Mbeeekk
Mbeekkkk
Aku tersenyum menatap penyebab kemacetan didepan kami. Kawanan domba tengah menyeberang. Ya. Kawanan domba. Ini benar-benar hal yang sangat baru bagiku. Satu-satunya yang pernah menjadi penyebab kemacetan di DC, Kota tempatku tinggal, hanyalah truk pemadam kebakaran atau rombongan warga yang sedang melakukan aksi demonstrasi. Aku menatap seekor domba yang berjalan pelan mendekati bagian depan mobil kami. Sebelum domba itu berhasil mengendus bemper depan mobil, pria yang menggembala melihatnya dan mengarahkan tongkat panjangnya menepuk pelan punggung domba tersebut. Begitu merasakan komando darinya, si domba pun membalikkan badan kembali masuk ke dalam kawanannya. Beberapa menit berlalu dan akhirnya jalan di depan kami kembali terbuka. Alex menginjak pedal gas, mobil akhirnya meluncur kembali melanjutkan perjalanan. Aku mengambil ponsel dan membuka aplikasi Instagram. Karena ini akun baru, di beranda tidak ada postingan sama sekali. Aku bahkan hanya mengikuti akun milik Alex dan Mom. Dad tidak menggunakan aplikasi ini. Jariku menuju kolom pencarian, dan mengetik nama restoran yang akan kami datangi kali ini. Begitu masuk ke beranda aku mulai mengusap layar, mencari menu yang saat ini aku inginkan. Tadinya aku ingin sekali menikmati Galbi. Tapi karena gerimis yang turun ditengah-tengah perjalanan tadi, aku jadi membayangkan Guksu dan Pajeon. Tidak ada yang bisa menandingi Pajeon di waktu hujan seperti ini. Aku menoleh karena merasakan Alex menatapku.
"Hei. Fokus ke depan. Aku tidak mau kecelakaan." Seruku.
"Rileks Adik kecil, kau tidak ingat kalau pada jam segini, jalanan ini selalu lengang?" Alex berkata sambil tertawa pelan.
"Tidak. Aku tidak ingat apapun, kalau kau lupa." ujarku masih kesal karena merasa ngeri melihat caranya menyetir.
"Ah, maaf. Aku seharusnya lebih berhati-hati."
Aku bisa menangkap nada menyesal dari cara dia berbicara. Baiklah, sepertinya tadi aku sudah bersikap berlebihan. Kepalaku otomatis mencatat untuk lebih waspada dalam urusan pengendalian diri, aku harus bisa menjaga hubungan baik dengan semua orang. Supaya nanti begitu Jossie yang asli kembali, dia tidak perlu menghadapi akibat buruk dari ulahku.
"Maaf. Aku tidak bermaksud untuk bersikap menyebalkan, sungguh. Tadi aku benar-benar ketakutan kalau kau tidak sengaja menabrak atau sejenisnya." Aku meminta maaf sambil tetap menunduk. Tidak berani mengangkat kepalaku.
Aku merasakan tangan Alex mengusap puncak kepalaku, tapi aku tetap tidak berani mendongak, apalagi menatapnya. Tiba-tiba saja sepatuku yang berwarna cokelat kayu jadi sangat menarik bagiku.
"Aku juga minta maaf, oke? Jangan merasa tidak enak Jossie. Katakan saja dengan jujur kalau ada hal yang membuatmu merasa terganggu atau tidak nyaman. Aku sudah bilang kan tadi, aku tidak masalah selama kau bisa tetap bersama kami." Alex kembali mengutarakan perasaannya.
Aku mengangguk. Perlahan mengangkat kepalaku dan tersenyum kepadanya. Kurasa semuanya akan baik-baik saja. Karena kami berdua sama-sama berusaha melakukan yang terbaik untuk Jossie.
