Hujan benar-benar turun. Bahkan cukup deras. Tadi selesai makan aku segera bergabung dengan Reese dan Matt di dapur. Tadinya kukira mereka di dapur, tapi ternyata bukan. Billy bilang kaki Matt tersandung rak di sebelah pintu masuk gudang utama, hasilnya dia terjatuh dengan posisi memeluk satu karung penuh kentang. Untung saja kakinya tidak terkilir atau cedera parah lainnya. Kentang juga aman, tidak ada yang keluar dari karung ataupun hancur. Butuh tidak lebih dari tiga puluh dua menit untuk memasukkan semua karung berisi kentang, sekaligus melakukan inventoris menyeluruh untuk semua bahan yang ada di gudang utama termasuk ruangan pendingin.
Aku baru saja meletakkan lembar inventoris gudang hari ini di meja Manager ketika pintu depan terbuka. Seorang gadis muda dengan rambut setengah basah masuk, dan langsung mengambil tempat duduk di meja sebelah barat. Ya, meja yang sama dengan yang tadi aku pakai untuk makan.
"Biar aku saja." ucapku kepada Matt ketika dia hendak mengambil daftar menu.
Matt mengangguk. Syukurlah. Aku tidak ingin siapapun disini melihat Gaby dari jarak dekat. Tadi sekilas aku bisa melihat matanya yang bengkak. Aku menghela napas. Dia pasti bisa melalui semua ini.
"Selamat datang di Rocky's Burger. Silakan memilih menu yang anda inginkan." aku menyapa Gaby, teman sekelasku dengan standar formal Rocky's. Bagaimanapun saat ini dia datang sebagai pelanggan. Dan aku wajib memberi pelayanan sebaik mungkin.
"Oh. Hai Hannah. Aku pesan Chicken Burger dan dua gelas Soda." ucapnya setelah mendongak melihatku.
Dengan sigap aku menulis pesanannya.
"Kau mau mencoba Apple Crisp kami? Hari ini gratis untuk setiap pembelian Chicken Burger. Khusus makan di tempat pastinya." aku menawari Gaby salah satu dessert andalan kami.
"Begitu ya? Tentu aku mau."
"Ada lagi yang kau pesan?"
Gaby menggeleng pelan.
"Itu saja. Terima kasih." jawabnya singkat.
"Tentu. Aku akan mengantar pesananmu setelah siap." jawabku sesingkat mungkin tapi tetap berusaha hangat.
Gaby tersenyum kepadaku. Senyum tipis, tapi tulus. Aku segera pergi ke kasir dan menyerahkan lembar menu Gaby kepada Reese.
"Tagihkan Apple Crisp ke daftar bon ku bulan ini." aku merendahkan suara sedikit kepada Reese.
"Tentu saja. Kau kenal gadis itu rupanya." jawab Reese
"Kami satu kelas. Tadi siang aku tidak melihat dia di kantin sekolah, jadi, well.." aku berusaha menjawab se kasual mungkin.
"Dia sepertinya murung." Reese mengamati Gaby.
"Ada beberapa hal yang harus dia kerjakan." Aku tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan kondisi Gaby tanpa perlu mengungkit terlalu jelas.
Tampaknya Reese cukup paham dengan maksudku. Dia tersenyum sambil menunjukkan daftar bon milikku yang sudah bertambah satu porsi apple crisp.
"Terima kasih, Reese." aku bersungguh-sungguh. Bukan hanya atas kerja samanya tapi juga sikapnya yang pengertian.
"Tentu, Nak." jawabnya singkat karena dua orang pelanggan baru masuk ke dalam restoran.
Aku kembali fokus dengan pekerjaanku. Ketika melihat Matt tengah membereskan meja-meja yang kotor, dalam hati bersyukur bukan dia yang melayani Gaby tadi. Seragam kerja kami agak sedikit konyol di bagian name tag karyawan. Pin berukuran hampir sebesar roti tawar yang digantung di bagian pinggang, dan embos nama kami tertera jelas dengan huruf kapital berwarna kuning mencolok. Aku tidak berani membayangkan bagaimana reaksi Gaby kalau dia membaca nama karyawan junior kami sama dengan nama mantan kekasihnya yang brengsek itu. Hah. Sambil mulai mengerjakan cucian peralatan makan, tanpa sadar aku mengutuk si Tolol bernama Matt (mantannya Gaby) agar tersambar petir.
________________________
Aku tengah memakai jaket ketika layar ponsel milikku menyala. Tampak nama Brenda di layar, saat akan menyentuh tombol "terima" tiba-tiba ponselku mati. Sial. Aku lupa tidak mengisi ulang daya baterei seharian ini. Sambil menimbang-nimbang, aku menggantung seragam Rocky's di dalam loker, dan beranjak pergi. Mungkin sebaiknya aku langsung ke rumah Brenda, dan mengecek keadaannya. Reese masih disini, duduk di salah satu meja dengan beberapa berkas tampak agak berserakan.
