Chereads / Monolog Seorang Psikopat / Chapter 5 - 58 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 24 September. Malam hari. ~~~Silvia Anggraini.

Chapter 5 - 58 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 24 September. Malam hari. ~~~Silvia Anggraini.

Setelah aku mendengar pintu rumah terbuka dan tertutup, itu artinya dia sudah berada dalam perjalanan ke supermarket. Mengetahui begitu, aku menghela nafas lega.

Akhirnya, dia tidak ada di dekatku.

Tanpa kusadari, aku telah bersikap seperti ini lebih lama dari yang kukira. Aku segera memeluk dan meminta maaf kepada Luki dan Luka.

Bodohnya aku ini. Seharusnya aku tidak melibatkan adik-adikku ke dalam ini semua.

"Maaf ya, Kak Silvi jadi kayak gini." Kataku sambil memeluk mereka. Tentunya mereka kebingungan dengan tindakanku ini; dari kasar dan marah, tiba-tiba memeluk.

"Kak Silvi kenapa, sih?" Luki bertanya.

"Apa Kak Silvi nggak suka kakak baru?" Luka bertanya.

Suka ataupun tidak suka, dia telah menangkap hati adik-adikku. Cara yang betul-betul keji dan licik. Dia tahu bahwa adik-adikku ini adalah kesayanganku, jadi dia berusaha menghancurkan keluargaku dengan cara seperti itu. Heh, tidak akan kubiarkan begitu saja.

"...Maaf." Aku meminta maaf lagi, kali ini dengan maksud meminta maaf karena telah gagal melindungi mereka. "Ayo kita main lagi sekarang." Aku menatap mereka dengan senyum.

Mereka menjadi ceria lagi mendengarku begitu.

Di samping bermain-main dengan mereka, aku juga menguping percakapan antara ayahnya dan ibuku.

Beberapa saat kemudian, perbincangan serius mereka sudah selesai dan berpindah ke arah obrolan ringan. Memutuskan bahwa tidak ada hal penting yang dapat kudapatkan lagi dan merasa bahwa aku tidak sepantasnya menguping, aku memindahkan perhatianku sepenuhnya untuk menyenangkan Luki dan Luka.

Sampai senangnya Luki dan Luka mendapatkan kakak baru, mereka melebihi jam tidur mereka.

Banyak hal yang terjadi hari ini. Kita makan malam di luar dan bertemu dengan keluarganya, setelah itu membawa pakaian dan barang-barang yang dibutuhkan untuk menginap di rumah orang lain. Itu pastinya membuat mereka kecapaian, bahkan aku sendiri sudah capek.

Kegirangan mereka akhirnya berhenti dan mereka menjadi terkantuk.

Setelah membaringkan Luki dan Luka ke tempat tidur, aku keluar kamar dan menuju ke halaman belakang.

Ada tanaman yang mati dan yang tumbuh tidak terkendali di sana situ. Kelihatan tidak terawat. Sepertinya mereka hanya menyiraminya dengan air.

"..." Mereka sama sekali tidak kelihatan peduli. Lalu kenapa mereka memutuskan untuk menanamnya dari awal? Aku bisa menduga bahwa tanaman-tanaman hias di sini adalah milik almarhum ibunya.

Dengan udara dingin malam menyentuh wajahku, aku mengingat kembali prioritasku.

Aku mencari alasan apa yang sampai menyebabkan keluargaku tidur di rumah orang lain.

Ibuku memberi tahu aku bahwa ibuku telah jatuh cinta terhadap seorang laki-laki. Tentunya aku penasaran. Aku tidak ingin menghakimi laki-laki itu langsung karena aku belum pernah bertemu dengannya, makanya aku berencana memastikan laki-laki ini dengan mata kepalaku sendiri. Dan kelihatannya, makan malam bersama adalah kesempatan emas.

Aku bersyukur ibu tahu apa yang kupikirkan. Dan daripada mengutamakan keinginannya sendiri, dia terlebih dahulu memastikan bahwa kita, anak-anaknya, tidak apa tentang semuanya ini. Sungguh... dia adalah ibu yang sangat perhatian.

Tapi siapa tahu ternyata laki-laki yang ibuku sukai adalah ayahnya...

Mengingatnya saja sudah membuatku pusing.

Ini di luar kendaliku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Aku tidak apa dengan ibuku jatuh cinta lagi... cuman saja... kenapa harus ada hubungannya dengannya?

Aku tidak akan heran jika ternyata semua ini adalah rencananya. Dia terlihat seperti orang yang akan melakukan hal seperti ini.