Alex membalas tersenyum sangat hangat kepadaku. Dia benar-benar tampan. Aku jadi penasaran apakah dia sudah punya kekasih. Hell, tentu saja sudah. Lihat saja dia. Contoh hidup "unreal visual" di dunia nyata. Bahkan sikapnya pun baik. Dia tipe pria yang akan dengan senang hati kau ajak ke rumah untuk berkenalan dengan Orang Tuamu. Apakah aku tertarik kepada Alex sebagai seorang wanita? Jawabannya tidak. Bahkan setelah semua perlakuan manis yang dia berikan padaku. Walaupun aku tahu betul semua itu adalah bentuk kasih sayangnya sebagai seorang Kakak kepada Adik satu-satunya. Aku sama sekali tidak merasakan getaran yang menunjukkan gejala ketertarikan antara lawan jenis. Tidak ada. Nihil. Yang aku rasakan justru aneh, rasanya sama persis seperti ketika Mom atau Dad memelukku. Aku merasa aman. Rasa nyaman yang normal. Seperti itu adalah hal yang sangat wajar dan memang seharusnya begitu. Perasaan yang kau rasakan ketika berada di rumah.
Kupikir Alex bisa merasakan tatapanku yang penuh konsentrasi padanya, karena dia tiba-tiba berkata,
"Aku tahu aku ini sangat tampan, tapi kau tidak perlu menatapku sampai seperti itu."
Aku menipiskan bibir berusaha menahan tawa. Ternyata dia cukup percaya diri.
"Jujur aku penasaran, boleh aku tanya sesuatu? Tapi ini lumayan pribadi." Aku memasang ekspresi memohon andalanku.
Jossie sangat cantik, jadi aku menaruh harapan besar bahwa ini akan memberi tambahan efek hingga 10 kali lipat dari yang biasanya aku dapatkan dulu.
Alex terkekeh.
"Apakah aku sudah punya pacar. Itukan yang mau kau tanyakan?"
Aku menatapnya takjub. Bagaimana dia bisa tahu. Alex menatapku lagi. Ekspresinya terlihat makin geli.
"Dan sekarang kau sedang bertanya-tanya bagaimana aku bisa tahu. Benar?" Alex kembali bertanya dengan nada yakin.
"Kok bisa?" aku otomatis terkejut.
"Mudah bagiku untuk membaca mu. Kita sudah saling mengenal sejak masih berbentuk.....kecebong." Jawabnya.
Aku mengernyit mendengar kalimatnya. Apa tadi dia bilang?
"Kak, kita bukan katak." Ujarku pelan.
Alex mengernyit.
"Ah...benar juga."
Kemudian tanpa aba-aba kami berdua tertawa. Benar-benar tertawa lepas. Aku menggeleng, otomatis memegangi perutku berusaha mengatasi rasa sakit yang muncul karena tertawa begitu kencang tanpa henti.
Sementara itu Pelabuhan mulai tampak di depan. Aku menegakkan tubuh, pemandangan yang saat ini aku lihat benar-benar menakjubkan. Ini adalah jenis Pelabuhan kuno dengan dermaga yang dibangun dari batu-batuan yang sangat tua. Kau bisa melihat tembok-tembok dibangun rendah yang menjadi batas antara jalan beraspal dan pantai berpasir dibawahnya. Beberapa orang terlihat memancing di dermaga. Tidak banyak kapal terlihat. Aku terlalu antusias mengamati berbagai aktivitas warga sampai tidak menyadari kalau mobil kami sudah berhenti. Begitu Alex mematikan mesin mobil, aku baru sadar dengan posisi kami yang sudah terparkir rapi di sebelah kanan jalan, tepat disisi tembok pembatas pantai. Di Britania Raya, posisi laju dan parkir adalah disebelah kanan. Berbeda dengan Amerika yang di sebelah kiri.
"Lokasi restoran di sebelah sana." Alex menunjuk ke depan.
Aku mengikuti arah pandangnya, dan langsung terlihat jelas papan berwarna putih dengan tulisan dalam huruf Hangeul tercetak besar-besar dan berwarna hitam.
Halmeoni Bunshik.
Aku bersiul pelan. Sambil melepaskan sabuk pengaman, aku mengecek ponsel dan dompet apakah sudah aman. Keduanya aku taruh di saku jaket bagian dalam. Lalu turun dari mobil. Alex sudah menungguku, dia berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Aku segera melangkah mendekatinya, tetesan kecil gerimis terasa sejuk di kulit wajahku yang terbuka. Kami berjalan berdampingan. Pandanganku kembali menjelajahi ke sekitar. Setelah restoran, bangunan tersebut menempel pada tembok yang sama dengan restoran tersebut, terlihat gerbang besar yang sangat mirip seperti pintu masuk pasaraya. Alex menarik pelan lenganku. Aku mengikutinya masuk ke dalam restoran yang hangat. Tidak banyak pengunjung. Hanya beberapa meja yang terisi. Alex menuntunku ke arah meja yang berada di dekat jendela dan menghadap ke jalan. Gerimis masih terus turun. Sepertinya akan benar-benar berubah menjadi hujan. Seorang wanita muda yang bertugas menjadi pramusaji mendatangi meja kami. Akhirnya aku berada di zona nyamanku, tentu saja yang aku maksud adalah makanan.
