Aku bisa merasakan dengan jelas lidah api yang terus menerus menjilati setiap jengkal tubuhku.
Panas, perih, menyakitkan.
Hingga bahkan untuk berteriak pun aku sudah tidak sanggup. Kenapa aku masih sadar sampai sekarang. Dari yang pernah aku baca, ketika ajal sudah dekat kau akan mulai melihat kilas balik seluruh hidup mu. Sepertinya kilas balik itu sudah dimulai. Aku menatap tangan ku, tapi anehnya terlihat seperti tangan mungil yang hanya dimiliki oleh bayi, didepanku ada kedua orangtua ku. Mereka terlihat sangat bahagia.
Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku bisa melihat mereka?
Mom, Dad.
Sudah satu tahun berlalu, sejak hari itu. Hari dimana kecelakaan sialan itu terjadi.
Adegan berlanjut dengan hari dimana aku memakai seragam sekolah untuk pertama kalinya. Kemeja warna putih dan dress terusan warna biru malam, aku bahkan bisa melihat pita warna putih bertengger manis diatas kepalaku yang masih kecil. Senyumku muncul saat aku melihat bayangan diriku di cermin. Berbanding terbalik dengan diriku yang sekarang tengah melihat moment ini sekali lagi, aku yang dulu itu sudah lama lenyap, semua keceriaan dan kepolosan kanak-kanak itu sudah tidak ada lagi.
Tiba-tiba adegan berganti, aku melihat orang lain yang sama sekali belum pernah kutemui dimanapun. Seorang gadis yang mungkin seumuran denganku, hanya saja dia sangat cantik, terlalu cantik hingga rasanya menyakitkan. Setidaknya bagiku. Dia tengah berdiri di depan tebing dengan pandangan kosong menatap lautan. Rambutnya yang panjang berwarna perunggu bergerak liar tertiup angin kencang. Sama seperti tadi tiba-tiba semua penglihatan ini berganti dengan adegan baru. Hanya saja kali ini aku bukan hanya sekedar melihat, tapi aku ikut merasakan semuanya. Aku tidak bisa bernapas, semuanya gelap gulita. Api yang tadinya melalap ku dengan rakus menghilang entah kemana, rasa panas menyakitkan yang menyayat tubuhku berganti tusukan tajam. Ribuan, tidak, aku tidak bisa mengira-ngira, rasanya tubuhku seperti ditusuk tanpa henti dari berbagai arah. Apakah aku sudah mati? bukankah seharusnya kematian itu damai? kenapa aku masih terus disiksa seperti ini? apa aku sekarang berada di neraka?
Ya. Itulah satu-satunya jawaban yang masuk akal dari semua ini. Aku mengerjapkan mata, terlihat sesuatu, seperti bergerak ke arahku. bayangan hitam kelam. Kau bisa bayangkan segelap apa warnanya hingga bahkan aku bisa melihat jelas bentuk nya di tengah-tengah kegelapan ini. Seperti kain hitam yang merayap ke arahku. Ketika bayangan itu semakin dekat aku merasakan hentakan yang teramat menyakitkan dari dalam dadaku. Seperti ada yang menarik paksa jantungku tepat dari dalam tubuhku sendiri. Sakit. Aku sudah tidak bisa bertahan lagi, jika seperti ini siksaan yang harus aku jalani selamanya di Neraka, aku tidak mau mati. Tidak sekarang. Tolong, kumohon tolong aku.
Tolong berikan aku satu kesempatan lagi untuk hidup kembali.
Aku mohon tolong selamatkan aku, siapapun. Tuhan. Dewa.
Siapapun.
Aku terbangun. Tiba-tiba.
Dadaku sesak, jangankan bicara, aku mati-matian megap-megap berusaha menarik masuk tiap Oksigen yang bisa kuhirup.
Tapi kedua mataku bisa melihat dengan jelas. Langit malam tanpa bintang, bulan tidak terlihat di manapun. Perlahan awan yang lebih gelap dari langit pun bergulung-gulung diatas ku. Tidak bisa lebih lama menatap langit karena tiba-tiba saja aku merasakan tangan seseorang di wajahku. Aku menoleh kearah orang tersebut, pasti dia yang menolongku.
Yang pertama aku lihat adalah wajah tampan seorang pria asing yang menatapku dengan penuh rasa syukur.
"Jossie, syukurlah."
Dia menangis, sesenggukan. Tangannya dengan lembut membelai wajahku, menyingkirkan rambut yang menghalangi pandangan.
"Syukurlah. Ya Tuhan! Kau sadar, syukurlah."
