Chereads / THE BRIGHTWOODS (alive & switched) / Chapter 6 - LANGKAH AWAL PENYELIDIKAN

Chapter 6 - LANGKAH AWAL PENYELIDIKAN

Skotlandia.

Aku masih sering menampar diriku sendiri, untuk benar-benar meyakinkan bahwa ini semua bukan mimpi. Meskipun aku berharap kalau saja aku memang sedang bermimpi. Mimpi yang panjang, setidaknya sepanjang apapun itu aku tetap akan tebangun juga. Dan semuanya kembali normal. Aku tengah duduk di salah satu batu yang ada di pantai ini. Bentuknya cukup datar, walaupun permukaannya tidak rata. Aku selalu membawa selimut yang tebal untuk aku hamparkan diatas batu sebelum memakainya sebagai kursi pribadiku disini. Iya, aku sering datang kesini. Sekadar berjalan-jalan, merasakan tekstur pasirnya yang sedingin es. Aku pernah pergi ke pantai yang ada di semenanjung Olympic, disana sama seperti disini, cuacanya hampir selalu kelabu. Tapi percayalah, tidak separah tempat ini. Hah. Memikirkan tempat tinggal asliku membuatku teringat pada teman-temanku disana. Aku merindukan Kate dan segala bentuk kecerewetannya. Brenda yang manis dan Julian, apakah anak itu sudah sembuh sekarang. Harusnya sudah kan. Semua orang di Rocky's bahkan termasuk Manager yang lebih sering membuat jengkel kami semua. Ombak berderu semakin kencang. Aku merasakan udara yang semakin berat, dan berembun. Cuaca sedang memberi peringatan awal akan kedatangan hujan. Oh, Eropa Utara dan iklimnya yang "sangat bersahabat". Aku masih ingin lebih lama disini.

Ini sudah seminggu sejak kepulanganku ke Manor. Keluarga Brightwoods ternyata masih merupakan keturunan langsung dari salah satu Klan bangsawan paling tua di Skotlandia. Hanya saja semenjak anak perempuan tunggal dari garis keturunan terakhir Klan tersebut memilih menikah dengan warga biasa, gelar bangsawan mereka harus terputus. Tapi Manor ini tetap menjadi hak milik keluarga mereka. Dan masih berlanjut sampai sekarang. Brightwoods mungkin memang bukan bangsawan tapi Keluarga ini dikenal karena jasa mereka di bidang Pendidikan dan Budaya. Almarhum Kakek mereka adalah Ketua Yayasan Universitas Oxford, salah satu orang yang pernah merasakan pengalaman langsung dididik bahkan bekerja sama dengan Profesor Tolkien. Legenda kebanggaan sejarah Literasi Britania Raya. Aku bahkan melongo melihat foto mereka berdua yang masih berwarna hitam putih terpajang di salah satu rak yang berada di perpustakaan Manor. Kakek Brightwoods dan Profesor Tolkien tampak duduk di sebuah bangku taman, Kakek tersenyum lebar sedangkan Profesor dengan satu tangannya memegang cerutu dan satu tangan yang lain mengangkat tinggi topi miliknya. Seumur hidupku yang memang penggila buku, aku selalu berkhayal bisa datang ke Oxford suatu hari nanti, dan duduk di salah satu ruang kelas, membayangkan seolah-olah aku berada di masa lalu tengah menghadiri kelas Beliau. Dan sekarang aku tengah mendapat kisah sejarah singkat mengenai Keluarga ini yang ternyata mengenal Idolaku secara personal.