_____________________
Kami berjalan berdampingan di dalam pasaraya. Dugaanku benar, bangunan besar yang ada di sebelah restoran adalah sebuah pasaraya. Dan kebetulan beroperasional hingga pukul sepuluh malam. Diluar hujan yang awalnya hanya berupa gerimis kecil sekarang sudah menjadi hujan lebat. Alex mengajakku berjalan-jalan disini, sambil mencerna makanan kami.
Diluar dugaan Alex benar-benar menyukai menu yang kami pesan. Pajeon, Sundubu Jjigae dan Yangnyeom Cikin. Aku berusaha sealami mungkin bersikap seolah-olah ini juga pertama kali bagiku. Lalu ketika mencoba kimchi wajahnya berubah merah padam. Karena baru pertama kali mungkin masih butuh penyesuaian, tapi aku menghabiskan porsi kimchi milikku dengan beberapa kali suap saja. Aku beralasan rasanya sangat cocok dengan Pajeon yang mengandung seafood.
Aku berhenti di depan sebuah toko kecil dengan cat berwarna jingga, dekorasinya sangat unik dan memberi kesan hangat yang mengundang. Tiba-tiba aku ingin sekali masuk ke dalamnya. Aku menoleh ke arah Alex, dia sedang mengamati sebuah lapak kecil yang menjajakan berbagai macam koran dan juga majalah. Aku kembali menatap toko tersebut. Etalasenya hanya memanjang sedikit barang. Hampir semuanya asing bagiku, kecuali sebuah penangkap mimpi berukuran sedang yang terbuat dari anyaman kayu berwarna cokelat kusam lengkap dengan bulu berwarna abu-abu yang menggantung di bagian bawahnya.
Aku beralih mengamati bagian dalam toko, hanya ada 3 orang di dalamnya. Itupun sudah termasuk seorang Pria tua dengan kacamata bulat kecil yang berada dibalik meja kasir. Aku berjalan maju sedikit, mendekati pintu toko. Ketika sampai tepat di depan pintu, mataku seketika menatap kenopnya yang berwarna keemasan. Lalu tiba-tiba tubuhku seolah bergerak dengan sendirinya. Tanganku meraih kenop pintu dan memutarnya pelan. Begitu pintu terbuka aku langsung melangkahkan kedua kakiku measured toko. Pintu berayun tertutup dengan bunyi debam pelan dibelakangku. Pria tua berkacamata bulat menatapku ramah. Dia berjalan keluar dari balik meja, menghampiriku. Aku terkesan dengan aura yang dikeluarkannya. Begitu dia berdiri di depanku aku merasa sangat kecil. Tidak bukan kecil. Lebih tepatnya aku merasa tidak layak. Seolah-olah keberadaanku tidak lebih dari sekedar batu kerikil di jalanan.
"Aku tidak bisa memberimu jawaban yang kau inginkan. Tapi disini, kau mungkin bisa menemukan petunjuk."
Aku mendongak. Pria itu tiba-tiba berkata demikian. Apa maksudnya. Seolah bisa membaca pikiranku, dia mengangguk pelan. Lalu berbalik dan berjalan kembali ke arah meja. Aku reflek mengikutinya. Dia mengambil sebuah buku besar panjang. Ketika disodorkannya kepadaku aku mencoba melihat dengan lebih saksama. Ada begitu banyak nama tertulis di buku tersebut. Bentuk huruf dan gaya penulisan terlihat berbeda, sepertinya semua menggunakan tulisan tangan dari empunya nama itu sendiri. Aku menatap kolom dengan urutan nomor 153, satu-satunya kolom yang sudah diisi nomor sesuai urutan dan masih kosong. Aku melirik Pria tua tadi, kemudian kembali mengarahkan fokus ke kolom tersebut.
"Apakah aku harus menulis namaku disini?" aku bertanya langsung kepada Pria tua itu.