Kemudian langkah kaki berlari mendekat ke arah kami. Beberapa langkah kaki. Oke, seseorang sudah menghubungi 911 kan? aku butuh perawatan medis.Tubuhku terasa sakit luar dalam. Ketika mulai mendekati tempat kami berada langkah-langkah tersebut perlahan melambat. Aku terganggu dengan sinar senter yang tiba-tiba diarahkan ke wajahku.
"Ketemu! Mereka disini! Hubungi ambulans sekarang!"
Seorang pria dengan mantel kulit panjang mulai memberi perintah kepada orang lain disebelahnya. Mungkin polisi, pikirku.
"Jossie, kau terluka parah? Kau bisa mendengarku kan?"
Pria yang kulihat pertama kali tadi kembali menarik perhatianku. Siapa? Jossie? Tapi dia berbicara pada ku. Aku mungkin linglung tapi jelas-jelas dia tidak sedang berbicara dengan orang lain.
"Jossie?"
Hah? siapa Jossie? itu bukan namaku.
Pria bermantel kulit ikut duduk di sebelahnya, menepuk bahunya pelan.
"Pelan-pelan Alex. Dia pasti masih syok." Tegurnya kepada pria yang sedari tadi berbicara kepadaku.
Jadi namanya Alex. Aku tidak kenal siapapun bernama Alex selain Kakek yang tinggal di lantai dasar apartemen tempatku tinggal. Jadi, siapa dia. Pria bernama Alex menoleh sebentar mendengar kalimat tersebut. Dia mengangguk pelan. Kemudian kembali menatapku. Dielusnya lembut kepalaku. Sangat lembut seolah-olah takut aku bisa retak kapan saja jika dia tidak mengontrol kekuatannya.
"Tidak apa-apa, Jossie. Kau aman sekarang." Dia kembali memanggilku dengan nama asing itu.
Apa-apaan. Aku hendak memprotes, mengatakan kalau dia salah orang. Mungkin tadi saat menyelamatkanku kepalanya terbentur sangat keras dan dia tidak menyadari itu.
"Ambulans sudah datang." Kata pria bermantel kulit.
Aku merasakan tubuhku terangkat. Alex membopongku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat wajahnya lebih jelas. Raut wajahnya hanya menunjukkan satu ekspresi. Khawatir.
"Tolong katakan pada Orang Tua kami Jossie bersamaku." Alex berkata kepada pria bermantel kulit.
Oke. Siapa sih namanya. Aku tetap yakin pada firasatku kalau dia adalah polisi atau semacamnya. Pria itu mengangguk lalu menuntun kami dengan berjalan sedikit lebih di depan.
Kami berjalan tidak terlalu jauh. Baiklah. Alex yang berjalan. Aku terjebak dalam gendongannya. Tubuhku terlalu lemah bahkan untuk sekedar bicara pun aku tidak bisa. Mungkin benar aku mengalami syok. Aku menyerah. Kupejamkan kedua mataku. Perlahan-lahan kembali ke alam bawah sadar.
Ketika tubuhku ditaruh diatas tandu, aku mendengar sayup-sayup suara orang-orang lain berbicara bersamaan. Sebuah tangan yang terasa berbeda dari tangan Alex menekan lengan bagian dalamku dengan pelan. Kemudian berpindah ke bagian pembuluh darah. Tim medis. Dalam hati aku bersyukur, aku benar-benar selamat. Sekarang karena yakin aku sudah berada ditangan yang tepat, aku melepaskan semua pikiran yang memenuhi kepalaku. Dan akhirnya benar-benar terlelap.
Begitu aku sadar, besok atau entah kapan, aku akan menjelaskan kepada Alex kalau aku bukan Jossie.
________________________
Suara hujan membawaku kembali ke dunia nyata. Mataku masih terpejam, tapi perlahan-lahan inderaku yang lain mulai bekerja. Aku bisa mendengar suara hujan diluar. Tubuhku masih menggigil, aku melenguh. Tangan kananku perlahan meraba-raba berusaha masuk kedalam selimut yang hangat. Aku merasakan seseorang membantuku. Dengan lembut diaturnya selimut agar menutupi seluruh tubuhku hingga ke leher.
Aku merasakan dia duduk disamping kanan. Dia membelai kepalaku lembut. Persis seperti pria yang kemarin menolongku. Siapa namanya. Alex, kalau tidak salah. Aku membuka mata. Dan benar saja memang dia yang sekarang duduk disampingku.
