Pandanganku malam ini tertuju pada langit-langit kamar. Langit tembok yang bersih tanpa sarang laba-laba. Pinggirannya berhiaskan lisplang berukir. Tepat di tengahnya, terpasang satu lampu gantung yang terbuat dari platinum dan kaca.
Sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari memandanginya sebelum tidur. Namun berapa kalipun aku mencoba, aku tidak bisa terlelap sama sekali.
Sekali lagi, kubenamkan kepalaku ke dalam selimut. Kutendangi selimut itu kemudian. Suhu tubuhku masih lebih panas dari sebelumnya, 37,8 derajat celsius. Ulah siapa lagi kalau bukan karena pria itu?
Cuplikan adegan pada sore itu terus berputar di dalam bayangan.
***
"Senika, bagaimana perasaanmu terhadapku?"
Patahan dandelion terbang diterpa angin. Dandelion itu melintas, melewati sosok Luke yang diterpa cahaya petang. Manik safirnya tak lepas dari mataku. Membuatku lupa sesaat sampai aku tersadar, aku harus lepas dari kesuraman yang menantiku.
Aku menoleh ke atas. Langit bergradasi analogus terlukis di sana. Mulai dari hitam, biru, ungu, sampai oranye dan kuning---apapun gradasi warnanya, aku tak begitu peduli. Yang terpenting adalah bagaimana caranya supaya perhatianku teralihkan dari sihir pemikatnya.
Luke mendongakkan daguku dengan kedua tangannya. Membuat netra kami saling bertemu pandang. Sirat ketulusan tersorot dari sepasang matanya.
"Aku mengerti. Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Aku akan terus menunggu," kata sang Penerus Takhta itu. Nadanya yang merendah terdengar putus asa.
"Namun ingat ini, Senika. Aku tak akan berhenti sampai kau menyukaiku."
Masih dengan kebiasaan yang sama, Luke menyunggingkan senyuman hangat. Bedanya, senyumnya kali ini bermakna keyakinan.
"Jangan berharap padaku," tegasku, setelah memikirkan rangkaian kata apa untuk membalasnya.
Luke pun menjumput geraian rambutku. Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapanku. "Terserah padaku berharap atau tidak. Mencintaimu adalah pilihanku."
Suasana seketika menjadi hening. Kalimat itu membungkamku dalam waktu yang lama.
Setelahnya, Luke menyelipkan rambutku ke belakang telinga.Tatkala aku pulang dan bercermin, aku baru tahu kalau Luke menyelipkan setangkai dandelion ungu di sana.
***
Aku menepuk pipiku. Kemudian memeluk erat boneka kucingku.
Apa yang terjadi padaku? Apakah aku sudah jatuh ke dalam perangkapnya?
Baru sekali ini aku bepergian bersamanya. Namun sehari itu saja sudah mampu menggoyahkan hatiku? Sekejab pun aku tak bisa melupakan momen itu.
Bodoh! Apa gunanya usahaku bertahun-tahun kalau pada akhirnya perasaanku begini?
Kututup paksa mataku meskipun aritmia dan insomnia terus menggangguku.
***
Keesokan paginya adalah hari terakhir Luke berada di mansion. Sebelum berpisah, keluarga Chester dan Putra Mahkota mengadakan sarapan untuk yang terakhir kalinya.
"Anda nampak segar pagi ini, Putra Mahkota," kata ayah.
Luke memperlihatkan seri wajahnya. "Tentu, ini karena inspeksi berjalan lancar."
Aku dan Serena tak mengindahkan keduanya. Mereka membahas tentang beberapa titik di wilayah Selatan yang memerlukan perbaikan. Juga, berapa anggaran untuk pembangunan, bahan dan tenaga kerja, kisaran waktu selesainya, dan sebagainya. Aku paham namun aku tidak ingin mendengar itu lebih jauh.
"Oh, ya," potong Luke. Ia pun mengalihkan perhatiannya padaku. "Aku melupakan ini, milik Lady Senika."
Luke menyodorkan sepucuk surat yang disitanya kemarin. Dengan sigap, kurebut surat itu sebelum ayah dan Serena menyadarinya.
"Terimakasih, Yang Mullia."
Luke terkekeh menyaksikan gelagatku. Mungkin, aku ini seorang pelawak baginya.
"Terimakasih juga untuk yang kemarin."
Luke terus memandangiku seolah tidak ada siapapun di sini. Ketika aku melirik ke kanan, Serena dengan picingan matanya tertuju ke arahku. Ia bertelepati seakan bertanya apa yang terjadi di antara kami.
Serena menunggu-nunggu pernyataanku. Aku yang belum bisa bercerita mengunyah ayam panggangku yang belum habis.
"Duke," panggil Luke.
Ayah mengatupkan bibirnya, kemudian menoleh ke pria berseragam hitam itu. "Ada apa, Yang Mulia?" tanyanya.
Tanpa mengalihkan fokusnya dariku, Luke bertanya balik, "Bagaimana menurutmu jika aku memilih putri mahkota?"
"Uhuk!"
Aku tersedak sampai terbatuk-batuk.
"Senika, minumlah!"
Serena yang khawatir menyodorkan segelas air. Aku menerimanya dan segera meneguknya. Sementara Luke melemparkan senyuman ke arahku, namun aku berpura-pura tak peduli.
Apa dia tidak waras?
***
Usai sarapan, Luke berpamitan pada seluruh penghuni keluarga Chester. Tak lupa, ia berterimakasih dan memberikan kami banyak hadiah. Khususnya, hadiah set perhiasan yang dibelikannya. Bagi orang-orang mansion, Luke merupakan pria yang murah hati.
Sebelum memasuki kereta, Luke berbalik menghampiriku. Ia menggenggam tanganku---yang bersarung putih---, kemudian mengecup punggungnya.
"Aku akan segera kembali setelah urusanku selesai," pamitnya.
Selepas itu, sosoknya lekas masuk ke dalam kereta. Ia bersama rombongan penjaga hendak melaporkan situasi ke istana, sebelum meneruskan kembali perjalanan mereka menuju ke Wilayah Barat.
***
"Senika, kalian sudah resmi berhubungan?"
Setelah kepergian Luke, aku dikerubungi oleh Serena dan para pelayan. Mereka ibarat wartawan televisi yang meminta klarifikasi.
"Itu tidak mungkin!" sangkalku keras.
"Lalu apa yang terjadi? Dia terus-terusan bertingkah seperti kekasihmu."
"Kakak, dia bukan kekasihku!"
"Tapi suasana di antara Nona Senika dan Putra Mahkota lebih intim. Biasanya Nona Senika selalu menghindarinya. Apa Nona mulai menyukai Yang Mulia?"
Serena mengerutkan dahi sambil melipat lengan. "Hera, jangan berkata begitu! Aku tidak merestui pria itu!"
"Nona, Anda menyukai Putra Mahkota kan?" Hera dan pelayan lainnya menanti jawabanku.
Aku menelan ludah. Ini lebih sulit dari yang kubayangkan. Saat aku kebingungan, Serena lantas menghadang para pelayan.
"Senika tidak mungkin suka dengannya. Sudah, bubar kalian! Kembali bekerja!" seru Serena.
Mereka pun kembali pada kesibukannya masing-masing. Sementara itu, pikiranku terus berkecamuk.
Aku menyukainya? Tidak, itu tidak mungkin.
Tapi mengapa aku tidak bisa menyangkalnya?
Seharusnya aku bisa menjawabnya dengan lantang!
Ini semua salahku. Aku membiarkan Luke melewati celah walau sesaat.
***