Scott, pria ramah yang menyapaku saat pertama kali tiba disini adalah Sekretaris pribadi kedua Orang Tua Jossie. Lalu Rose, wanita paruh baya dengan lesung pipi yang sangat manis setiap kali dia tersenyum, adalah Kepala Pelayan di Manor. Aku masih kesulitan untuk mengingat nama semua orang yang bekerja di Manor selain Scott, Rose, dan Paman Giuseppe, pria dengan kumis lebat yang bertugas merawat halaman Manor secara keseluruhan. Aku tadinya khawatir akan mengalami banyak kesulitan membiasakan diri dengan kehidupan Jossie. Tapi ternyata diluar dugaan. Kehidupan mereka tidak jauh berbeda dengan milikku. Alex dan juga Dad hampir selalu terlihat berinteraksi dengan semua pekerja disini. Cara mereka berbicara dengan satu sama lain sangat alami dan tidak terlihat canggung. Bahkan Dad tampak selalu menjaga kesopanan setiap kali mengobrol dengan Paman Giuseppe yang memang sudah lebih tua darinya. Tak terkecuali Alex. Mom jarang terlihat bercengkarama bukan karena dia angkuh atau sejenisnya. Mom selalu sibuk dengan pekerjaan menulisnya, dan karena tahun ini dia memiliki beberapa seminar yang harus diisi membuat dia menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang kerjanya yang berada disamping perpustakaan. Dua hari pertamaku disini Mom bersikeras selalu menemaniku. Tapi aku akhirnya berhasil meyakinkan dia, dan semua orang lain kalau aku benar-benar tidak masalah dibiarkan sendirian. Ya. Aku memang berencana mencari tahu tentang apa yang dilakukan Jossie pada hari naas itu. Karena aku jujur sangat bingung untuk menentukan langkah awal dari penyelidikan kasus kami ini. Dan rencanaku tidak akan bisa segera terlaksana kalau Mom ataupun yang lainnya terus menerus mengekoriku kemanapun aku pergi. Aku akhirnya bisa menghela napas lega pada hari ketiga. Aku mulai membaca buku harian milik Jossie. Wow, dia benar-benar menulis buku harian. Dari situ aku mengetahui beberapa hal, Jossie memiliki dua orang sahabat yang sangat dekat, Josh Campbell dan Kim Jieun. Ketiganya sama-sama berada di tahun senior Akademi Langford, sudah saling mengenal sejak hari pertama masuk Akademi. Waktu usia mereka masih dua belas tahun. Jossie sempat menjalin hubungan dengan murid yang berada dua tingkat diatasnya bernama Timothy Grey, saat itu Jossie sudah berusia enam belas tahun. Yang berarti pria yang dia kencani berada di tahun terakhir sebagai murid Akademi. Bagaimana dan kenapa merek putus tidak ditulis dengan detail dibuku hariannya. Aku tidak berani berasumsi sebelum mencari tahu sumber lain yang bisa aku temukan. Sayangnya, ponsel Jossie menghilang, tepat pada hari kejadian. Kalau saja masih ada aku pasti bisa mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan sekolahnya. Alex? Oh tentu saja aku sudah mencoba bertanya padanya. Tapi semenjak masuk Akademi keduanya tidak terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Mereka tidak bertengkar, tapi lebih kepada fakta kalau lingkungan Asrama dan teman-teman baru membuat mereka sama-sama sibuk dengan kehidupan masing-masing. Sesekali mereka tidak sengaja bertemu dan akhirnya salah satu akan bergabung dengan yang lain hingga tiba saatnya kembali ke Asrama masing-masing. Dan waktu Liburan tiba sudah pasti mereka berdua bisa lebih sering bersama karena teman-teman mereka pun pasti sibuk dirumahnya masing-masing.

Alex sama tidak tahunya seperti aku mengenai detail hubungan Jossie dengan Timothy. Dia sudah memberiku nomor Josh dan Jieun, yang menurutnya lebih tahu soal masalah ini. Ya, Dad memberikan ponsel baruku tidak lama setelah aku menanyakan soal ponsel milik Jossie.

Tapi aku sama sekali belum menghubungi satupun dari mereka. Entahlah, aku tidak ingin mereka merasa terbebani. Mungkin. Biar bagaimanapun aku sama sekali tidak mengenal mereka. Meskipun dari yang aku baca di buku harian aku bisa menyimpulkan mereka benar-benar sahabat yang baik.

Di dalam buku ketika tanggal hari kejadian, 11 Mei, Jossie hanya menulis sangat singkat.