Kemudian aku teringat terhadap satu kejadian tertentu.

"Harrhhhnn..." Mengingat kekalahanku di rumah makan tadi membuatku marah. Apalagi ketika dia memanggilku "Ketua OSIS". Nadanya yang dia buat waktu itu membuatku jengkel.

Ada seseorang mendekatiku dari belakang. Itu tidak lain adalah ayah dari orang itu. Namun, aku tidak bersikap marah di depan ayahnya, sama sekali berbeda ketika dia mendekatiku.

Aku menegakkan tubuhku dengan maksud bersikap sopan berhadapan dengan orang dewasa.

Aku tidak dibutakan emosi sampai aku membenci ke orang yang tidak punya salah. Aku tahu dia adalah orang yang baik, tidak seperti anaknya yang jahat.

"Bisa... bicara sebentar?" Tanyanya dengan gugup.

"Ada apa?" Tanyaku kembali, memberikannya izin.

Aku tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Hanya... rasanya hatiku bertentangan. Aku tidak membencinya, tapi aku membenci anaknya. Rasanya betul-betul aneh.

Masalahnya bersumber dari anaknya itu. Dari siapa sifatnya itu diturunkan? Dia mencontoh siapa? Bagaimana bisa ayahnya yang biasa saja, punya anak seperti itu?

"Tentang anakku itu..."

"Kenapa dia?" Tanyaku kembali.

"Anakku itu nggak seperti itu..."

"He? Maksudnya...?" Aku dibuatnya bingung sampai suara bodoh keluar dari mulutku. Mau ngomong apa, sih?

"Dia nggak jahat seperti yang kamu kira. Hanya dia salah paham."

"..." Aku kehilangan kata-kata.

Kenapa dia bisa tahu apa yang kupikirkan?! Eh! Jadi ayahnya sendiri tahu sifat asli anaknya. Lalu kenapa...?

Sebelum aku selesai memproses kata-katanya, ayahnya mengabaikanku dan terus melanjutkan. "Tolong yang sabar dengannya."

Dengan suara yang lembut, kasih sayang seorang ayah kurasakan langsung.

"..." Kasih sayang tersebut membuatku tercengang.

Aku tidak akan seterkejut ini jika anaknya bukanlah dia.

Pastinya aku salah dengar, kalau tidak, dia yang salah bicara.

"Dulu aku nggak seperti ini." Dia tersenyum melihatku dan melanjutkan lagi. "Pernah aku jadi takut sama anakku sendiri. Menyedihkan, 'kan? Tapi ibunya... istriku nggak sepertiku. Dia menerima anak kita apa adanya. Dia mencintainya dengan segala-galanya... Tapi, semuanya ada akhir, nak."

"..." Aku mengatupkan mulutku lebih kuat lagi. Aku tahu apa yang menjadi takdir dari istrinya.

Tidak seperti keluargaku yang ditinggal bangsat itu, keluarga mereka adalah keluarga bahagia. Seandainya saja ibunya masih tetap hidup... apa dia tidak akan menjadi seperti ini?

Dalam hati, aku bersyukur karena aku masih memiliki ibu yang mengasihiku.

"Ketika harinya tiba, aku menangis meratap. Tapi dia nggak menangis. Nggak ada kesedihan di wajahnya- sedikit pun. Hanya kekosongan."

Berarti, dia masih belum tahu...

Seolah mendengar isi hatiku, ayahnya berkata lagi, "Bukan berarti dia nggak tahu. Dia bahkan nggak tanya, 'di mana ibu', atau ngomong yang lainnya. Waktu itu dia cuman diam saja. Dia hanya menerima kematian ibunya begitu saja, saat itu juga, detik itu juga."

"...Tapi itu justru membuktikan-" Kataku lemah.

Mendengar komentarku, ayahnya menggelengkan kepala. "Bukan gitu. Sejak kematian istriku, aku berusaha menghormati kematiannya dengan berusaha memahami anakku. Yang kutemukan... hanyalah kesalahpahamanku saja."

"Salah... paham?" Mendengar cerita tentang betapa dingin hatinya, tapi kemudian justru aku mendengar bahwa itu adalah kesalahpahaman, membuatku semakin heran dan bingung.

"Dia hanya kesulitan memahami orang lain."

Sekarang aku semakin dibuatnya bingung lagi.

Aku mengedipkan mataku berkali-kali sampai terlihat konyol.

