Jalanan batu tua di sepanjang Cockburn Street masih basah, efek dari hujan yang setia mengguyur kota Edinburgh sepanjang malam kemarin. Kami saat ini tengah berjalan kaki di salah satu distrik kuno paling terkenal di seluruh kota. Alex cukup bersemangat memberi penjelasan mengenai setiap toko ataupun restoran yang kami lewati di sepanjang perjalanan. Aku mendengarkan setiap detail penjelasan yang dia berikan dengan senang hati, mau tidak mau aku tidak bisa mengenyahkan rasa penasaran yang tumbuh di dalam diriku. Saat ini kami seolah tampak seperti sepasang turis dan pemandu lokal. Bibirku membentuk senyuman tipis, kalau dipikirkan dari segi hiburan, keadaanku saat ini bisa dibilang sangat beruntung. Seolah aku sudah menenggak sebotol penuh Liquid Luck.
"Ahh, ini adalah cafe favoritku. Aku bukan penggemar minuman kopi, tapi Latte disini benar-benar lezat."
Alex berhenti sejenak untuk memandang bangunan di depan kami, dindingnya dicat dengan warna biru malam.
Aku membaca tulisan yang terpampang jelas di atas bordes pintu masuk. The Crescent. Sangat klasik. Kuamati bangunan cafe yang terdiri dari dua lantai, dengan lantai satu yang bahkan membuka bagian teras untuk area pelanggan. Saat ini jam dua siang, baik lantai satu maupun dua semuanya terlihat penuh pengunjung yang tengah menikmati pesanan mereka. Aku bisa dibilang sangat penasaran, apakah Jossie suka kopi. Karena aku pribadi adalah penggila minuman yang satu ini. Tidak ada satu haripun yang lewat tanpa aku memulainya dengan segelas es americano yang menyegarkan.
"Dan.....disini pula aku putus dengan, well, kau tahu." Alex meneruskan.
Seketika aku menoleh ke arahnya, tapi dengan cepat Alex berhasil mengubah ekspresi wajahnya. Sekilas, benar-benar hanya sekilas, tadi aku sempat melihat raut kesedihan terpampang jelas di seluruh wajahnya. Dadaku terasa nyeri dengan tusukan empati, kutepuk pelan punggungnya untuk memberikan sedikit semangat.
"Ayo. Jangan buat yang lain menunggu." Alex berkata seraya membimbingku berjalan menjauh dari Cafe The Crescent.
Hari ketika aku mengunjungi Cyllene Store, aku mencoba memastikan fakta melalui Alex bahwa keberadaanku di toko tersebut benar-benar melampaui ruang dan waktu. Alex sangat yakin kalau aku sama sekali tidak menghilang kemanapun. Dia ingat betul bahwa dia baru saja melihat salah satu judul majalah tentang Arkeologi yang sangat menarik perhatiannya dan baru akan mengambilnya ketika aku datang menghampiri dia.
"Tidak ada dua detik." ujar Alex saat itu dengan sangat yakin.
Aku mendesah pelan. Mengingat-ingat kembali bagaimana perjalanan pulang kami setelahnya. Aku tidak begitu yakin dengan tampangku waktu itu, mungkin terlihat menyedihkan hingga Alex terus-menerus mencoba membunuh diamku dengan berbagai macam bahan obrolan. Usahanya tidak sia-sia karena aku kembali bertanya mengenai pengalaman hubungan romantis yang dia miliki. Awalnya Alex hanya tersenyum simpul. Tapi kemudian dia benar-benar menceritakan semuanya. Sangat gamblang. Bagaimana dia mulai menaruh perhatian kepada seorang gadis, yang adalah teman sekolah kami di tahun yang sama. Namanya Brianna Elkin. Rambut merah panjang, mata berwarna biru dan kalau mendengar dari cerita Alex sepertinya sosok yang cukup populer di Sekolah. Mereka mulai berpacaran di awal tahun ajaran baru kemarin. Dan putus saat hubungan tersebut sudah berjalan hampir setahun. Aku hendak menanyakan detailnya, tapi kutahan. Anehnya, Alex sendiri yang justru memberikan cerita detail bagaimana hubungan mereka akhirnya selesai. Mulutku sampai menganga lebar saking terkejut, ketika Alex menjelaskan alasan mereka akhirnya putus. Brianna Elkin, dia cemburu. Padaku. Well, secara teknis pada Jossie.
