BAB 24
"Atas semua hal buruk yang menimpaku, itu bukan salahmu, Mile. Dan tidak akan pernah menjadi salahmu."
[Apo Nattawin Wattanagitipat]
"Aku benci mengatakan ini, tapi tipuanmu memang berhasil, Bas!" seru Max. Di angkasa, dia mencengkeram tubuh Apo dalam wujud naga biru. Bas yang menunggangi pun mengetuk kepalanya gemas.
"Kubilang juga apa, hah!" serunya. "Aku tak menyangka rekanmu itu akan kehilangan akal. Bagaimana bisa mengadakan pernikahan resmi ala manusia? Kita iblis. Sejarah patuh apalagi bersumpah suci di hadapan Tuhan itu mengerikkan! Apalagi setia kepada selain bangsa sendiri." (*)
(*) JADI GINI:
iblis patuh pada kaisarnya. Manusia patuh pada Tuhan. Konsepnya gitu. Kalau iblis kawin, yaudah pake stempel doang. Cuman, kalau mereka ngadain resepsi atau sumpah suci di hadapan Tuhan (kayak yang akan dilakuin Mile ke Apo) itu dianggap pengkhianatan kepada raja iblis.
Sebenarnya, Max dan Bas ini punya tujuan baik. Biar Mile gak nurutin Apo mewujudkan impian ngadain resepsi. Biar Mile aman. Cuman serba salah mereka semua posisinya.
"Benar, Bas," kata Max. "Tapi Jeje menentangku lagi tadi. Aku samasekali tidak paham."
"Mereka mungkin sudah bosan hidup. Kaisar bisa mengamuk bila ada pengikutnya melampaui batas," kata Bas. "Okelah, jika dari sekte lain kubiarkan. Tapi, maaf. Aku tak ingin nama kita tercemar hanya karena keputusan sembrono panglima sendiri."
"Benar." Mendadak Max terkekeh. "Meski aku kagum dengan caramu ber-akting semalam. Bisa-bisanya mendesah seolah Jeje mengacak-acakmu di tempat tidur."
"Ha ha. Tentu saja," kata Bas. "Bukan aku namanya jika tidak kekurangan akal."
"Tapi, Bas ...." gumam Max. "Menurutmu cara barusan sungguh efektif?"
"Apa maksud perkataanmu itu, hah?"
"Dengan mengambil kepercayaan Apo dari Jeje dan Mile." Max menatap badan lemas lunglai dalam cengkeramannya. "Karena aku merasa, Apo punya kewaspadaan tinggi, meski dia manusia biasa. Bukankah tadi kau kewalahan membuat kesepakatan darinya?"
"Benar. Memang agak merepotkan," kata Bas. "Tapi tindakan kita juga menyelamatkan sekte sendiri. No hard feelings. Yang penting kita sembunyikan Apo dulu, terus diserahkan ke kaisar, baru pikirkan langkah selanjutnya."
Alis Max mengernyit turun. "Baiklah."
"Phi Jeje!" Panggilan Mile menggaung di lorong kediaman sang kakak. Hari itu, tak seperti biasanya. Suasana di sana sepi, padahal Jeje sering dikelilingi pelayan dan harem-haremnya. Mile pun menilik beberapa spot tempat, lalu melompat naik ke balkon kamar Jeje. "Kenapa malah diam saja?" tanyanya jengkel.
Jeje yang terbaring di balik selimut baru menoleh setelahnya. "Aku akan menyambutmu di depan andai saja mampu hari ini."
Kening Mile mengernyit. "Phi sakit?"
"Aku mungkin baru dilumpuhkan," kata Jeje. Jemarinya memang sulit digerakkan barang beberapa detik saja. "Efeknya sepertinya tidak lama, Mile. Tapi orang ini pasti mengerahkan kekuatan besar untuk menundukkanku." (*)
(*) Urutan dari yang paling kuat Mile - Jeje - Max - Bas.
Mile pun menyentuh lengan Jeje. "Sejak kapan seperti ini?"
"Kemarin lusa," kata Jeje. "Aku sudah terjaga beberapa kali, tapi tetap tidak mampu bangun. Kau tahu? Sejujurnya aku punya firasat buruk. Tapi beruntung bisa menghubungimu tadi pagi."
"Ah ...." desah Mile. "Sebentar, biar kulihat dulu."
Penglihatan Mile menjelajah ruang dan waktu secara mundur. Di sana Jeje pulang pukul 8 malam setelah seharian keluar. Sang kakak disambut semua pelayannya seperti biasa. Lalu memberikan bingkisan kepada mereka setelah belanja.