Sulit? Sulit bagaimana?! Pertama kali aku melihatnya, dia selalu dikelilingi dengan orang-orang. Dia bisa memikat hati banyak orang gampang sekali. Apa itu 'kesulitan memahami'?! Justru itu malah menakutkan. Dengan hati sedingin itu, dia memanfaatkan orang lain tanpa rasa bersalah sedikit pun!

"Aku salah paham, dan dia juga salah paham tentang dirinya sendiri. Makanya dia kesulitan memahami orang lain. 'Kenapa aku harus menangis ketika ada orang yang meninggal', 'kenapa aku harus merasa bersalah ketika memukul seseorang', 'kenapa aku harus meminta maaf meskipun aku tidak salah'... dia kesusahan memahami itu semua."

"Makanya itu-"

"Makanya itu dia sangat berusaha memahami orang lain." Ayahnya menyelaku. "Dia ingin merasa sedih... Dia adalah anak yang baik sebenarnya. Dia sangat berputus asa, nak. Justru karena dia kesusahan merasakan, nggak ada orang lain di dunia ini yang lebih mengingini 'merasakan' selain dia... Berikan dia kesempatan."

"...." Aku tetap tidak bisa menerimanya. Bagaimana mungkin dia adalah anak yang baik?

Meskipun itu keluar dari mulut ayahnya sendiri- meskipun itu keluar dari mulut orang yang memahaminya, aku nggak akan bisa menerima kejahatan di dalam dirinya. Kalau apa yang aku tahu tentangnya itu adalah kesalahpahaman, terus apa itu kejahatan? Dia memanfaatkan orang lain dan berpura-pura berteman demi keuntungannya sendiri. Itu nggak bisa disebut dengan kata lain selain 'jahat'. Maka dari itu, aku menolak untuk memercayai ayahnya.

Selagi aku merenung, ayahnya sudah berjalan pergi.

Di saat yang sama, ada suara pintu terbuka. Kemudian suara gaduh lari terdengar. Detik berikutnya, kudengar suara keran terbuka kemudian air mengalir. Dia sedang mencuci tangan.

"Anak-anak di mana?" Tanyanya. Kelihatannya dia telah melihat bahwa adik-adikku sudah tidak ada di ruang tamu.

"Mereka tidur." Jawab ayahnya. Dari suara mereka berdua, sepertinya mereka ada di dapur.

"Es krimnya buat besok aja kalau gitu." Gumamnya. Dari pendengaranku, dia membuka kulkas dan menutupnya, terdengar juga suara gemeresik kantong plastik. "...Silvia di mana?"

"Di halaman belakang."

Mendengar pembicaraan mereka, aku tahu arah ke mana ini akan menuju. Aku memasang pertahananku sebelum dia sampai ke tempat di mana aku berdiri.

"Kalian mau kopi?" Ayahnya menawarkan kopi ke kita berdua dari dapur.

"Aku oke." Jawabnya.

"Kalau Silvia?" Tanya ayahnya kepadaku dari jauh.

"...Aku nggak!" Aku berteriak kembali supaya ayahnya dapat mendengar.

Tidak lama kemudian, aku mendengar suara melangkah mendekat.

Yang mendekatiku adalah dia. Aku menengok untuk melihat wajahnya.

Sebuah senyuman selalu terpasang di wajahnya. Senyumannya begitu sempurna sampai aku merasa merinding melihatnya.

Dengan kepalsuan yang sempurna inilah dia berhasil memikat hati semua orang. Kecuali aku tentunya. Aku tidak akan dibodohi semudah itu.

"Permisi..."

"Apa?" Suaraku kubuat kasar untuk mengingatkannya bahwa aku masih belum mengubah kesanku tentangnya.

"..." Dia hanya tersenyum masam terhadap ketidakramahanku. "Ketos- erm, rasanya nggak enak pake panggilan itu di rumah..."

"..." Dengan perkataan itu dan sikapnya yang canggung, mana mungkin aku tidak tahu apa yang dia maksudkan? "Silvia."

"He?"

"Silvia; di rumah. Tapi di sekolah; ketos aja." Sekali lagi dengan kasar aku membuat garis di antara kami berdua. Aku harus menegaskan kembali diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah jatuh dalam permainan aktingnya.

Coba aja kamu sok nggak bersalah! Coba itu ratusan kali, aku nggak akan bimbang.

Aku menunjukkannya tatapan tajam untuk memberitahunya posisi di mana aku berdiri.

Tiba-tiba, kedua matanya menyipit, seolah seekor predator sedang melihat mangsanya.