Karena adiknya yang terbaring lemah di rumah sakit, dan parahnya lagi bahkan menderita amnesia, Alex sibuk mencurahkan semua pikiran dan tenaganya di rumah sakit. Dia sama sekali tidak peduli dengan hal yang lain. Bahkan ponselnya sendiri sampai kehabisan daya baterei dan Alex sama sekali tidak sadar. Elkin datang ke rumah sakit, begitu keduanya bertemu dia tidak segan-segan meneriakkan seluruh amarahnya kepada Alex di depan banyak orang. Orang Tua kami sampai keluar dari kamar pasienku karena mendengar kehebohan yang dia ciptakan. Aku bukanlah orang jahat. Setidaknya menurut pengamatanku sendiri selama ini. Tapi jujur, aku benar-benar bersyukur Alex terlepas dari Brianna Elkin. Meskipun akulah penyebabnya. Aku meringis memikirkan hal tersebut. Pria ini, Kakak Jossie, dia berhak bersama dengan seseorang yang jauh lebih baik. Diam-diam aku bertanya dalam hati apa mungkin Jossie juga sependapat denganku mengenai kisah romansa Kakaknya.
Nama Jossie yang muncul di kepalaku membawa kembali ingatan kejam akan hari itu.
Karena sudah mendapatkan konfirmasi akan kejujuran Mr. Curio, aku terhenyak memikirkan nasib tragis yang menimpaku dan Jossie. Dengan kesadaran penuh akan semua yang aku alami kemarin benar-benar nyata. Solid. Ini membawaku kembali kepada satu fakta krusial.
Jossie sudah pergi.
Pergi, dan tidak akan pernah kembali.
Semalaman penuh aku terus terbangun dengan ingatan akan tubuhnya yang melayang-layang di hadapanku. Selama ini aku terus berpikir bahwa dia masih hidup, di suatu tempat, dan aku hanya harus menemukan cara untuk membawa Jossie kembali ke tubuh ini. Dengan begitu masalah langsung beres. Aku? Sudah pasti aku akan mati. Tubuhku sudah hangus terbakar di dalam kecelakaan bus malam itu. Dan aku sama sekali tidak keberatan. Aku sudah sangat sadar dan bisa menerima kenyataan bahwa aku tidak akan bisa kembali lagi ke tubuh asliku, tapi tidak seperti ini. Dalam pikiranku selama ini aku akan langsung mati. Aku yang akan pergi. Bukan Jossie.
Dan sekarang semuanya serba terbalik.
Aku menghela napas kasar. Cukup keras hingga membuatku sangat yakin kalau tadi Alex sempat melirik ke arahku. Mungkin untuk memastikan bahwa aku tidak sedang menahan sakit kepala atau apapun sejenisnya.
Jalanan yang kami lewati mulai menurun, saat mendekati bangunan yang ternyata adalah toko mainan, Alex menarik lenganku perlahan ke arah restoran di depan toko tersebut.
La Bosa Ristorante.
Begitu masuk ke dalamnya, aku menatap dengan takjub pemandangan di depanku. Restoran ini penuh pengunjung, dengan meja-meja berbentuk segi empat yang dilapisi kain taplak bermotif kotak-kotak warna merah dan putih. Dinding batu bata yang dibiarkan terekspos membuat suasana di dalamnya terasa seperti berada di desa. Aku bersiul pelan, tempat ini pasti legit. Aku menatap Alex yang kali ini dengan mantap menggandeng tanganku untuk kembali mengikutinya berjalan semakin masuk ke dalam restoran. Aku memperhatikan kami menuju ke arah tangga yang naik ke lantai atas. Alisku bertaut, kemarin dia bilang kalau ini restoran langganan kami sejak kecil dan ada satu meja tertentu yang selalu jadi tempat favorit kami ketika makan disini. Kami terus menaiki tangga batu yang berbelok cukup tajam ke kanan, hingga akhirnya tiba di lantai dua. Meskipun bangunan ini sama kunonya dengan hampir semua bangunan lain di sepanjang Cockburn Street, tapi aku senang melihat sedikit sentuhan abad dua puluh satu di bagian dinding balkon yang seluruhnya terbuat dari kaca. Membuat ruangan ini menerima jumlah cahaya yang cukup untuk menghapus kesuraman dari masa lampau. Aku tidak bisa berlama-lama menikmati kekagumanku terhadap detail interiornya karena Alex kembali menuntunku ke arah yang hanya Tuhan yang tahu.