Sembari tersenyum dia mengangguk, lalu mengulurkan sebuah pulpen yang tampak sangat kuno. Aku bergeming, menatap bentuknya yang menurutku sangat tidak biasa. Bentuknya seperti ranting pohon agak bengkok yang sudah sangat kering.
"Hanya ada satu peraturan disini,"
Pria tua itu berkata pelan dengan nada yang kebapakan.
"Kejujuran."
Satu kata yang dia ucapkan entah kenapa terasa seperti vonis tidak bersalah. Aku menghembuskan napas, kelewat lega. Rasanya seolah-olah selama ini aku sudah menahan napasku lama sekali. Aku mengambil pulpen aneh yang diulurkan kepadaku, yang begitu berada dalam genggamanku, terasa benar. Tanpa ada rasa keraguan sedikit pun, aku menuliskan namaku di bagian kolom nomor 153.
HANNAH FITZ.
Aku membaca kembali namaku. Nama asliku. Diriku yang sesungguhnya. Si Pria tua tersenyum sebelum mengambil kembali buku dan pulpen tadi. Kemudian dia melambai kearahku, memberi isyarat untuk mengikutinya. Kami berjalan semakin masuk ke dalam toko, tepatnya di sebuah lorong yang di kedua sisinya terdapat rak-rak penuh buku yang tingginya hampir mencapai langit-langit. Lorong ini cukup panjang. Aku mengira-ngira dalam kepalaku seberapa luas sebenarnya bangunan toko ini. Kami bahkan belum sampai ke ujung lorong, ketika Pria tua itu berhenti di depan sebuah pintu kayu berwarna hijau botol. Begitu pintunya didorong hingga terbuka, aku menjulurkan kepala berusaha melongok ke dalam ruangan yang ada dibaliknya. Si Pria tua berjalan dengan langkah mantap ke dalam ruangan, lantainya berwarna hitam mengkilap. Seperti terbuat dari marmer. Aku menengadah dan kaget melihat betapa tinggi langit-langit di ruangan ini. Ketika aku kembali melihat ke arah Pria tua, dia tengah berhenti di depan sebuah benda tinggi yang tertutup kain berwarna kelabu. Letaknya tepat berada di tengah-tengah ruangan. Tanpa ragu aku langsung melangkahkan kaki menyusul Pria tua. Sejujurnya, aku sendiri sangat terkejut dengan perilakuku ini. Sejak pertama kali masuk ke dalam toko tadi, aku seperti sama sekali tidak menaruh curiga sedikitpun kepada Pria tua ini. Aku terus menerus berusaha mencari setitik perasaan waspada, tapi tidak ada. Aku menaruh kepercayaanku sepenuhnya kepada seorang yang asing. Di dalam sebuah toko yang tampaknya bukanlah toko biasa. Bagus. Aku mendengus pelan. Sekarang aku benar-benar sudah tidak waras. Semenjak berada di dalam tubuh asing ini, tidak ada satupun alur kehidupanku yang tampaknya normal. Aku berhenti di sebelah si Pria tua. Secara naluriah ikut menatap benda yang masih tertutup kain kelabu di depan kami.
"Bukalah. Dan kau akan melihat apa yang sedang kau cari." Ucapnya, cukup pelan, tapi suaranya yang memantul di seluruh ruangan. Menimbulkan efek yang cukup berhasil membuat degup jantungku berpacu.
Tanganku perlahan meraih kain kelabu yang menutupi entah benda apa di dalamnya. Hanya dengan satu kali hentakan aku berhasil menariknya hingga lepas secara keseluruhan. Aku menatap dengan takjub benda yang sekarang berdiri megah di depanku. Sebuah cermin. Tingginya menjulang di atasku. Bagian atasnya berbentuk lengkungan separo bulan. Dengan tulisan yang terlihat seperti huruf rune kuno terukir jelas di dalam bingkai bagian atas yang berbentuk lengkungan. Di bagian samping kiri dan kanan ada ukiran yang berbentuk mirip sulur tumbuhan merambat, meliuk-liuk mengelilingi seluruh badan bingkai. Aku menoleh ke samping kiri, dimana Pria tua itu masih berdiri diam mendampingiku.