"Ibumu menikah lagi, gimana menurutmu?" Suaranya datar, tanpa nada naik ataupun turun.

"!" Pundakku meloncat. Suaranya sangat berbeda sekali dibandingkan suara ceria beberapa detik yang lalu.

Aku tidak tahu maksud darinya bertanya itu sama sekali. Jujur saja, aku takut. Aku takut akan apa yang sedang dia rencanakan. Apa dia akan memisahkanku dari adik-adikku? Apa dia akan membuat ibuku membenciku? Apa dia akan menyingkirkan aku dari tempat ini?

Ditambahkan dengan ekspresinya dan pertanyaan itu, aku bisa merasakan bulu di leher dan tanganku berdiri tegak.

Baru itu aku sadar betapa tidak berdayanya aku ketika aku sedang berhadapan dengannya.

Di mata ibuku dan adik-adikku, semua tentang dirinya adalah positif. Bahkan ayahnya yang telah tahu sifat aslinya pun, ikut membelanya. Tidak ada dari mereka yang mencurigai sifat aslinya. Mereka semua telah dibodohi olehnya.

Sebuah pikiran terlintas di kepalaku: seharusnya aku tidak memusuhinya.

Hanya dari keberadaannya dan satu pertanyaan saja membuatku takut seperti ini...

"..." Aku menutup mata dan mengambil nafas panjang dalam hati.

Kalau aku pikir baik-baik, apa sih yang bisa dia dapatkan dari pertanyaan itu? Nggak ada yang berguna, 'kan...?

Ketika aku membuka mataku lagi, tatapannya terpaku di wajahku.

"!" Aku tersendat lagi.

Aku baru saja menenangkan diriku sendiri, dan dia telah membuatku meloncat lagi. Aku menjadi takut akan kemungkinan bahwa selama ini dia bisa membaca isi hatiku.

"..." Dia tidak mengatakan apa pun selama ini, menungguku menjawab dengan diam.

Aku sungguh tidak tahu apa yang dia pikirkan dan rencanakan dari wajahnya itu. Ketidaktahuan ini membuatku semakin takut.

Aku menutup mataku lagi, berpura-pura sedang kesusahan memikirkan jawaban.

Semakin lama aku tidak berkata apa pun, semakin lebih jelas aku dapat dibaca dari ekspresi wajahku.

Aku bisa merasakan sepasang mata sedang melihat tembus hatiku meskipun aku sedang menutup mataku.

Akhirnya, aku mengumpulkan segala keberanianku untuk membuka mulutku. "...Dari dulu, ibuku nggak pernah berhenti ngomel dan ngejek ayah bangsat itu. Ibu dari dulu selalu aja ngomong 'jangan dibodohi sama laki-laki kayak ayahmu!'. Sudah kelihatan jelas ibu masih sakit hati... Terus ibu ketemu ayahmu. Ibu mulai berdandan lagi, milih baju-baju yang lebih bagus, dan berhenti mengatai ayah bangsat itu. Makanya, aku nggak akan seegois itu. Memangnya kalau aku nentang, apa bisa aku membuat ibu bahagia? Nanti ibuku jadi depresi lagi..." Ini adalah perasaanku sesungguhnya. Aku masih ingat kemarahanku waktu ayah bangsat itu meninggalkan ibu.

Aku memutuskan untuk memberitahunya seluruh ceritaku. Tadi, setelah memikirkan lama, aku tidak bisa lihat bagaimana dia akan menggunakan jawaban dari pertanyaannya itu untuk menjatuhkanku. Jadi, aku memutuskan untuk memberitahunya begitu saja... dan matanya membuatku percaya bahwa dia bisa melihat tembus semua kebohongan apa pun. Tentunya itu adalah perasaanku saja... tapi tetap saja aku tidak bisa menghapuskan perasaan itu begitu saja.

Dengan mengatakan berkali-kali dalam hati bahwa tidak ada yang bisa didapat dengan pertanyaan itu, aku sendiri tidak sadar bahwa aku telah memaksakan diriku sendiri untuk mengarang sebuah jawaban dari kebingunganku: "tidak ada maksud apa pun" itulah maksud dari pertanyaannya... supaya aku tidak menjadi takut.

"He..." Dia mengeluarkan suara kagum... tapi wajahnya datar sekali. Dia terlihat mengejekku, tapi aku tidak tahu apa itu disengaja atau tidak disengaja.

Kalau begini, ini sudah sama seperti aku memberikannya jawaban... -bahkan! Bahkan, aku yakin dia sendiri sudah tahu dari awal apa yang sedang kurasakan. Lalu apa gunanya dia bertanya?!

