Sore tadi hujan lebat membasahi kota. Rintiknya masih terlihat dan rajin membasahi halaman depan rumah.
Langit cerah berwarna jingga menghiasi cakrawala. Dengan keras kepala, cahayanya melewati celah awan yang menghalangi. Kota seakan terkena sihir, membuat segar pemandangan sekelilingnya.
Sasa berdiri di dekat jendela kamarnya. Menatap kosong keluar. Sungguh, setitik hatinya ikut merasakan ketenangan melihatnya. Potret di depannya tersuguh dengan begitu romantis.
Sejak kecil ia menyukai suasana sore di kotanya. Sasa bukan tidak merindukan ketenangan itu, sisi lain hatinya selalu ikut campur menghardik senja. Menjadikan fenomena alam itu terlihat biasa saja di matanya, bahkan membencinya, selama bertahun-tahun. Dan semakin parah setelah kehilangan demi kehilangan yang dialaminya.
Sasa butuh pelampiasan untuk kemarahannya terhadap takdir. Gadis itu sadar, menyalahkan atas senja adalah salah. Jika mengulang masa ke belakang, Sasa menyesali banyak hal.
Sejak kecelakaan yang menimpa Bima setahun yang lalu, Sasa tersadarkan. Mungkin, perpisahan dengan kakaknya terlalu berat baginya. Namun, ketika melihat ayahnya yang berjuang sendiri mengembalikan hari seperti sedia kala, rasanya terlalu egois baginya hanya memedulikan diri sendiri.
Suatu mendung, ia melihat ayahnya bersimpuh menyedihkan di pemakaman. Bahkan kakinya terlalu lemas untuk meneruskan langkah menghampiri. Ia kira, hanya dirinya sendiri yang merasakan kehilangan yang hebat. Setelah seminggu cuti, ayahnya bahkan bisa meneruskan hari dengan berangkat kerja seperti biasa. Beraktifitas layaknya seperti hari lalu, menjaga Sasa dalam keterpurukannya.
Sasa tidak tahu, kematian ibunya masih membekas dalam bagi ayahnya. Perasaan bersalah karena perpisahan yang seharusnya bisa diperbaiki. Sasa juga tidak tahu, betapa ayahnya mengutuk diri karena kebodohannya, menyalahkan kemalangan yang terjadi pada keluarganya.
Ayahnya selalu terlihat baik-baik saja di depannya. Itu yang Sasa tahu.
Sasa memang mulai berangkat sekolah, tapi tubuhnya terlalu kentara untuk memperlihatkan kedukaan. Memasuki awal baru di sekolah yang sama seperti kakaknya, itu bukan suatu paksaan yang datang dari dalam atau luar dirinya.
Sasa tidak bisa menggambarkan, betapa tersiksanya ia setelah kehilangan kakaknya tidak lama setelah kehilangan ibu. Kewarasan yang sering ia pertanyakan, apakah itu wajar? Apakah yang dirasakannya adalah hal yang biasa?
Sasa merasa ada yang mengganjal dengan kepribadian baru yang dimilikinya. Namun, bukankah seiring bertambahnya usia, wajar bila kita semakin menutup diri? Konon, semakin dewasa, diri kita membatasi tawa yang hadir dalam hidup. Entah benar atau tidak, ia ingin meyakini untuk saat ini. Setidaknya, itu membantunya untuk meyakinkan bahwa dirinya masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Ia hanya malas mencari alasan tawa dalam hidupnya.
Sasa merasa jika dalam sebuah cerita fiksi, ia adalah karakter paling menyebalkan bagi pembaca. Selalu menyusahkan pemeran utama pria dalam cerita roman. Karakter lemah yang seharusnya tidak memiliki tempat dalam cerita itu sendiri. Maka lebih baik, ia menepi dengan sukarela.
Lalu, saat ia bertemu kembali dengan sahabat kecilnya. Tidak mudah bagi mereka untuk memperbaiki hubungan. Jarak yang tercipta akibat kehilangan itu begitu menghantui.
Rentang keasingan yang tercipta tidak begitu lama, tetapi rasanya mereka seperti berpisah puluhan tahun.
Sasa tidak mendengar banyak kabar tentangnya setelah kecelakaan itu. Ia melihat siluet Satya di hari pemakaman. Yang membuatnya bersyukur bahwa sahabat kakaknya nampak baik-baik saja. Walau dengan beberapa luka yang tertutupi perban.
Saat dimana ia menyadari ada sesuatu yang tertinggal setelah pemakaman Bima, menginsafkan sesalnya. Ia datang dengan muka pucatnya yang disambut pelukan rindu dari bunda.
Satya keluar dengan senyuman yang terasa dipaksakan, terlihat pucat dan lusuh. Momen itu tidak pernah ia lupakan sampai detail terkecil.
"Maafkan aku." Kata pertama yang keluar setelah lama tidak bertemu.
Bukan seperti ini yang Sasa harapkan. Cukup hanya ia yang menyalahkan dirinya sendiri. Melihat ayahnya berduka dalam diam membuatnya merutuki.