Seolah bisa membaca pertanyaan yang muncul dari dalam kepalaku, dia mengangguk, lalu berbalik menjauh perlahan. Hanya sampai batas dimana bayangan dirinya tidak ikut muncul di dalam cermin. Ketika aku kembali menatap cermin, sebuah perubahan terjadi dan membuatku tersentak kaget. Permukaan cermin yang tadinya padat tiba-tiba bergerak. Gerakan bergelombang yang lembut. Seolah-olah yang saat ini tengah aku tatap bukanlah sebuah cermin. Melainkan permukaan air. Ya gerakannya mirip seperti riak pelan permukaan air. Saking terkejut dengan perubahan tersebut, aku bahkan baru menyadari keanehan lain. Bayanganku menghilang. Tidak. Bukan hanya aku. Seluruh ruangan ini sama sekali tidak tampak di dalam pantulan cermin. Yang saat ini aku lihat adalah sebuah kegelapan. Tidak ada setitik kecil cahaya yang terlihat sama sekali. Tubuhku bergidik. Pemandangan ini sama persis dengan yang aku lihat ketika sekarat dulu. Keadaan yang muncul setelah aku selesai melihat kilas balik adegan masa kecilku. Tiba-tiba dalam kepalaku terbersit sebuah pikiran mengerikan kalau aku kembali berada disana, di kegelapan tanpa ujung dengan hunjaman rasa sakit menyerang seluruh tubuhku dari berbagai arah. Secara refleks aku menatap kedua kakiku, yang masih tampak berdiri di atas lantai marmer. Aku menghembuskan napas lega. Sebuah bentuk asing menarik perhatianku kembali kearah cermin. Bentuknya kecil, aku menyipitkan mata berusaha melihat dengan lebih jelas. Seakan paham dengan keinginanku, benda tersebut perlahan membesar. Semakin lama semakin jelas. Aku bisa merasakan diriku yang menahan napas saking bergairahnya. Begitu benda tersebut berbentuk semakin jelas, aku menatapnya dengan perasaan ngeri.
Itu Jossie.
Tidak salah lagi. Setelah berhari-hari melihat bayangan dirinya di cermin, aku langsung mengenali sosok yang kini tengah mengambang di tengah-tengah kegelapan di depanku. Kedua matanya terpejam rapat. Aku mengulurkan tangan ke depan, bermaksud menyentuhnya. Tapi ujung jemariku hanya bisa menyentuh permukaan dingin dari cermin. Dengan penuh putus asa aku menabrakkan kedua tanganku ke permukaan cermin. Bahkan menggedornya dengan sangat keras. Berharap bisa meretakkan pembatas apapun yang tengah menghalangiku dari menarik Jossie keluar dari sana. Dari dalam kegelapan.
"Jossie! Bangun! Jossie!"
Teriakan mulai keluar dari mulutku. Aku berbalik menghadap Pria tua yang masih berdiri tidak jauh di belakangku.
"Kumohon. Tolong keluarkan dia." Aku memohon kepadanya.
Pria tua itu menatapku dengan sorot mata sendu. Kemudian menggeleng pelan.
Aku kembali menatap Jossie, yang masih mengambang dengan lelap, seolah tidak menyadari semua keributan yang aku ciptakan tadi. Apa maksudnya semua ini. Sebenarnya apa yang ingin Pria tua aneh itu tunjukkan kepadaku. Tadinya aku berpikir kalau dia bermaksud membantuku menemukan Jossie, tapi setelah penolakan yang dia berikan atas teriakan minta tolongku tadi, aku sekarang ragu kalau itulah tujuannya. Aku masih menatap Jossie, perlahan membuka suara.
"Lalu apa yang Anda inginkan? Apa yang sebenarnya Anda ingin saya lakukan?!"
Suara yang keluar dari mulutku berupa teriakan penuh amarah.
"Itu adalah cermin Nostradamus." Jawabnya masih dengan nada kebapakan yang sama.
Aku diam, menunggu penjelasan lebih lanjut. Itupun kalau ada.
"Dia hanya akan menunjukkan jiwa yang sudah tidak ada di dunia ini."
Deg.
Jangan dilanjutkan.
"Gadis yang selama ini kau cari, dia sudah mati."
Tubuhku membeku. Masih menatap sosok Jossie di depanku dengan pandangan nanar. Tanganku kembali menyentuh permukaan cermin di depanku, dengan keras kepala masih berusaha menembusnya, meraih Jossie.