"Buatlah makan malam untuk semuanya," kata Jeje. "Aku akan istirahat awal hari ini. Jadi, tolong jaga suara dan jarak dari kamarku."
"Baik."
Tidak ada yang aneh dengan para pelayan. Mereka masak besar, lalu berdoa bersama sebelum menyantap hidangan. Raut-raut bahagia ada di meja itu, lalu lampu-lampu kediaman dimatikan secara berkala sebelum jam istirahat.
Hari tampak berjalan sewajarnya saja. Semua pelayan melipir ke bilik masing-masing, dan penjaga gerbang mengeluarkan suara gemerincing kunci saat menutup tiap jalan masuk dan keluar. Namun, semua ketenangan itu berhenti pada pukul 1 pagi.
Setiap yang bernyawa di kediaman Jeje melipir pergi. Baik manusia, hewan peliharaan, maupun yang bersembunyi di lubang tanah. Tatapan mereka kosong, tetapi bisa berjalan layaknya normal. Semua serentak keluar dari gerbang sebelum menghilang entah kemana.
Pada saat yang sama, Jeje sempat tersentak dari tidur di ranjangnya. Sang kakak hampir saja duduk, tetapi sebuah benang emas tiba-tiba muncul mencekik lehernya. Jeje pun memberontak beberapa saat, lalu kesadarannya hilang.
"ARRRRGHHHH!!"
Begitulah yang terjadi tanpa adanya penampakan pelaku.
"Kakak membuat masalah dengan iblis lain akhir-akhir ini?" tanya Mile. Dia menggeser duduk agar mentransfer energi kepada Jeje lebih cepat. Cahaya merah memancar dari tangannya layaknya senja di ufuk barat.
"Tidak."
"Jadi, kemampuan Phi hilang total selama dua hari ini?"
"Hm."
"Sekarang coba gerakkan bagian tangan."
"Susah-hhh." Pucuk hidung Jeje mengerut. "Mungkin aku harus menunggu lagi."
Suara Mile memelan. "Orang ini pasti merencanakannya begitu matang," katanya. "Dan kekuatannya bisa jadi setara Phi, tapi tidak berniat melukai.
"Ya." Jeje mengurut kening ketika mampu bangun perlahan. "Aku tidak tahu siapa, tetapi prediksiku sangatlah buruk."
"Apa, Phi?"
"Tidak banyak yang tahu soal kekuatan benang emas, Mile," kata Jeje. "Kecuali dari sekte kita sendiri. Kau tahu kenapa?"
"...."
"Karena aku yang mengajarkan teknik melumpuhkan itu kepada mereka."
Mile pun tercenung. Dia jelas tidak memperhatikan hal itu karena perguruan kakaknya dulu beda dengan dirinya. Sang kakak masuk dalam ranah kedokteran militer, sementara dirinya ajudan atau orang dalam kekaisaran iblis.
Mengobati, melumpuhkan. Menyelamatkan, meracuni. Jeje sangat paham hal seperti itu daripada dirinya.
"Phi yakin?"
"Sangat."
Mile menghela napas panjang. Dia tampak berpikir keras akan solusinya, sampai Jeje menjumput serbuk transparan yang terbubuh berantakan di bahunya.
"Tunggu dulu, apa ini?"
"Apa?"
Jeje menunjukkannya ke depan wajah Mile. "Apa kau tidak mampu melihatnya? Ini tabir tujuh lapis agar indramu tertutup dari kondisi luar."
DEG!!!!
"Apa?"
Mile jelas-jelas tidak melihat apa pun. Itu sudah cukup jadi bukti dirinya ikut dikelabuhi pelaku kejadian ini.
"Tujuh lapis, Mile. Kau kehilangan informasi apa pun dalam radius tujuh kilometer." Jeje langsung meremas bahu sang adik pelan. "Kau tahu apa yang kupikirkan?"
Seketika tangan Jeje langsung disentak sang adik kasar.
"APO!! CEPAT CEK KONDISI ADIK IPARKU, ASTAGA!"
Sekali kepal, urat otot tangan Mile langsung terlihat jelas.
BRAKHHHHH!!
"Maaf, Phi. Aku akan kembali lagi nanti."
***
Plak! Plak!
"Dia sepertinya tertidur nyenyak," kata Bas. Setelah beberapa kali mencoba, dia berhenti menampari pipi Apo sebelum memerah. "Ah, ini agak merepotkan. Bagaimana bisa kita menginterogasinya jika tidak bangun-bangun."
"Aku tahu apa yang harus dilakukan," kata Max.
"Heh, memang mau kau apakan?"