"Kau yakin tidak mau aku temani dulu, Reese?" tanyaku
Dia mendongak, tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku.
"Pulanglah, aku hanya akan menyelesaikan daftar pengeluaran dan langsung pulang."
Aku mengangguk, pikiranku kembali melayang ke Brenda.
"Baiklah, sampai ketemu besok." Kataku seraya beranjak pergi.
"Hati-hati." serunya.
Begitu berada diluar restoran udara dingin menyambutku. Daripada mengambil resiko terkena flu, aku melilitkan syal berbahan tipis panjang yang akhir-akhir ini selalu rutin aku bawa di dalam tas. Aku berjalan pelan ke arah utara, halte bus terdekat. Butuh perjalanan kurang lebih 30 menit untuk bisa sampai ke tempat Brenda. Angin dingin kembali bertiup. Aku refleks memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Mencari kehangatan. Ketika sampai di halte ternyata aku tidak sendirian. Ada dua orang lain yang juga tengah menunggu bus. Tidak sampai lima menit bus yang aku tunggu sudah datang. Aku memasukkan koin, kemudian segera duduk di kursi dekat pintu. Kebetulan juga masih kosong. Sekilas tadi aku melihat seseorang yang tampak familiar. Karena penasaran aku menoleh kebelakang. Dan benar saja. Gaby, duduk di kursi paling belakang. Headset terpasang di telinganya dan pandangannya fokus ke luar jendela. Dia tidak menyadari keberadaanku sama sekali. Matanya masih terlihat sembab. Jejak-jejak kesedihan terpampang jelas dari ekspresi wajahnya. Aku mengalihkan pandangan, kembali duduk menghadap ke depan. Kenapa dia masih berkeliaran diluar, di cuaca seburuk ini. Apa tidak apa-apa kalau aku biarkan. Atau haruskah aku menemaninya. Aku menggeleng. Lebih baik aku biarkan saja dulu dia menyendiri. Kadang ada kalanya aku hanya ingin dibiarkan sendiri. Benar-benar sendiri. Tapi seringnya orang-orang disekitarku berpikir bahwa aku butuh didampingi oleh orang lain. Kelewat peduli. Dan itu menyebalkan.
Ckittt!!
Tubuhku terpelanting ke depan, kepalaku membentur sesuatu yang keras dan dingin. Aku tidak bisa memastikan apa itu, karena seketika tubuhku kembali terpental. Kali ini aku sempat melindungi kepalaku dengan kedua lengan menyatu menutupi wajah. Seperti petinju profesional dalam posisi bertahan dari serangan lawan yang bertubi-tubi.
Aku mendengar teriakan orang-orang di sekitarku. Bahkan aku ingat ada anak kecil yang tadi duduk di deretan kursi disampingku bersama Ibunya.
Pranggg!!!
Suara kaca yang pecah memekakkan telinga. Tubuhku sudah berhenti terpental kesana kemari. Aku akhirnya memberanikan diri membuka mata. Dan pemandangan yang aku lihat benar-benar mengerikan. Tidak pernah, sekalipun dalam mimpi terliarku, aku membayangkan diriku mengalami kecelakaan lalu lintas separah ini. Bus yang kami tumpangi tiba-tiba kehilangan kendali, berguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti dalam posisi terbalik.
Aku mencoba menggerakkan lengan kananku tapi mengerang, rasa sakit luar biasa tiba-tiba menyerangku. Dengan susah payah aku melihat pecahan kaca sebesar ukuran ponsel menancap di bagian bisep. Perlahan aku mengulurkan tangan kiriku kearah pecahan kaca tersebut. Aku menaksir pendarahan yang kualami saat ini. Tidak apa-apa. Aku memang terluka tapi ini tidak mematikan. Meskipun tetap saja rasa sakitnya tidak bisa dianggap remeh. Aku memegang kuat-kuat pecahan kaca tersebut dan dalam hitungan ketiga aku mencabutnya kasar dari lenganku.
"Argghh!" erangku mencoba menahan perih luar biasa dari luka yang menganga.