'Setelah bertahun-tahun kami akhirnya bertemu kembali. Dan aku berharap bisa membayar hutang budiku selama ini.'

Siapa. Dan hutang budi apa yang dia maksud. Setelah itu Jossie tiba-tiba tidak bisa dihubungi dan setelah dicari kemana-mana, seseorang melihat dia terdampar di pinggir pantai.

Aku berpikir keras. Kalau aku bisa mencari tahu siapa yang dia temui hari itu, setidaknya satu langkah terlaksana. Aku mengerang, dengan frustasi mengacak rambutku. Tapi tidak ada yang tahu siapa orang itu. Jossie benar-benar menyimpan semuanya sendiri. Aku belum memastikan apapun dengan Josh dan Jieun. Kurasa mau ataupun tidak, aku harus segera menemui mereka berdua. Mungkin ada petunjuk yang ditinggalkan Jossie kepada mereka. Namanya juga teman dekat. Aku hanya bisa berharap Jossie bukanlah pribadi yang introvert sepertiku. Yang bahkan terhadap sosok yang paling dekat pun aku tidak pernah bisa membuka perasaanku.

Aku mencatat kedalam kepalaku, prioritas utama sekarang adalah mencari tahu siapa orang yang ditemui Jossie hari itu.

"Jossie!" Seseorang meneriakkan namaku.

Aku menoleh, dari kejauhan terlihat Alex yang melambai kearahku. Aku balas melambai.

"Aku lapar." Teriaknya lagi.

Aku mengernyit. Lalu? apa hubungannya denganku?

"Ya terus?!" balasku juga berteriak.

"Makanan Korea. Ayo!" ajaknya.

Tanpa menunggu jawaban dariku Alex langsung berbalik. Aku menggeleng. Sikapnya memang sama sekali tidak bisa diduga. Hari dimana dia bilang akan menghabiskan waktunya untuk tidur sepuasnya, ternyata malah sibuk menempel padaku seperti lem super. Dia beralasan rasa kantuknya tidak sebesar kekhawatirannya padaku, takut aku tiba-tiba pingsan atau terkena serangan muntah efek dari Amnesia yang kualami. Baru setelah aku memberi ancaman akan membakar koleksi merchandise Infinity War miliknya, dia baru mau meninggalkan ku sendiri.

Aku berdiri, melipat dengan cepat selimut yang kujadikan alas duduk. Lalu segera berlari menyusul Alex. Karena terlalu sibuk mengumpulkan berbagai informasi tentang Jossie, aku sampai benar-benar lupa tentang janji kami kemarin. Ya, betul. Mendengar Alex menyebutkan restoran Korea tadi langsung membuatku merasa sangat lapar. Air liurku menggenang di dalam mulut, ketika bayangan kimchi segar dan aroma gochujang memenuhi isi kepalaku. Aku bisa melihat punggung Alex, jarak kami sudah tidak terlalu jauh. Dengan penuh semangat mempercepat langkah lariku, dan ketika sudah sampai disampingnya aku berhenti berlari. Napasku terengah-engah sambil berjalan menyamakan kecepatan langkah kami. Alex menuntunku ke arah garasi yang terletak dibagian timur di sebelah belakang bangunan utama Manor. Garasinya cukup luas dan baru dibangun akhir tahun 1940'an. Tidak heran bangunannya tampak jauh lebih modern. Sangat kontras dengan Manor. Aku meletakkan selimut yang kubawa diatas meja yang terletak di dekat pintu masuk garasi. Alex masuk kedalam salah satu mobil. Sebuah Mini SUV berwarna abu-abu gelap. Aku bukan maniak otomotif, tapi aku cukup familiar dengan beberapa merek mobil. Seperti yang satu ini adalah keluaran Audi, dengan seri bernama Q3. Aku segera masuk ke kursi penumpang. Sambil memasang sabuk pengaman, sekilas aku menjelajahi interior dalam mobil yang juga berwarna abu-abu gelap berpadu dengan warma hitam. Begitu mesin mobil menyala Alex langsung menyalakan pemanas, aku melihatnya mengatur GPS.

