Aku sibuk mengamati pemandangan yang ada di sepanjang perjalanan pulang. Iya. Pulang. Seminggu penuh aku menjalani perawatan di rumah sakit, berbagai tes sudah kulakukan. Dan hasilnya, nihil. Dokter Smith, yang menangani kasusku memutuskan bahwa aku mengalami amnesia. Diagnosa yang muncul menunjukkan demikian. Ketika Kedua Orang Tua Alex dan Jossie bertanya apakah aku akan bisa sembuh. Dokter Smith tidak bisa memberikan jawaban pasti. Aku bersikeras untuk segera diperbolehkan pulang. Secara fisik aku sudah pulih. Luka-luka yang aku alami hanya berupa lecet-lecet biasa. Tidak ada yang mematikan. Karena Dokter Smith berpikiran sama denganku (aku benar-benar bersyukur atas itu) akhirnya rumah sakit memberi izin untuk melanjutkan perawatan di rumah. Bahkan menurutnya apabila segera berada di lingkungan alamiku, ada kemungkinan ingatan bisa segera kembali. Aku meringis ketika mendengarkannya. Karena aku tahu pasti hal itu tidak mungkin terjadi. Kecuali jika jiwa Jossie yang asli tiba-tiba kembali. Nah itu baru mungkin.
Sambil memandang keluar, aku kembali menghapal nama-nama semua orang yang ada di sekitar Jossie. Pertama, nama gadis ini adalah Josephine Katerina Brightwoods. Lahir di London tanggal 9 September 2004. Dia dan Alex adalah saudara kembar tidak identik. Alexander William Arthur Brightwoods lahir 3 menit lebih dulu daripada Jossie. Keduanya sama-sama bersekolah sebagai murid tahun senior di Langford Academy. Sekolah asrama laki-laki dan perempuan di Edinburgh, Skotlandia. Oh, aku belum bilang kalau Jossie dan Alex tinggal di Skotlandia. Puluhan ribu mil dari Amerika Serikat, tempat tinggalku yang sesungguhnya. Keningku berkerut, ini semakin membingungkan. Bagaimana bisa aku bertukar tubuh dengan gadis ini, yang bahkan tinggal di benua berbeda. Kalau bukan karena kejadian ini aku tidak akan pernah tahu eksistensinya.
Hah.
Aku menghela napas. Nama Ayah, Arthur Benedict Brightwoods. Beliau dosen Sejarah dan Literasi Inggris kuno di Universitas. Ibunya adalah Leticia Brightwoods, seorang penulis buku yang cukup terkenal. Aku bahkan pernah membaca salah satu karyanya yang berjudul "You Deserve To Smile". Dan sekarang dia tengah duduk di depanku. Disamping suaminya yang tengah menyetir. Alex duduk di sebelahku, sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Harus kuakui dibalik semua ini, ada sedikit hikmah untukku. Aku kembali memiliki Keluarga yang utuh. Bahkan bonus Saudara kembar. Aku belum benar-benar pulih dari kematian kedua Orang Tuaku, bahkan sebenarnya aku tidak tahu apakah aku bisa. Orang-orang hanya melihat aku tetap menjalani kehidupanku, aku tersenyum tentu saja, tertawa ketika mendengar lelucon. Tapi semua tawa itu tidak ada yang sampai ke dalam hati. Diluar aku tampak seperti gadis yatim piatu yang tegar dan bersemangat. Tapi sesungguhnya, di dalam aku sudah mati. Berada disini sekarang, bersama Keluarga Jossie, membuatku merasa hidup kembali. Sampai akhirnya aku bisa membawa jiwa Jossie kembali ke tubuh ini, aku boleh kan sedikit menikmati perasaan nyaman ini.
Mom menoleh kearahku.
"Kau lapar kan? Rose sudah menyiapkan makanan kesukaanmu. Shepherd's Pie." Katanya sambil tersenyum hangat.
"Apakah aku sangat menyukainya?" Aku penasaran.
"Kau itu suka makan. Sebenarnya bisa dibilang kau menyukai semua makanan, tapi sejauh ini hanya menu barat." celetuk Alex.
"Aku tidak pernah mencoba makanan Asia?" tanyaku terkejut. Bagaimana mungkin.
Alex menggeleng.
"Kau pernah bilang padaku kalau kau itu cari aman. Belum tentu kau suka, jadi tidak pernah." jawabnya masih sambil mengerjakan tugas.
Bencana. Aku ini penggila makanan Asia Timur. Terutama makanan Korea. Otakku seketika berpikir keras menyusun berbagai rencana agar bisa beralasan masuk akal untuk bisa makan makanan favoritku.
"Siapa tahu? Mungkin sekarang Jossie ingin mencoba hal baru?" Dad yang sedari tadi fokus mengemudi ikut melibatkan diri dalam percakapan.
Alex menatap punggung Dad, kemudian menoleh menatapku. Sebelah alisnya terangkat. Apa maksudnya.
"Benarkah? Apa kau ingin mencoba sesuatu, mungkin?" Dia bertanya, kali ini penasaran.
Aku menimbang-nimbang, sebenarnya ini kesempatanku.
"Hmm, aku ingin makanan Korea. Mungkin?" Kataku pelan dan singkat.
Jujur saja ini tidak terlalu beresiko kan. Aku tidak boleh membuat mereka sadar kalau aku bukanlah Jossie. Tidak sampai aku bisa menemukan cara agar kami bisa kembali ke tubuh masing-masing.