Max menyeringai tipis. "Minggir," katanya. "Jangan di sana karena ini mungkin agak menyakitkan."
"Heee?"
Tanpa menaruh curiga, Bas yang semula duduk di tepi ranjang Apo pun menyingkir dari sana. Dengan raut bossy, tangan terlipat di lengan, dan mata menatap lurus, dia berlagak seperti akan menikmati penyiksaan gratis.
"Ha! Toh Apo takkan melawan meskipun bangun. Tangan dan kaki lelaki itu terberangus borgol di setiap sudut-sudut ranjang," batin Bas.
"Dari dekat, dia benar-benar lebih cantik dari yang kubayangkan," kata Max. Dia menyurukkan wajah hingga bulu matanya dan milik Apo beradu.
"H-Hei ... Max?"
"Ssshh ... jangan menggangguku sebentar." Max menaruh telunjuk di depan bibir, lalu kembali fokus ke Apo. Dia mengambil beberapa ciuman dari istri Mile itu, hingga mata sang rekan melotot.
"What?!" kaget Bas.
Max menyadari hal tersebut, tetapi justru tertawa dan melanjutkan ciumannya. Dengan gemas, dia gurat bibir Apo hingga terbuka, lalu memasukkan lidah merahnya ke dalam sana.
"Are you crazy, Max?!"
BRAKHHH!
Max pun tergebrak setelah cahaya kekuatan Bas yang berwarna kuning menyambar.
Bukannya panik, Max justru hanya mengusap saliva di sudut bibir setelah melepaskan sentuhan. Dia berdecih lalu memaki pelan. "Diamlah! Aku sudah ingin melakukan ini sejak dulu. Toh sayang menyerahkan barang bukti ke kaisar sebelum menodainya. Ha ha ha."
Bas pun terpelanting jatuh ke lantai. Dia terbatuk-batuk, memegangi dada, dan menatap sang rekan tidak percaya. "Tapi aku sungguh tidak habis pikir."
"Ha ha. Really?" kata Max. Dia merasa hebat setelah menunjukkan motif sebenarnya. "Kalau cemburu, kenapa tidak gabung saja? Aku akan berbagi tubuh itu jika kau ingin."
Bas pun berdiri dan mengusap darah tipis di sudut bibir. "Maaf, aku tidak berminat dengan lelaki," katanya. "Tapi, Max. Apa kau yakin dengan hal itu?"
"Apa?"
"Bermain-main dengan istri Mile? Bagaimana pun rahangnya sudah ditandai dengan kontrak perkawinan," kata Bas. "Tapi kalau mau ya silahkan. Hanya saja bantuanku sebatas keperluan kerajaan. Mile tetap jadi urusanmu."
"Hmph. Mari lihat apa dia akan semarah itu padaku," kata Max percaya diri. "Lagipula, mana mungkin dia membuangku? Rekan hidup dan mati dalam perang lebih sulit ditemukan daripada kekasih."
"Damn." Bas kini memalingkan muka. Keningnya berkedut karena kancing kemeja Apo mulai dilepasi Max. "Ya sudah. Selesaikan saja dengan cepat. Aku akan menunggu di luar."
"Hm."
"Dan jangan lupa tujuan utamamu pada kasus ini."
"Hm."
Jengkel, Bas pun melipir keluar. Telinganya sudah memerah bahkan sebelum Apo telanjang.
Rasanya lebih memalukan daripada kemarin. Kau tahu? Pura-pura mendesahkan nama Jeje jelas beda dengan menatap persetubuhan antar lelaki secara langsung.
"Max pasti sudah gila," batin Bas. "Aku jadi bingung harus lebih percaya siapa."
Bagaimana pun, Mile tetap keliru bila ingin bersumpah suci di hadapan Tuhan. Itu bukan ranah mereka. Jadi, meski kaisar iblis belum pernah memanggil kembali, hukum tetap tak boleh dilanggar.
"Dia begitu manis ...." Sambil menindih, Max pun meniti wajah Apo dengan ujung jarinya. Dia mengendus seperti kucing. Menikmati kelembutan kulit lelaki itu dengan lidahnya, lalu mengecup di ceruk leher.
Apo benar-benar tak sadarkan diri. Dia nyenyak bagai puteri tidur, lalu refleks mengeratkan tubuh kepada Max karena kedinginan. Hawa luar memang makin menjadi. Dan udara menerpa hebat dari balkon kamar sebelum meraup bulu kuduknya hingga meremang.
Max berbisik pelan. "Sshh ... sebentar lagi kau akan kuhangatkan."
Bersambung ....