Tidak ada untungnya dari memusuhi seseorang.
Itu adalah prinsip yang kupegang sepanjang hidupku. Karena itulah, aku selalu ingin menjaga pertemanan, membuat teman baru, meskipun aku harus berbohong.
Hubungan itu penting untuk menjadi sukses. Maka, mengingat kembali prinsip dasarku, aku memutuskan untuk tidak memusuhi Silvia Anggraini.
Jika ke depannya Silvia Anggraini akan menjadi salah satu anggota keluarga (seumur hidup), maka sudah pasti, aku akan berusaha menjaga hubungan baik dengan Silvia Anggraini.
Tapi jika aku tiba-tiba bersikap baik, itu akan membuat Silvia Anggraini terus mewaspadai aku. Maka yang harus kulakukan pertama-tama adalah, tidak menunjukkan sikap bermusuhan.
Dengan menunjukkan begitu, kewaspadaan Silvia Anggraini akan menjadi sia-sia.
Di sini yang memiliki keuntungan adalah aku. Silvia Anggraini tidak akan berani menyerangku karena dia ada di posisi sebagai anak baik, rajin, Ketua OSIS, jika dia menyerangku, maka kemungkinan reputasinya bisa turun dan hubungan baik dengan keluarganya akan menjadi buruk. Maka, Silvia Anggraini hanya bisa bertahan.
Sedangkan aku, aku memiliki keuntungan "waktu". Jika sepanjang hidupku dan hidupnya kita berdua menjadi anggota keluarga yang sama, Silvia Anggraini tidak mungkin kuat bertahan terus selamanya; selalu mewaspadai aku. Pada akhirnya, dia akan menurunkan pertahanannya atau mungkin sampai menyerah.
Tapi bukan itulah yang ingin kudapatkan darinya. Aku hanya ingin dia tidak menjadi batu sandungan di rencana masa depanku.
Aku tidak ingin memusuhinya, maka aku harus membuat Silvia Anggraini "terbiasa" denganku.
Jika aku terus menerus tidak melakukan yang sesuai dengan dugaan Silvia Anggraini, maka dalam hatinya, dia akan merasakan bahwa sia-sia dia terus waspada. Sama seperti ketika seorang anak kecil yang takut kegelapan, tapi ketika semakin dewasa, dia tidak takut lagi terhadap kegelapan karena sudah terbiasa. Dia berpikir, "Apa yang harus ditakutkan? Kan cuman gelap. Tidak bisa menyakitiku."
Manusia takut kegelapan karena ketidaktahuan mereka terhadap kegelapan. Tapi semakin dewasa manusia, manusia sudah semakin terbiasa, mengerti; kegelapan itu tidak bisa apa-apa.
Yang kuperlukan adalah Silvia Anggraini untuk mengetahui aku bahwa aku itu bukan ancaman. Dan diperlukan waktu. Waktu yang cukup lama. Tapi itu bukan masalah, karena aku dan dia punya waktu yang sangat sangat sangat lama untuk mengenal satu sama lain.
"...lo... halo... Halo. Oi!"
"?!" Aku menengok ke arah suara orang yang berteriak tepat di telingaku. "Ada apa, Ani?" Aku langsung memasang "Topeng"ku.
"Kamu itu aku sapa kok nggak jawab? Ngapain? Lagi ngelamun?"
"Iya, maaf." Jawabku.
Calista Anita kemudian duduk di bangkunya. Setelah disadarkan oleh Calista Anita, aku menengok sekitar kelas. Baru ada aku dan Calista Anita saja yang ada di kelas. Sepertinya aku sendiri tidak sadar bahwa aku sudah sampai sekolah.
Untungnya baru Calista Anita saja yang melihatku begini. Aku menghela nafas untuk menguasai ketenanganku kembali.
"..." Aku melirik ke arah Calista Anita selagi dia sedang menggunakan handphonenya.
Hm... Aku penasaran bagaimana reaksi Calista Anita dan Alex Mahes jika aku memberi tahu mereka tentang kejadian kemarin...
Tentunya aku tidak akan memberi tahu Calista Anita dan Alex Mahes tentang ini. Aku dan Silvia Anggraini sudah sepakat bahwa kami tidak akan mengumumkan ini ke orang-orang di sekolah. Mereka tidak perlu tahu tentang privasi kita.
Aku sengaja keluar rumah dan pulang tidak bersamaan. Tentunya, tidak mungkin ada orang yang akan sampai membuntut kita. Aku tetap melakukannya karena ini sifatku saja.
"..." Aku menggeleng kepalaku. Pikiran ini tidak penting sekarang. Aku mulai menyusun daftar, jadwal, dan catatan di dalam kepalaku.
"..." Selagi aku tenggelam dalam pikiran lagi, Calista Anita sedang melihatiku dari kejauhan tanpa aku ketahui.