"Takdirnya dengan dunia ini sudah selesai. Hari dimana jiwamu masuk ke dalam tubuhnya, saat itu dia sudah pergi."
Tidak. Aku tidak mau mempercayainya. Tanpa kusadari, air mata sudah jatuh menetes di wajahku. Aku bahkan tidak mendengar suara langkah kakinya, tapi Pria tua itu tiba-tiba sudah berdiri kembali di sampingku. Dia menepuk pundakku dengan pelan. Tapi aku tidak mengalihkan pandanganku dari Jossie. Dia masih tampak terlelap, begitu tenang. Begitu damai. Sama sekali tidak ada raut kesakitan tercetak di wajahnya. Tapi aku tidak bisa mengenyahkan ingatan akan rasa sakit yang aku rasakan ketika pertama kali terbangun di dalam tubuhnya. Saat dimana aku tenggelam. Saat Jossie tenggelam.
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" Aku bertanya kepada si Pria tua.
"Kau memang tidak bisa membawanya kembali, seperti rencana awalmu. Tapi setidaknya kau bisa membantunya mendapatkan keadilan." Jawabnya.
Reaksi yang timbul dari dalam diriku terasa asing. Jawaban tadi, secara tidak langsung mengatakan bahwa Jossie mati secara tidak adil. Hanya ada satu kesimpulan. Dia sudah dibunuh. Pria tua itu mengangguk prihatin, seolah menjawab isi pikiranku. Tanganku terkepal seketika. Sesuatu dalam diriku menggeram penuh amarah.
"Siapa?" tanyaku pelan.
"Itulah tugasmu, Hannah. Kau yang harus menemukan orang yang bertanggung jawab atas kematiannya."
Kali ini aku menatapnya dengan sorot mata dingin.
"Dan kenapa harus aku? Maaf tapi aku hanyalah remaja biasa dari DC." Jawabku dengan nada kecut.
Aku bukannya tidak mau melakukannya. Hell. Setelah mengetahui fakta kejam tentang nasib Jossie, aku sudah berniat untuk mencari pelaku yang sebenarnya. Dan membawanya ke tiang gantungan.
Tapi aku ingin tahu. Tidak, aku harus tahu kenapa dari semua orang takdir justru memilihku. Aku hanyalah orang asing bagi Jossie. Kami berdua sama-sama tidak saling mengenal.
"Kau akan tahu, setelah semuanya berakhir." Jawab si Pria tua.
Dengan satu kalimat tersebut, ditariknya tanganku dengan lembut untuk bergerak menjauh dari cermin. Dari Jossie. Sebelum kain kelabu kembali menyelubungi seluruh badan cermin Nostradamus, aku melihat sosok Jossie sekali lagi dengan perasaan ngilu. Begitu cermin tertutup kain sepenuhnya, Si Pria tua membimbingku keluar dari ruangan ini. Aku merasa sesak, bulir air mataku memang sudah berhenti menetes. Tapi rasa sakit yang muncul setelahnya membuatku merasa sangat kesulitan untuk bernapas. Kami sudah berada di lorong penuh buku yang tadi. Pintu dibelakangku mengayun tertutup, diikuti dengan bunyi klik pelan. Dengan enggan aku mengikuti langkah kaki si Pria tua, yang kini berjalan ke arah darimana kami datang tadi. Ruangan depan toko muncul dihadapan kami. Aku berhenti di depan meja, tempat dimana kami melakukan interaksi pertama tadi. Si Pria tua terlihat membuka sebuah laci yang berada di konter bawah meja. Begitu menemukan benda yang dia cari, ditatapnya aku dengan pandangan penuh arti. Aku melihat benda yang tengah dia pegang. Bentuknya berupa persegi panjang pipih. Mirip seperti kartu nama. Dan benar saja, begitu diberikannya kepadaku aku langsung bisa melihat bahwa itu adalah kartu nama. Tekstur kertasnya kaku, seperti kartu kredit. Berwarna beige dengan huruf-huruf berbentuk latin tercetak dalam warna hitam diatasnya. Aku membaca nama yang tertulis di baris paling atas.
Cyllene Store.
Aku menebaknya sebagai nama toko aneh ini. Lalu lanjut membaca baris di bawahnya, yang tertulis Border's Market No. 4th, Newhaven, Edinburgh.