"Bagaimana keadaanmu? Yang mana yang masih sakit?" tanyanya.
Aku mencoba menjawab. Tenggorokanku terasa perih, tapi aku harus tetap melakukannya. Karena sudah saatnya menjelaskan kesalah pahaman yang kemarin.
"Semua terasa sakit. Tapi, maaf kau siapa?" suara yang keluar dari mulutku terdengar asing. Mungkin karena aku belum pulih.
Alex menatapku terkejut. Dia menegakkan posisi duduknya.
"Jossie. Kau tidak mengenaliku?" tanyanya ragu-ragu.
Aku menggeleng.
"Aku minta maaf, sepertinya kau salah orang. Namaku Hannah. Hannah Fitz. Bukan Jossie." jawabku.
Aku bisa melihat dia menegang. Wajahnya berubah dari khawatir menjadi kalut.
"Tunggu. Aku akan memanggil dokter." Dia berkata sambil menekan tombol biru yang berada di tembok dekat kepala ranjangku.
Aku memandang sekelilingku. Ini Rumah Sakit, sudah jelas. Tapi yang membuatku terkejut adalah fasilitas yang ada di dalamnya. Tadinya aku pikir ini adalah bangsal umum biasa. Tapi ternyata aku berada di kamar VIP. Hanya ada satu ranjang pasien, dan itu sedang aku tempati. Lalu dua buah sofa panjang berwarna cokelat di dekat pintu. Dan ada lukisan yang menggambarkan pemandangan laut biru yang sangat cantik. Oke, aku harus membayar berapa untuk semua ini.
Pintu terbuka. Seorang dokter pria masuk bersama dengan dua orang perawat pria dan wanita. Alex berdiri melihat kedatangan mereka, dan langsung menghampiri dokter tersebut.
"Dia tidak mengenaliku. Bahkan mengatakan hal tidak masuk akal kalau namanya Anna atau siapa, entahlah." ujarnya dengan nada putus asa.
Aku mengernyit mendengar dia salah menyebutkan namaku.
"Bukan Anna tapi Hannah. H-A-N-N-A-H. Hannah Fitz." tegurku.
"Lihat? Apa yang terjadi pada adikku? Apa dia kena amnesia?" Tangan Alex mengepal mendengarkan ucapanku.
Tunggu dulu. Adik? Sejak kapan aku punya Kakak? Aku ini anak tunggal.
"Biarkan kami periksa dulu. Kau tenang saja." Dokter tersebut berusaha menenangkan dia.
Alex mundur. Membiarkan mereka melakukan pemeriksaan apapun kepadaku.
"Jadi Jossie, Kau benar-benar tidak ingat dengan Alex?" tanya Dokter.
Aku mengeluh. Lagi-lagi.
"Harus berapa kali aku bilang. Namaku Hannah. Aku tidak amnesia atau apapun. Kepalaku memang terbentur waktu kecelakaan bus tapi aku masih ingat dengan jelas siapa aku." jawabku sedikit kesal.
"Kecelakaan bus? Apa yang kau bicarakan? Kau itu hampir tenggelam." Alex kembali menjawab.
Aku menatapnya. Kali ini benar-benar bingung. Tunggu dulu. Aku memang ingat samar-samar waktu api membakarku hidup-hidup tiba-tiba seluruh keadaan berubah drastis. Tidak ada api dan rasa panas yang perih menyiksa. Tapi rasanya seperti, seperti.....tenggelam.
Aku menegang. Pikiranku berusaha mencerna segala kemungkinan. Bahkan ada teori yang sangat gila karena melibatkan plot dari film.
"Boleh aku melihat cermin?" tanyaku tiba-tiba.
Hening. Semua orang menatapku, bahkan perawat wanita yang tadi sibuk mengecek lembar pasien milikku kini berhenti.
"Tentu saja. Sebentar aku ambilkan dulu." Dokter yang menjawab.
Tapi Alex yang sudah lebih dulu mengatasi keterkejutannya, mengulurkan cermin kecil berbentuk persegi. Aku menerimanya. Tanganku bergetar. Saat ini di kepalaku ada dua kemungkinan. Dan apapun jawabannya nanti, aku tidak boleh panik atau ceroboh. Masih sambil berusaha memantapkan hati, perlahan aku mengarahkan cermin ke wajahku. Dan benar saja. Aku sama sekali tidak mengenali sosok yang menatapku balik dari dalam cermin.
Semua orang bergeming, menunggu reaksiku. Aku sadar benar akan hal itu.
Jangan panik.
Aku mengingatkan diriku sendiri.
