamu."
"...."
"Terimakasih untuk malam ini, Senika," ucapnya, seraya membenahi jaket cobalt yang kukenakan.
Aku mencoba melepas jaket cobalt itu dan menampik, "Ini milikmu."
"Pakailah dulu. Kembalikan itu nanti saat kau berkunjung ke istana. Kau mengerti maksudku, 'kan?"
Wanita bangsawan mana yang tidak mengerti arti dari mengembalikan jaket? Itu adalah sebuah simbol agar aku mempunyai alasan untuk bertemu dengannya.
Aku tak menjawab apapun. Sedangkan Luke membungkuk rendah. Ia mengambil punggung tanganku, kemudian mengecupnya. Pemuda bermata safir itu mendongak menatapku dalam.
"Kutunggu kehadiranmu di hari perburuan, My Lady."
Luke perlahan mengembalikan tanganku ke posisi semula. Tanpa menunggu reaksiku, Luke memutar badan, kemudian menunggangi kudanya. Entah mengapa bayangannya mengingatkanku pada seseorang.
Samar-samar punggung mereka bertumbukan dalam angan. Kabut menelannya hilang menjauh dariku.
Kakiku yang sedari tadi lemas akhirnya roboh. Aku menyembunyikan kepalaku di balik lipatan tangan. Gendang telingaku peka dengan detak jantungku yang melaju cepat. Kuremas jaket tebal yang menghangatkanku dari dinginnya malam.
Sekarang aku mengerti jawaban atas kegundahanku. Aku adalah seekor tikus yang sudah terjebak di dalam perangkapnya. Perasaan ini ... akhirnya kuakui bahwa aku mulai menyukainya. Entah sejak kapan hal ini terjadi. Namun, kegigihannya itu membuahkan hasil sesuai yang dia harapkan.
Bodoh! umpatku dalam hati.
Tidak. Aku tidak boleh menyerah seperti ini. Sebelum perasaanku semakin dalam, aku harus menghentikannya terlebih dahulu.
"Aku akan melarikan diri."
Kuputuskan untuk menjalankan rencana yang sejak awal kususun. Tekadku membulat, aku tidak akan goyah lagi. Waktu yang berjalan tidak akan berlari dari alurnya. Aku harus mengubahnya demi kebahagiaan semua orang.
"Maafkan aku, Luke."
***