"Perempuan itu datang lagi, tapi tidak sendiri."
Sasa menahan sesak di dadanya. Praduganya sangat menyebalkan.
Apakah ayahnya berbohong selama ini? Bukankah ayahnya pernah bilang, bahwa hubungannya hanyalah kesalahan sesaat? Mereka bahkan tidak pernah berhubungan lebih jauh daripada rekan sekantor yang saling tertarik. Tidak sampai membuat kesalahan besar seperti itu.
"Dia mencari ayah ke kantor sambil membawa anaknya, membuat keributan. Sungguh, ayah bersumpah kalau anak yang bersamanya bukan hasil hubungan kami."
Sasa memejamkan mata sejenak. Tidak tahu arah pembicaraan ayahnya. Lalu kenapa ia memutuskan untuk pergi jauh meninggalkan kota ini? Permasalahan selesai jika ayahnya meluruskan semua kesalahpahaman.
"Keluarganya sedang mengalami kesulitan ekonomi, suaminya pergi entah kemana. Terpaksa melakukan keributan di kantor untuk menemui ayah."
Sasa kali ini mencoba untuk memahami. Tetapi, haruskah ayahnya yang berkorban?
Dulu, saat semua permasalahan terselesaikan dan ayahnya memutuskan untuk meninggalkan selingkuhannya, perempuan itu keluar dari pekerjaannya. Terungkap, ada maksud terselubung dalam mendekati Adi.
"Lalu kenapa Ayah harus dipindahtugaskan ke Aceh? Ayah tidak bersalah disini."
Adi menatap Sasa sendu. Merasa bersalah akan keputusan yang dibuatnya.
"Maafkan, Ayah."
Adi tidak bisa menjelaskan lebih jauh. Tidak tega jika Sasa harus merasakan sakit hati yang sama dengannya.
Semua fitnah yang perempuan itu lantangkan di lobi gedung perusahaan, sudah terselesaikan. Namun, desus jelek antara para karyawan tidak menghilang begitu saja, walau direktur utama yang terjun langsung mengklarifikasi.
Kemarin, saat ia rapat bersama direksi perusahaan, ia memutuskan untuk mengambil posisi kosong di salah satu cabang di Aceh. Banyak rekan yang menyayangkan keputusannya untuk mengisi posisi yang sebenarnya jauh dari pencapaiannya di kantor pusat. Ia sudah menempati jabatan tinggi hasil kerja kerasnya. Permasalahannya sudah terselesaikan, namanya sudah bersih dari fitnah itu. Lalu, kenapa ia tiba-tiba memilih opsi yang menjatuhkan dirinya sendiri?
Sebenarnya sudah sejak lama ia menginginkan untuk dipindahkan ke tempat kelahirannya itu. Merintis cabang yang belum lama dibuka. Sekaligus mengistirahatkan raga setelah sekian lama tersiksa akan perasaan bersalah pada semua orang terdekatnya. Menebus semua kesalahan yang telah ia perbuat.
Bukankah itu hal yang baik jika Sasa bisa bertemu dengan keluarga Adi setelah lama mereka tidak berkunjung walau sekedar untuk liburan?
Kekecewaan keluarganya karena kesalahan yang ia buat di masa lalu, membuat hubungannya pun kurang baik. Belasan tahun Sasa tidak lagi mengunjungi keluarga ayahnya. Disana, ia berharap Sasa bisa menyembuhkan lukanya. Berkumpul dengan keluarga intinya dan memulai hidup yang lebih baik.
Sebagai seorang Ayah, ia juga ingin menghabiskan banyak waktu bersama anaknya. Di kota, seringkali mereka hanya sempat bertatap di pagi hari tanpa sapa malam sepulang kerja.
Semua kejadian di masa lalu membuatnya banyak mengambil pelajaran. Setidaknya, sisa hidupnya bisa ia maksimalkan untuk menjaga Sasa.
Adi hanya tidak tahu cara menebus semua kesalahannya selain harus mensyukuri apa yang ia punya sekarang.
"Ayah tidak akan memaksamu. Jika pun kamu tidak setuju, ayah akan membatalkannya."
Sasa menatap Adi dalam.
"Ayah..," ucap Sasa pelan. "Aku menyukai kota ini."
Sejak Adi menghadapi dilema yang dihadapinya, ia berjanji satu hal. Semua keputusan tergantung setuju atau tidaknya Sasa.
"Suatu saat kita akan kembali dalam keadaan lebih baik. Ayah, mari kita memulai hidup baru dan berpisah sejenak dengan setiap kenangan menyakitkan di kota ini. Jika nanti mengharuskan untuk pulang, aku berharap saat itu kita bisa mengenang semua kenangan dengan senyuman. Menjenguk Kak Bima dan ibu tanpa perasaan bersalah."
Adi tidak bisa menahan air matanya keluar. Tumpah emosinya untuk pertama kali di depan Sasa. Berdoa, semoga masa itu segera hadir dalam kehidupan mereka.