Aku menelan ludahku untuk menghilangkan ketakutanku.

"...Kamu sendiri nggak apa? Ayahmu mungkin menikah lagi." Aku berbicara cukup pelan supaya ayahnya yang ada di dapur tidak dapat mendengar. Aku menanyakan pendapatnya untuk mengukur maksud dan rencananya.

"Nggak apa. Memang sudah saatnya. Ayahku sudah sangat bekerja keras dengan menahan kesedihannya sendiri. Sudah saatnya dia melewati duka tersebut." Dia menjawab sambil melihat ke taman dengan tanaman yang tidak terawat. Akhirnya, aku tidak ada di pandangan matanya.

Aku agak terkejut mendengar jawaban sungguhan darinya.

Apa mungkin benar kata ayahnya?

Pikiran itu terlintas di kepalaku, tapi aku langsung menggoyangkan hilang pikiran itu.

"..." Aku memperhatikan ekspresi wajahnya untuk mendapatkan satu atau dua petunjuk.

Dia sama sekali tidak berusaha tersenyum atau ceria, berbeda sekali ketika berada di sekolah, di rumah makan tadi, ataupun di ruang tamu tadi.

Apa dia sudah menyerah?

Aku tahu sendiri betapa terkejutnya aku ketika mendengar akan ada kemungkinan bahwa dia akan menjadi saudara tiriku. Bukan berarti kekejutan itu sampai membuatku putus asa atau stres. Aku tahu prioritasku. Aku hanya perlu tahu bahwa aku harus melindungi keluargaku dari cengkeraman dan kebohongannya.

Tapi, dia tidak kelihatan sedang berusaha menyembunyikan apa pun dariku. Apa mungkin dia sudah menyerah terlebih dulu? Nggak mungkin, 'kan?

Dia akan tersenyum di hadapan keluargaku dan bahkan ayahnya sendiri. Tapi di hadapanku sekarang, dia tidak menyembunyikan apa-apa.

Ketika aku melihat wajah dan sikapnya yang tidak menyembunyikan apa pun, aku dibuatnya semakin percaya bahwa dia betul-betul sudah menyerah.

Apa ini semacam jebakan?

"Kalau misalnya bukan kamu yang jadi... yang jadi saudara tiriku, mungkin aku bisa menerima." Aku mencoba memancing pikirannya sekali lagi. Aku merasa merinding sendiri ketika menyebutnya saudara tiriku. Menyebutkan itu membuatku menghadap terhadap kenyataan.

"Ya, maaf." Katanya datar dengan nada acuh tak acuh. Dia mengucapkan maaf meskipun kita berdua tahu bahwa dia tidak punya salah.

Kata maaf yang diucapkan tanpa nada bercanda atau ketulusan sedikit pun membuatku tersentak.

"A-" Sebelum aku sempat mengeluhkan apa pun tentang ketidaktulusannya, aku dihentikan oleh suara ayahnya.

"Kopinya sudah jadi!" Teriak ayahnya tiba-tiba dari dapur.

Ini... Itu muncul. Aku melihat "itu" dari dekat dan dengan mata kepalaku sendiri. "Itu" adalah bukti bahwa aku benar selama ini. Sebuah senyuman.

"Ya!" Jawabnya dengan suara ceria dan tersenyum.

Itu membuatku merinding. Justru karena ini aku harus melindungi keluargaku.

Kekosongan yang mengalir di wajahnya sedetik yang lalu tidak terlihat lagi.

Tapi itu tidak mengejutkan. Untuk menentukan seberapa psikopat seseorang; bukan melalui seberapa cepat mereka mengungkapkan kekosongan mereka, tetapi dengan seberapa cepat menyembunyikannya.

Bagaimana bisa seorang manusia berbohong begitu mudahnya...?

Jadi begitu... Kalau aku lihat situasi ini dengan baik-baik, meskipun aku tahu dirinya yang sebenarnya, siapa yang akan memercayaiku? Aku bisa berusaha mengambil bukti, tapi apa dia akan membiarkanku mengambil bukti semudah itu? Dan siapa yang akan peduli? Dia memiliki dukungan dan kepercayaan di sekolah maupun di rumah, siapa yang mau mendengar perkataanku?

Menyadari begitu, punggungku dibasahi keringat dingin.

Dia tidak lagi menyembunyikan sifat aslinya di hadapanku bukan karena dia telah menyerah... tetapi karena dia tidak menganggapku sebagai musuh yang perlu dihadapi.