Pria di depannya tidak seharusnya menambah beban penyesalan kepadanya. Tidak bisakah Sang Kehendak hanya memberikan duka kepadanya, tanpa melibatkan orang-orang yang berharga dalam hidupnya?
Saat itu, Sasa memohon dengan putus asa. Namun, langit berkehendak lain.
Dua insan manusia itu bersitatap dalam waktu yang lama. Tidak ada kata yang mampu untuk disampaikan lagi. Biar jiwa yang mewakili pertemuan mereka kali ini.
Saat itu, bagi Sasa maupun Satya, ada hal yang seharusnya mereka sadari. Rasa yang lebih dari sekadar teman kecil, sahabat, atau apa pun itu namanya. Detik itu adalah awal mula yang akan mereka pahami di masa depan. Definisi rasa yang hangat dan manis.
Sasa awalnya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya pada Satya setelah kecelakaan itu. Selama pertemanan mereka, Satya tidak pernah memperlihatkan sisi lemah dalam dirinya. Yang Sasa yakini bahwa semua akan baik-baik saja bagi jiwa tangguh seorang Satya.
Sampai ia mendesak Sarah untuk bercerita. Benar, keresahan yang hadir itu membawanya pada kenyataan lain. Satya menyaksikan langsung kejadian itu. Menampung kenangan menyakitkan itu sendirian.
Sasa tidak lagi bisa egois menghadapi garis takdir kehidupannya.
Maka sejak saat itu, ikrarnya untuk setidaknya tidak memberatkan hidup orang yang berharga baginya. Biarlah kanvas bening yang menyaksikan niat dalam hatinya.
Senja tidak bersalah dalam kehilangannya. Pemahaman berharga yang membantunya pulih secara bertahap.
Luka itu seharunya tertinggal jauh sejak kembalinya ia pada sang ayah. Menyadari betapa kekanakkannya dulu, Sasa tersenyum.
Pelajaran hidup yang ia dapatkan begitu berharga. Ia harus menghargai setiap hembusan napas yang diberikan Sang Pemberi dengan sebaik mungkin.
Walau belum seutuhnya pulih, Sasa menjadikan semua yang terjadi padanya adalah pembelajaran untuk mendewasakan diri. Bekal mahal menghadapi kerasnya dunia.
Harapnya tidak banyak, jika suatu saat ia harus menghadapi perpisahan lain, ia bisa menerimanya dengan lapang hati.
Sebab, Sasa tahu lebih dari siapa pun, setiap perpisahan yang dialaminya menyisakkan luka. Tidak mudah baginya untuk mengikhlaskan.
Apakah Sasa baik-baik saja mendengar niat Satya untuk mendaki lagi?
Memulai kembali asa yang sempat terputus
Sasa tidak tahu. Ia hanya berpura-pura. Untuk tetap terlihat tenang di depan Satya.
Satya lebih bersemangat setelah kembali dekat sama kamu.
Kata-kata Sarah terngiang jelas di kepalanya. Sarah banyak bercerita tentang anak semata wayangnya itu. Yang paling membekas bagi Sasa adalah bagaimana cara Satya mengatasi trauma yang begitu membekas dalam ingatannya.
Sejauh ini, ia berpikiran bahwa keadaan Satya membaik dan bisa berprilaku seperti biasa setelah kecelakaan itu. Selalu ceria saat bersamanya.
Sasa tidak tahu, tentang impian yang semakin redup.
Mereka sama-sama larut dalam kesedihan mendalam. Untuk Sasa, ia kehilangan sosok kakak yang selalu ada di sampingnya dalam setiap keadaan. Saat peran orang tuanya menghilang, Bima memerankannya untuk Sasa.
Sedangkan untuk Satya, ia kehilangan sosok sahabat yang sangat peduli padanya. Sahabat yang menjadi orang pertama membelanya saat semua orang menghakimi. Sahabat sekaligus rival di sekolah.
Dulu Sasa berpikir bahwa hidupnya sama sekali tidak mudah. Kepahitan demi kepahitan menimpanya. Ia masih belia untuk memahami semua peristiwa. Hingga menyalahkan, kenapa ia tidak bisa hidup layaknya temannya yang lain?
Kenapa trauma itu malah menghantuinya?
Bahkan sekarang. Senja itu masih mengingatkannya pada kenangan buruk.
Sasa sering melihat berita kecelakaan yang dialami para pendaki. Bagaimana jika sesuatu terjadi saat Satya mendaki?
Lalu kenapa ia mengijinkan begitu saja keinginan Satya?
Ada binar kebahagiaan yang terlihat dari Satya saat menyampaikan hal itu.
Sasa ingin menghadirkan tawa yang tulus itu pada Satya. Bukan kebahagiaan yang dibuat-buat.
Hanya saja, ketakutan itu sulit untuk ditepisnya.
Bagaimana jika Satya pergi saat ia begitu bergantung padanya?
_____
Scientory (ツ)