Jika bisa, ia ingin memperlihatkan sisi baiknya sampai akhir. Sama seperti Sasa yang selalu berusaha memperlihatkan sisi dewasa. Melupakan tuntutan dan perhatian di usia remajanya.
***
Satya memerhatikan kelakuan Sasa yang terlihat berbeda.
Dia menyembunyikan sesuatu.
Pagi ini, mereka berdua sedang menemani bunda di dapur yang sedang sibuk memenuhi pesanan kue dari pelanggan. Ya, karena banyak permintaan dari kerabat dan tetangga yang mengakui rasa dari kue buatannya, akhirnya Sarah memutuskan untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Banyak sekali yang memesan. Padahal ini pertama kalinya memulai berbisnis di rumah.
"Sudah sana, kalian istirahat saja. Sisanya biar bunda bereskan," perintah Sarah mengambil alih ovenan yang masih berjalan. Dua kali pemanggangan lagi. Sambil menunggu ia bisa membereskan sisa kekacauan di dapur.
Satya mengangguk. Sejak tadi ia memang ingin segera selesai membantu pekerjaan bundanya. Perasaannya tidak enak melihat kelakuan gadisnya itu.
Sasa ikut mengangguk, menurut. Beranjak menuju taman belakang tanpa menghiraukan tatapan heran Satya.
Selang beberapa menit, Satya bergabung sambil membawa potongan kalzona hangat yang baru saja ia ambil dari pemanas sajian. Makanan kesukaan Sasa. Ia sengaja menyimpan persediaannya di kulkas untuk dihidangkan jika Sasa bermain ke rumah.
Namun, jauh dari perkiraannya, Sasa hanya melirik sebentar kalzona di sebelahnya. Tidak tertarik. Lagipula ia sudah kenyang dengan mencoba kue yang mereka buat tadi.
"Ini makanan kesukaan kamu loh, Sa."
Sasa mengerucutkan bibirnya, menggeleng.
"Kamu sakit?" Satya menyesap lemon hangat yang ia sajikan bersamaan dengan kalzona. Matanya masih awas memerhatikan Sasa.
"Aku sudah sehat bugar."
Satya menyodorkan cangkir satunya lagi. Untuk Sasa.
"Kamu ada masalah?"
Sasa melirik kearah Satya. Keningnya mengerut.
"Aneh saja, biasanya kamu tidak pernah menolak jika disodorkan makanan. Dalam keadaan apa pun."
Sasa mendengus. Tidak bisa menyangkal perkataan Satya barusan. Ia mengakui bahwa dirinya penyuka segala makanan.
"Aku sudah kenyang. Tadi aku banyak mencicipi kue buatan bunda."
Banyak? Setau Satya, Sasa hanya memakan beberapa potong kue saja. Mungkin bisa dihitung dengan jari sebelah tangannya.
"Cerita saja jika ada yang ingin kamu sampaikan."
Sasa kembali melirik kearah Satya. Haruskah ia ceritakan masalahnya sekarang?
Satya terlihat menunggu.
"Aku lihat kalender Kakak waktu nengok tempo hari."
Sebelah alis Satya terangkat. Kalender?
"Maksud kamu?"
Satya belum paham. Apakah ia melakukan kesalahan atau melupakan sesuatu?
"Kak Satya mau ngajak muncak ke Gede, kan? Kalau bisa jangan akhir tahun sekarang. Bulan ini bagaimana?"
Suasana hening. Waktu seakan berhenti sejenak bagi Satya.
Satya tampak terkejut. Matanya terbelalak kaget. Bukan lagi tentang rencananya yang ketahuan oleh Sasa. Gadis ini bahkan ingin memajukan tanggalnya? Disaat ia masih memikirkan bagaimana cara untuk mengajak Sasa agar ia mau ikut mendaki.
Apakah ia tidak salah dengar? Ini terlalu mendadak.
Terdengar suara sesapan minuman dari Sasa. Disaat Satya masih dengan keterkejutannya, gadis di sebelahnya malah bersikap santai.
"Maaf, aku tidak sengaja melihat kalender yang dipajang di sebelah pintu. Tulisan, 'Mengajak Sasa Muncak ke Gede Akhir Tahun Ini!' terlalu kentara untuk tidak terlihat bahkan walau hanya selewat."
Satya menelan ludahnya. Benarkah? Bundanya bahkan tidak pernah mengejeknya tentang hal ini. Selama ini ia berpikir hanya ia yang tahu rencananya. Atau ia terlalu bodoh untuk menyadari?
"Kamu, t-tidak sedang becanda, kan?" tanya Satya memastikan. Sasa mengangguk yakin.
Kecelakaan kecil kemarin, saat Satya kembali dari Gede, membuatnya semakin mengurungkan niat untuk mengajak Sasa mendaki. Sekarang, bahkan tanpa ia memohon pun Sasa langsung mengutarakan tanpa ragu.