Di satu meja yang terletak paling jauh dari tangga, tepat di samping dinding kaca balkon, tengah duduk dua orang. Begitu melihat kedatanganku dan Alex, aku memperhatikan keduanya langsung duduk dengan punggung tegak. Mungkin terlalu tegak.
Ini dia.
Semalam aku sudah mengambil keputusan. Toh sekarang aku benar-benar terjebak disini. Jadi tidak ada gunanya mengulur waktu lebih lama lagi.
Kami sampai di depan meja mereka. Bohong kalau aku bilang bahwa aku tidak gugup. Hell, telapak tanganku kini terasa sangat licin karena basah oleh keringat. Alex pasti bisa merasakan perubahan yang terjadi padaku karena dia meremas lembut tanganku yang masih digenggamnya dengan erat. Aku menelan ludah dengan susah payah.
"Hei guys, maaf menunggu lama." Alex memulai percakapan.
Salah satu dari mereka, seorang remaja pria yang seumuran dengan kami, tersenyum sambil mengangguk pelan ke arahku.
Aku ulangi. Dia tersenyum padaku.
"Kukira justru kami yang datang terlalu awal." Ucapnya sambil menyenggol pelan siku teman yang duduk di sebelahnya.
Temannya, gadis asia berkacamata yang menurutku parasnya sangat cantik, hanya diam dan menatap lurus kearahku. Dia tampak, sedih? Kurasa. Aku tidak tahan dengan pandangan matanya yang menatapku seperti itu, karenanya aku kembali menatap si teman pria.
"Jossie, ini Josh dan Jieun. Umm, teman baikmu." Alex menyebutkan nama mereka berdua. Dia tidak bisa menahan dirinya sendiri untuk meringis begitu ucapannya selesai.
Yah, tidak bisa disalahkan. Aku pun juga pasti akan merasakan keabsurdan yang sama dengan situasi kami saat ini. Bayangkan, diperkenalkan kembali oleh Kakak kembarmu kepada sahabatmu sendiri. Penghargaan untuk Lelucon abad ini sudah pasti jatuh kepadaku. Sensasional.
Alex menarik salah satu kursi yang langsung aku duduki. Akhirnga kami berempat menempati kursi masing-masing, well aku berhadapan dengan Jieun. Benar-benar canggung.
"Hai, well aku tidak tahu harus mulai dari mana." Aku mencoba memulai percakapan.
Jieun berhenti menatapku, kini dia mengambil buku menu yang sedari tadi terletak di ujung mejanya.
"Bagaimana kalau kita makan dulu? Supaya tidak terlalu canggung." Ujarnya sambil mulai meneliti berbagai menu.
Aku tersenyum. Kami semua setuju dengan idenya. Makanan, terlebih lagi makanan yang lezat akan bisa membantu percakapan kami mengalir dengan lebih nyaman.
"Biasanya kau selalu pesan pasta kalau disini. Kau sangat menyukainya." Kali ini Josh yang berbicara padaku.
Jieun dan Alex sama-sama mengangguk setuju.
"Itu benar, kau mau makan pasta? Atau mungkin mencoba yang lain?" Tanya Jieun.
Aku berpikir sejenak.
"Tentu, aku suka pasta." Jawabku. Dan itu benar. Pasta juga adalah salah satu favoritku.
"Bagaimana kalau Amatriciana? itu favoritmu yang nomor satu." Jieun bertanya kembali kali ini sambil menatapku.
Aku langsung setuju.
Setelah menetapkan pilihan menu makan siang masing-masing, kami kembali melanjutkan obrolan sebelumnya. Perlahan rasa gugup yang tadi sempat menguasaiku berangsur-angsur reda, hingga akhirnya benar-benar menghilang dengan kedatangan makanan kami di atas meja. Aku sangat benar akan satu hal. Tempat ini benar-benar legit. Dan makanannya sangat lezat.