"Kau mau mendengarkan musik?" tanya dia sambil masih mengutak-atik layar di dashboard.

"Aku boleh memilih musiknya? Benarkah?" bukannya menjawab aku justru balik bertanya.

Alex terkekeh pelan.

"Lakukan semaumu Jossie, yang penting jangan membakar koleksi Marvelku." jawabnya sambil nyengir kearahku.

Aku memukul lengannya pelan.

"Hei, aku tidak benar-benar serius akan melakukannya. Waktu itu aku hanya merasa risih denganmu yang terus saja merecokiku." aku memprotes.

Kali ini Alex tertawa keras mendengar omonganku. Masih sambil tertawa dia menghadap sepenuhnya kearahku. Dan tiba-tiba meraih wajahku dengan kedua tangannya. Aku tertegun. Tawanya sudah berhenti. Dia menatapku dengan sorot mata yang sudah lama tidak pernah aku lihat. Terakhir kali aku melihat seseorang menatapku seperti itu adalah saat Mom hendak pergi ke acara pernikahan temannya. Hari dimana kecelakaan itu terjadi dan merenggut milikku yang paling berharga di dunia ini. Kedua Orang Tuaku.

Sekarang Alex, tengah menatapku dengan pandangan yang sama persis dengan Mom waktu itu.

"Apapun. Kau boleh melakukan apapun. Kecuali satu. Jangan pernah membuatku ketakutan seperti malam itu. Aku seperti orang gila mengira kau sudah pergi meninggalkanku. Kau tahu, kurasa pepatah kuno itu benar adanya. Kita tidak pernah sadar seseorang sangat berharga dalam hidup kita, sampai akhirnya kita kehilangan mereka."

Suaranya terdengar lirih, seolah dia sendiri merasa takut untuk mengungkapkan perasaannya. Alex masih menatapku. Menunggu. Aku menelan ludah, susah payah mengendalikan ledakan emosi yang saat ini tengah bergemuruh di dalam diriku. Aku hanya bisa mengangguk pelan sebagai bentuk jawaban atas permintaannya. Alex tersenyum, mengusap puncak kepalaku dengan gemas. Sebelum kembali memposisikan tubuhnya menghadap kemudi.

Dia kembali mengatur playlist musik yang terhubung dengan salah satu aplikasi berbayar. Ketika tampak satu judul yang familier aku menghentikan tangannya.

"Yang ini. Aku suka lagu ini." Ucapku tiba-tiba dengan semangat tinggi.

"Aku tidak tahu kau suka musik Korea." Alex menatapku dengan wajah bertanya.

Dalam hati aku mengutuk pelan kebodohanku sendiri.

"Well, mungkin aku pernah mendengarkan lagu ini berasama Jieun?" jawabku asal-asalan sambil mengangkat bahu, berusaha bersikap sealami mungkin.

Alex menggeleng.

"Mungkin saja kau mulai memperlihatkan sisi dirimu yang paling dalam. Siapa tahu? Ini adalah dirimu yang hanya sedikit orang saja yang tahu? Makanan Korea, dan sekarang Musik Korea. Sepertinya menyenangkan." Alex mulai mengemudi.

Mobil perlahan keluar meninggalkan garasi. Paman Giuseppe terlihat tengah berjalan kembali dari arah depan bersama Dad. Alex membunyikan klakson pelan, dan mereka berdua melambaikan tangan ke arah kami. Aku balas melambai. Tersenyum puas, karena sebentar lagi aku bisa menikmati makanan yang ternyata sudah aku rindukan beberapa hari ini.

Begitu mendekati gerbang aku menoleh kearah Alex, dia terlihat fokus mengemudi sambil mengetukkan jarinya mengikuti irama dari musik yang aku pilih. Aku nyengir melihat dia rupanya menyukai lagu ini.

Lagu dari salah satu Grup Musik favoritku, TXT yang berjudul "Run Away" menemani perjalanan kami sore ini.