Aku bernapas dengan keras. Gelagapan, berusaha mati-matian menahan rasa sakit yang kini setelah aku benar-benar sadar dari syok yang kualami, terasa di seluruh bagian tubuhku. Aku menarik tubuhku hingga ke posisi telentang. Dan baru kusadari perutku terluka. Aku tidak tahu apa namanya, tapi potongan besi menancap di bagian lambung. Tidak bisa. Yang ini tidak bisa aku cabut. Dengan susah payah aku mencoba menekan dibagian yang tertusuk, dengan kedua tangan kuposisikan sedemikian rupa hingga tampak seperti mengelilingi besi yang menancap. Aku tidak tahu hingga berapa lama tapi sebisa mungkin aku berusaha memperlambat pendarahan yang kualami. Seseorang di luar sana pasti sudah menghubungi 911. Pertolongan sedang menuju kesini. Selain rasa sakit, aku mulai merasa lelah. Bahkan untuk bernapas pun aku merasa kepayahan. Aku menoleh ke arah Gaby. Apakah dia sadar seperti aku. Atau pingsan. Gaby tidak bergerak sama sekali. Ada luka panjang di bagian pelipisnya. Tapi darah yang keluar sangat sedikit untuk ukuran luka di bagian kepala. Seketika aku panik. Dia harus segera ditolong. Pendarahan dalam di bagian otak. Itu jauh lebih berbahaya daripada darah yang mengucur deras keluar. Aku mencari-cari ke berbagai arah. Seseorang. Tidak adakah yang cukup berani untuk mencoba masuk dan menolong korban kecelakaan yang terjebak di dalam bus ini.
Ctakkk!
Suara itu mengejutkanku.
Ctakk!
Ctakk!
Suara yang sama berulang-ulang hingga aku mencium bau menyengat bensin. Aneh. Tadi aku sama sekali tidak mencium bau selain anyir darah. Kenapa tiba-tiba muncul....
Pertanyaanku bahkan belum selesai tapi sudah muncul jawaban. Asap bermunculan, menyelubungi kami semua. Sopir bus terdengar mengerang. Aku kembali menengok ke arah Gaby. Lalu terdengar suara kaca pecah. Dan kemudian aku melihat Sopir bus dibopong keluar dengan susah payah. Bagus. Asap mengepul semakin tebal dan aku hampir tidak bisa bernapas normal. Aku terbatuk-batuk, mengakibatkan luka tusuk di perutku bertambah sakit hingga beberapa kali lipat. Tiba-tiba aku merasakan lenganku disentuh. Aku mengerang.
"Yang ini masih sadar! Posisi di dekat pintu." Dia berteriak kepada orang yang berada di luar bus.
Saat hendak mengangkatku, kucengkeram kerah lehernya.
"Tidak! Keluarkan dia dulu." Aku berusaha mengatakannya sekeras mungkin, mengatasi keadaan yang mulai bising dengan suara-suara di sekitar bus.
"Nona. Aku akan menolongmu terlebih dahulu." Dia bersikeras.
Aku menggeleng. Menguatkan cengkeramanlu di kerahnya. Dan memaksanya sebisa yang aku mampu untuk melihat ke arah Gaby tergeletak. Kursi paling belakang.
"Dia pendarahan dalam. Harus segera ditolong."
Pria itu tampak ragu-ragu. Asap semakin menebal. Dan aku dilanda kepanikan.
"Selamatkan temanku. Kumohon." Aku tidak tahu lagi harus berkata apa supaya dia mau menuruti kata-kataku.
Pria itu menatapku. Akhirnya mengangguk. Aku melepaskan tanganku dari bajunya. Tubuhku seketika melemah.
"Baiklah. Aku akan segera kembali." Ucapnya dan mulai berjalan ke arah Gaby.
Aku memaksakan diri menoleh mengamatinya. Ketika dia memutar tubuh Gaby aku melihat lengannya tertekuk dengan posisi yang menakutkan. Aku meringis melihat pria itu tampak bingung harus bagaimana. Akhirnya dia memutuskan untuk membopong Gaby sebisanya. Setidaknya Gaby bisa segera keluar dari sini.
Jaraknya baru beberapa detik. Tapi suara ledakan terdengar. Dan kini bukan hanya asap. Melainkan api. Ya, api sungguhan. Yang mengelilingi tubuhku. Aku berteriak kesakitan. Nyeri, perih, panas, segala macam kata yang bisa terpikirkan olehku untuk menjelasakan apa yang kurasakan saat ini. Aku bahkan sudah lupa dengan anak kecil dan Ibunya yang masih terjebak disini sama seperti aku. Bedanya, mereka berdua sama sekali tidak sadar. Tidak seperti aku yang sadar penuh akan siksaan dari kobaran api.
Aku tidak pernah mengira akan seperti ini. Terbakar hidup-hidup. Pikiranku melayang ke waktu satu tahun yang lalu. Hari dimana kedua Orang Tuaku meninggal karena kecelakaan mobil.
Duarrr!
_____________________
Bus akhirnya meledak. Menambah ganas kobaran api yang tengah melalap setiap jengkal bagian dari bus tersebut. Orang-orang yang melihat langsung kejadian merasa takut. Perlahan mundur ke arah yang aman dari kobaran api. Tidak jauh dari bus yang terbakar hebat, sebuah sedan sport berwarna kuning terang tampak dalam posisi terbalik. Dan bahkan api juga tengah berkobar di seluruh bagian mobil.