Chereads / Monolog Seorang Psikopat / Chapter 6 - 58 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 24 September. Malam hari.

Chapter 6 - 58 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 24 September. Malam hari.

Aku lengah. Hanya aku saja yang bisa kusalahkan.

Tanpa aku sadari, ayahku sudah jauh dalam hubungannya ke ibu Silvia Anggraini.

Seharusnya aku menduga hal ini akan terjadi. Seharusnya aku punya rencana cadangan.

Aku dengan naifnya membangun rencana untuk masa depan, dengan bayangan semuanya itu tidak muncul gangguan. Tapi gangguan itu tiba.

Rencanaku tersendat dan karenanya aku tersandung.

Aku bersyukur aku tersandung sekarang; daripada di masa depan nanti. Ini pelajaran yang berharga.

Hari ini rasanya betul-betul aneh. Aku tidak menyangka aku bisa berpikiran sepositif ini. Mungkin karena aku memaksakan diriku untuk berpikir positif?

Jika Silvia Anggraini menjadi adik tiriku...

Sekarang harus apa? Tindakan apa yang akan kuambil?

Ada beberapa pilihan untuk membuat Silvia Anggraini tidak menjadi adik tiriku. Misalnya, dengan membunuhnya di sebuah 'kejadian', atau membuat ayahku dan ibunya berpisah dengan mengadu domba, tapi tentunya itu semua bukan pilihan yang sepatutnya dipertimbangkan oleh remaja laki-laki biasa (?). Jadi tanpa pilihan lain, aku menyerah.

Silvia Anggraini entah sudah berapa lama dan bagaimana mengetahui sifat asliku... wajah tanpa "Topeng".

Saat ini, hal itu tidak penting bagiku. Suatu hari aku akan tahu dari mana dia mengetahui kebenaran tentangku.

Untuk sementara ini, aku akan mulai menganggap Silvia Anggraini adalah adik tiriku.

Dengan berjalannya waktu, Silvia Anggraini akan betul-betul mengetahui sifat asliku (meskipun dari awal dia sudah tahu).

Karena dia sudah tahu, aku memutuskan untuk berhenti berusaha berpura-pura. Tidak ada gunanya membuang-buang tenaga, jika pada akhirnya tidak berhasil. Ditambah lagi, Silvia Anggraini akan tinggal bersamaku dalam waktu yang sangattt lama...

Aku sampai di rumah dan segera mencuci tanganku. Setelah ini, aku akan memastikan kependirian Silvia Anggraini dalam rumah tangga kita di masa depan.

Malamnya. Di kamar.

Setelah berbincang-bincang dengan Silvia Anggraini di halaman belakang, aku masuk ke kamarku setelah menarik kesimpulan dari perbincangan tadi.

Pendapat Silvia Anggraini sangat membantuku. Itu membuatku melihat situasi lebih lebar.

Meskipun memang betul rencana masa depanku kurang lebih sudah hancur, aku juga bisa memanfaatkan kehancuran itu. Aku lega telah menanyakan Silvia Anggraini tentang kemungkinan pernikahan orang tua kami.

Setelah mengetahui kedudukan Silvia Anggraini, bagaimana denganku? Tindakan apa yang harus dan akan kuambil?

Aku bisa berusaha membuat Silvia Anggraini menyukaiku supaya terdapat keharmonisan sungguhan dalam keluarga. Masalahnya, dia sudah tahu sifat asliku. Apa aku masih bisa membuatnya menyukaiku? Butuh waktu dan seluruh tenagaku untuk membodohi Silvia Anggraini lagi.

Lalu bagaimana dengan sebaliknya? Bagaimana jika aku menyingkirkan Silvia Anggraini dengan paksa?

Aku bisa mencoba membunuhnya, tapi tadi sudah kupikirkan dalam perjalanan kembali ke rumah. Itu tidak mungkin akan kulakukan. Mungkin akan kusimpan sebagai cara terakhir...?

Aku bisa menjebaknya dalam sebuah tindakan kriminal sehingga dia harus diurus polisi...? Terlalu berisiko untuk diriku dan ayahku.

Atau mungkin yang lebih ringan? Aku bisa menjebaknya melakukan pelanggaran sekolah sampai reputasinya jatuh. Dengan begitu, posisinya di rumah ataupun sekolah juga akan menurun.

Dan sepanjang malam aku berpikir dan terus berpikir. Aku membalikkan tubuhku berulang kali. Aku berusaha mengubah kebiasaanku supaya ada inspirasi terlintas di kepalaku.

Aku membuka gorden jendela di samping kasurku. Ketika aku berbaring kembali, cahaya bulan masuk ke mataku. Malam ini tidak ada awan. Aku bisa melihat bulan dan bintang-bintang.

Anehnya, aku bisa "membaca" bintang-bintang tersebut. Mungkin dari buku astronomi yang sering kubaca di waktu luang, aku bisa "membaca" bintang.

Di daerah perkotaan, cahaya buatan ada di mana-mana. Intinya, cahaya buatan ini mengalahkan bintang-bintang di langit yang redup. Ini disebut polusi cahaya, dan proses yang membuat polusi cahaya ini disebut "skyglow". Ditambah lagi, polusi udara di perkotaan yang membuat awan asap, debu, dan seterusnya, yang akhirnya menutupi langit.

Hm, tumben.

Meskipun aku bisa menjelaskan ke orang lain bahwa aku tinggal di kota, aku tidak tinggal di kota yang paling ramai sedunia. Tapi tetap saja, bintang yang bisa kulihat tidak sampai sebanyak ketika melihat di desa. Jadi, ini tetap langka; aku bisa melihat bintang sebanyak ini.

Baru itu kusadari, bahwa pengetahuan ini sangat tidak berguna. Aku memutuskan untuk berhenti membaca buku astronomi mulai malam ini juga.

Aku mengambil nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya. Rasa kantuk merayap ke seluruh tubuhku.