Satya masih bertanya dalam hatinya. Dalam anggukan itu ada sesuatu yang coba Sasa sembunyikan. Ia tahu betul setiap gerak-gerik gadisnya itu. Kecenderungannya yang jarang mengeluarkan suara selain anggukan dan gelengan, membuat Satya memahami hal itu. Tanpa kata, ia bisa memahami semua maksud Sasa.
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin muncak?"
"Ingin saja. Mumpung libur masih lama juga."
"Serius?"
"Kak Satya seperti tidak percaya kalau aku bisa muncak."
"Bukan begitu," jawab Satya hati-hati. Satya tahu, Sasa bukan gadis lemah walau dari luar terlihat rapuh. Tidak, ia yang sejak kecil mengetahui bagaimana gadis itu tumbuh, yakin sekali jika Sasa bisa menaklukkan gunung dengan ketinggian hampir 3,000 mdpl itu.
Satya penuh perhitungan ketika memilih Gunung Gede sebagai tujuan. Sampai pada kesimpulan, sungguh, Sasa bahkan mungkin bisa menaklukkan Puncak Jayawijaya Papua sekalipun.
"Ayo minggu depan kita muncak!" seru Sasa girang. Tidak lagi menampakkan wajah sendunya.
Satya akhirnya mengangguk. Ikut senang ketika mendengar seruan gadisnya itu barusan. Pandangannya beralih pada pot bunga yang berjejer rapi di depan mereka.
Baiklah, untuk saat ini ia tidak akan banyak bertanya. Bukankah ini waktu yang bagus untuk menyembuhkan luka gadisnya?
***
Tentang rencana mutasi kerja ayahnya, Sasa hanya bisa menyetujui rencana ayahnya. Apalagi setelah menyadari senyuman lemah yang coba ayahnya sembunyikan. Entahlah apa yang harus ia lakukan kedepannya. Semua urusan ini terlalu mendadak baginya.
Sasa tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang direncanakan ayahnya. Ada kesungguhan dan ketulusan dalam setiap tindakan yang diambil ayahnya itu. Selama tidak ada yang tersakiti, Sasa bisa melakukan semua hal.
Masalahnya adalah Satya. Bagaimana ia menyampaikan tentang hal ini setelah perjuangan yang telah dilakukannya? Jika memikirkan itu kembali, Sasa semakin merasa bersalah. Rasanya, ia menjadi manusia paling tidak tahu malu setelah diperlakukan dengan amat baik oleh Satya. Bahkan untuk membalas budi mungkin ia tidak sempat.
Ayahnya mengatakan mereka akan pergi dalam waktu dekat. Ia tidak mempunyai waktu yang banyak. Tidakkah Satya akan merasa kecewa padanya?
Sebelumnya, Sasa tidak punya rencana saat mengatakan ia ingin mendaki gunung. Usulan itu datang secara spontan saat ia teringat tulisan di kalender kamar Satya, yang sebelumnya hampir ia lupakan karena kesibukan masa ujian akhir sekolah.
Sasa tidak bisa menyangkal bahwa semakin hari ia semakin tergantung pada lelaki jangkung itu. Semua usaha yang dilakukan Satya untuk menyembuhkan luka lamanya, mengingatkan ia kepada Bima. Ya, ia menyadari semua yang dilakukan Satya.
Jarak rumah yang dekat memungkinkan mereka untuk bisa bertemu setiap hari. Keputusan mendadak ini terpaksa membuat mereka berpisah. Jarak yang tak dekat, bisakah ia melewatinya?
Tentang ikrar yang pernah disinggung Satya, awalnya Sasa merasa itu berlebihan. Seharusnya dia tidak perlu menanggung tanggung jawab seperti yang dilakukan Bima.
Tapi sekarang, Sasa berharap lebih. Egonya menginginkan hal itu. Bahkan lebih dari keinginan, ia juga berpikir untuk memperjuangkan. Karena tanpa disadari, ia mulai berdamai dengan lukanya karena kehadian seorang Satya.
Jika ia bisa menolak, pasti sudah ia lakukan sejak semalam saat ayahnya datang dan mengutarakan permasalahan di kantornya. Ia tidak bisa egois hanya mementingkan dirinya sendiri. Dan memilih untuk tetap tinggal.
Dengan semua keadaan yang sudah terlanjur, bisakah? Atau ia hanya bisa menyerah dan menyembunyikan perasaannya lagi?
Sasa tersenyum kecut. Menyadari bahwa sepertinya ia handal dalam menyembunyikan perasaannya.
Saat ini, Sasa hanya perlu lebih mendalami perannya.
Bukan untuk lari. Sasa sadar, ia tidak bisa hanya menuruti egonya. Juga untuk melepaskan semua kenangan di kota kelahirannya, Sasa merasa perlu ikhtiar keras antara hati dan tindakannya.
Tidak mudah baginya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada semua yang telah membantunya bangkit kembali.
Tempat tinggal baru. Suasana baru. Lingkungan dan teman baru. Jika ia bisa melakukannya, maka semua akan baik-baik saja.
_____
Scientory (ツ)