Apa aku bahkan masih di planet bumi.
Jangan konyol.
Hell, seluruh kejadian ini sudah lebih dari sekedar konyol. Ini sinting.
Tapi tunggu, aku memang tidak kenal dengan gadis yang, entah bagaimana saat ini tubuhnya aku pakai. Tapi aku merasa pernah melihatnya. Sebuah ingatan samar. Seperti berusaha mengingat mimpi.
Itu dia.
Ini gadis yang sama yang aku lihat sekilas ketika aku diambang kematian. Rambut panjang berwarna tembaga, tubuh ramping tinggi dan matanya, matanya biru terang. Aku menyentuh pipiku. Perlahan. Dan tanpa sadar memandangi tanganku. Kulit putih pucat. Sama seperti warna kulitku sendiri. Tapi terlihat sekali perbedaannya. Meskipun luka-luka akibat tenggelam di laut masih sangat baru tapi kulitnya terasa berbeda. Lembut. Dan terawat. Jelas sekali bukan kulitku. Aku menyentuh rambutku, well saat ini anggap saja rambutku sendiri. Teksturnya lembut dan bervolume. Gelombangnya berbentuk alami seperti ombak kecil, tidak ada ujung bercabang seperti rambutku yang sesungguhnya. Aku menghela napas pelan. Jadi, kesimpulannya. Aku entah bagaimana ceritanya, saat ini berada di dalam tubuh gadis bernama Jossie. Ya aku yakin itu adalah namanya. Penjelasan yang paling masuk akal kenapa Alex bersikeras memanggilku dengan nama itu.
Mataku terbuka. Aku baru ingat kalau aku tidak sedang sendirian.
"Ehemm." aku berdehem, dengan maksud untuk mencairkan suasana yang tegang.
"Aku masih mengantuk. Boleh aku tidur lagi?" tanyaku sembari menyerahkan cermin kembali kepada Alex.
"Tentu saja. Aku memang hendak memberimu obat tidur lagi. Kau butuh istirahat lebih banyak dari biasanya." Dokter menjawab, terdengar lega.
Aku membaringkan tubuhku kembali. Mendongak sedikit ketika perawat pria menyuntikkan obat ke selang infusku. Baiklah. Kalau memang seperti ini jadinya, aku ingin tidur dulu. Sebelum harus mulai menghadapi kehidupan baruku.
"Kau yakin tidak apa-apa? Aku tetap merasa khawatir." Alex berbicara pelan kepada Dokter.
"Dia mengalami amnesia sementara, kemungkinan akibat dari syok karena tenggelam. Hasil tes tidak menunjukkan adanya cedera di bagian kepala. Aku akan menjadwalkan tes ulang secara menyeluruh." Dokter berusaha meyakinkan Alex.
"Aku....Aku..." Alex terbata-bata. Dia terlihat sangat rapuh.
Dokter menyentuh pundaknya.
"Apapun hasilnya nanti. Ingat, yang terpenting adalah dia selamat. Dia masih hidup. Kalau bukan karena kau, mungkin kita semua sudah terlambat." Kata-kata Dokter berhasil memberi pengaruh hebat kepadanya.
Alex menatapnya, kemudian beralih menatapku. Aku bisa melihat ada banyak hal berkecamuk dalam pikirannya saat ini. Ya. Bukan salah dia. Bagaimanapun sekarang ini ada orang yang benar-benar asing tengah berada di dalam tubuh Adiknya. Fakta ini membuatku merasa kasihan padanya. Kami tidak saling kenal tapi cara dia memperlakukan ku selama ini, dia benar-benar peduli pada Jossie. Entah akan seperti apa reaksinya kalau tahu bahwa aku bukanlah Adiknya. Pikiranku mulai kabur, perlahan, efek dari obat yang diberikan tadi mulai terasa. Aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi dengan jelas. Samar-samar aku masih menyadari ketika Dokter dan dua perawatnya keluar dari ruangan. Dan Alex yang kembali duduk di sampingku. Mataku berat sekali. Aku menguap. Kepalaku dielus lembut.
Terima kasih.
Biar bagaimanapun aku berhutang pada Alex. Dia sudah menyelamatkan nyawaku. Walaupun sebenarnya aku tahu kalau dia bermaksud menyelamatkan Jossie, bukan aku. Baiklah. Ini dia tugasku. Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa aku bisa ada disini. Dan dimana keberadaan Jossie, pemilik tubuh ini yang sesungguhnya. Dalam hati aku berdoa, bahwa dengan cara apapun, Jossie masih hidup.