Aku kembali menatap Pria tua di depanku.
"Kapanpun kau butuh petunjuk selama masa pencarian, kau bisa datang kemari." Katanya, masih setia dengan nada kebapakan yang sudah kudengar dari awal tadi.
"Siapa nama Anda? Maaf seharusnya aku sudah bertanya dari awal."
Kalimat terakhirku terdengar lirih, begitu aku menyadari betapa tidak sopannya sikapku selama ini. Aku tidak berani menatap matanya secara langsung, meskipun entah kenapa aku merasa yakin kalau dia sama sekali tidak tersinggung dengan sikapku.
"Orang-orang biasa memanggilku Mr. Curio." Jawabnya dengan ramah.
Aku menggangguk. Memasukkan kartu nama tadi kedalam saku jaket. Ketika tanganku tidak sengaja menyentuh ponsel yang juga berada di dalam saku, seketika aku membeku. Dengan panik aku mengeluarkan ponsel tersebut dan menyentuh layarnya yang gelap. Aku hendak memeriksa jam, begitu teringat akan Alex yang sama sekali tidak melihatku masuk ke dalam toko ini.
"Jangan khawatir. Waktu yang kau habiskan disini tidak berjalan seperti di dunia manusia." Ujar Si Pria tua tiba-tiba.
Otomatis aku mendongak menatapnya, begitu mendengar ucapannya tadi.
"Jadi, berarti...." kalimatku terpotong begitu saja, menggantung tidak pasti saat aku ragu dengan kelanjutannya.
"Kau sama sekali tidak mengurangi waktumu di dunia manusia." Jawabnya pelan, seolah membantuku agar bisa lebih mudah memahami arti dari perkataannya.
Aku mengangguk, jadi itu berarti selama apapun aku berada disini, di dalam toko ini, begitu aku keluar, aku akan kembali ke waktu yang sama persis dengan saat aku masuk. Jadi tidak ada seorang pun yang akan menyadari kalau aku sudah menghilang selama beberapa menit, atau bahkan jam. Mr. Curio mengangguk dengan penuh semangat, gerakannya sama sekali tidak luput dari pengamatanku. Oh, jadi benar dia bisa mendengar isi kepalaku. Senyum merekah lembut di wajahnya yang masih menatapku dengan sorot pengertian. Aku kembali mengedarkan pandanganku ke seluruh bagian ruangan ini. Dua orang yang aku lihat saat pertama kali masuk tadi sudah tidak ada. Aku memejamkan mata, tidak mau bertanya soal kemana perginya mereka. Bahkan bertanya apakah mereka itu tadi sama seperti aku, yang hanyalah manusia biasa. Karena aku memiliki perasaan kuat bahwa Mr. Curio ini tidak sama seperti aku. Catat, manusia. Kepalaku tiba-tiba terasa nyeri. Aku menekan pelan pelipis kananku sambil mengerang, menahan sakit. Mr. Curio menarik tangan kiriku yang bebas, dan perlahan aku mengikutinya, dengan kedua mataku terpejam erat berusaha menepis rasa sakit hebat yang tiba-tiba menyerang kepalaku. Sedetik kemudian aku bisa merasakan tubuhku seperti berjalan menembus lapisan tipis dan dingin. Lalu ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku sudah berada di luar toko. Rasa sakit yang menyiksaku beberapa saat lalu juga sudah menghilang. Secepat itu. Kepalaku secara naluriah menengok ke kiri, dan benar saja, Alex masih berdiri di depan Lapak penjual koran. Sama sekali tidak terlihat menyadari kepergianku yang cukup lama. Aku mendesah, dan mulai berjalan menghampirinya. Tanpa adanya rasa sakit di kepalaku, pikiranku kembali fokus kepada misiku yang kini sudah berubah arah. Entah takdir macam apa yang menghubungkan aku dengan Jossie, yang pasti aku harus bisa menemukan orang yang sudah membunuh Jossie. Gemuruh hujan yang turun semakin deras terdengar cukup jelas dari langit-langit Border's Market yang tinggi. Hawa dingin menerpa bagian kulitku yang terekspos, terutama di bagian wajah dan kedua tanganku. Tapi aku tidak bergidik. Api kemarahan yang kini tengah memompa dirinya sendiri cukup untuk membuatku menepis semua rasa dingin.