Semua orang terdiam. Mom kembali menoleh menatapku. Alex menganga, aku ingin sekali menutup mulutnya itu.
"Well, kalau tidak bisa tidak apa-apa. Toh di sekitar sini juga kurasa tidak ada restoran Korea." Aku mencoba menetralkan situasi yang aneh.
"Ada. Tapi aku tidak tahu enak atau tidak. Karena aku sendiri belum pernah mencobanya." Alex yang menjawab.
Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaket, mengetik sebentar kemudian memperlihatkan layarnya kepadaku. Ternyata dia membuka aplikasi Instagram, akun yang dia tunjukkan bernama "Halmeoni Bunshik" dan foto-foto makanan yang diposting terlihat benar-benar lezat. Aku melihat salah satu favoritku, Galbi dan juga Gopchang. Tanganku bergerak dengan sendirinya, menekan postingan tersebut dan melihat kolom komentar. Hampir semuanya menunjukkan respon yang positif.
"Sepertinya cukup bagus." ujarku.
"Kau mau mencobanya? Lokasinya dekat Pelabuhan, hanya setengah jam menyetir dari rumah." Alex menawariku.
Aku menatapnya. Apa benar tidak apa-apa.
Tapi tadi Rose sudah susah payah menyiapkan makanan kesukaan Jossie.
"Besok saja. Aku lelah hari ini. Dan Shepherd's Pie tidak kalah menggiurkan." jawabku.
Alex tersenyum. Tangannya menepuk lembut puncak kepalaku.
"Besok bangunkan saja aku kalau sudah lapar. " Jawabnya.
Aku menaikkan sebelah alis, maksudnya. Alex melihat ekspresi bertanya di wajahku.
"Aku kurang tidur Jossie, selama ini menungguimu di rumah sakit. Sampai dirumah aku mau tidur sepuasnya." Jawabnya.
Aku mengangguk paham. Aku masih sangat asing dengan konsep Kakak beradik ini. Tapi entah kenapa hubunganku dengan Alex mengalir begitu alami, seolah-olah aku sudah lama mengenalnya. Sebagai Kakakku sendiri.
Aku menoleh mengamatinya, secara fisik dia ini sangat tampan. Tinggi 190 cm. Berat tubuh proporsional. Kalau diingat dari caranya menggendongku malam itu, dia cukup berotot. Rambutnya yang berwarna pirang tembaga bergelombang lembut, dengan potongan rapi. Warna matanya sama seperti Jossie. Biru langit yang cerah. Bentuk rahangnya pun tegas, dengan tulang pipi tinggi. Alex memiliki tipe wajah yang kalau orang-orang jaman sekarang menyebutnya "unreal visual".
Aku mengalihkan pandanganku kembali ke luar. Kota Edinburgh sangat cantik. Aku pernah melihat foto-foto yang menunjukkan bentuk rumah dan bangunan-bangunan kuno seperti kastil di kota ini. Pemandangan tebing dan pesisir lautnya pun tidak kalah menakjubkan. Mobil kami berbelok. Memasuki jalan yang dikelilingi pepohonan. Aku mengamati ini bukanlah jalan utama. Dan benar saja. Di depan nampak gerbang besi yang sangat tinggi. Ketika mobil kami mendekat gerbang tersebut otomatis terbuka. Aku mengamati bentuknya yang sangat kuno tapi bahan besi yang digunakan masih terlihat baru. Gerbang menutup dibelakang kami. Dan begitu kembali melihat ke depan aku dibuat terpana oleh bangunan yanga ada di depanku. Apanya yang rumah. Ini Kastil. Kastil sungguhan seperti yang ada di film-film berlatar historical klasik Britania Raya. Mobil berhenti dengan pelan. Dan seorang pria muda datang kearah kami. Dia membuka pintu mobil bagian penumpang, tepat di posisiku sekarang.
"Selamat datang kembali Nona Jossie, aku bersyukur akhirnya anda bisa pulang." Katanya ramah.
Aku terdiam. Merasa canggung. Dengan gugup membalas senyuman yang diberikan. Entah sejak kapan Mom sudah berdiri disamping mengulurkan tangannya kepadaku.
"Maaf Scott. Dia masih agak bingung." Ujarnya mencoba menjelaskan situasiku kepada pria yang ramah tadi.
Scott mengangguk paham.
"Tidak perlu minta maaf Nyonya, kami semua akan berusaha sebaik mungkin agar Nona Jossie merasa nyaman di rumah, semoga dengan begitu ingatannya bisa segera pulih." Jawab Scott.
Mom tersenyum. Aku sudah berdiri disampingnya sambil menggenggam erat tangannya. Mom menatapku dengan sorot mata prihatin. Bagaimanapun Orang Tua mana sih yang tega melihat anaknya memgalami kesulitan. Apalagi ini amnesia. Aku mengalihkan pandangan kembali ke arah rumah. Well, kastil. Scott sudah sibuk mengambil koper dari dalam mobil. Dad berdiri disampingku juga. Menepuk pundakku pelan. Seolah berkata "pelan-pelan saja."
Aku menatap Alex yang berdiri agak di depan dan dengan gaya tubuh seperti seorang pembawa acara dia menunjuk ke arah kastil.
"Selamat pulang kembali, Josephine Brightwoods. Di Brightwoods Manor." Kalimatnya diucapkan dengan gaya profesional.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Jossie, dimanapun kau berada sekarang. Kau benar-benar beruntung memiliki seseorang seperti Alex.