Chereads / Luka Senja / Chapter 22 - Bonus Chapter

Chapter 22 - Bonus Chapter

Sore tadi hujan lebat membasahi kota. Rintik hujan masih terlihat dan rajin membasahi halaman depan rumah. Langit cerah berwarna jingga menghiasi cakrawala. Kota seakan terkena sihir, membuat segar pemandangan sekitar.

Sasa berdiri di dekat jendela kamarnya. Menatap kosong keluar. Sungguh, setitik hatinya ikut merasakan ketenangan melihatnya. Potret di depannya tersuguh dengan begitu romantis.

Sejak kecil ia menyukai suasana sore di kotanya. Sasa bukan tidak merindukan ketenangan itu, sisi lain hatinya selalu ikut campur menghardik senja. Menjadikan fenomena alam itu terlihat biasa saja di matanya, selama bertahun-tahun. Dan semakin menjadi parah setelah kehilangan demi kehilangan yang dialaminya.

Sasa butuh pelampiasan untuk kemarahannya terhadap takdir. Gadis itu sadar, menyalahkan atas senja adalah salah. Jika mengulang masa ke belakang, Sasa menyesali banyak hal.

Sejak kecelakaan yang menimpa Bima setahun yang lalu, Sasa tersadarkan. Mungkin, perpisahan dengan kakaknya terlalu berat baginya. Namun, ketika melihat ayahnya yang berjuang sendiri mengembalikan hari seperti sedia kala, rasanya terlalu egois baginya hanya memedulikan diri sendiri.

Suatu mendung, ia melihat ayahnya bersimpuh menyedihkan di pemakaman. Bahkan kakinya terlalu lemas untuk meneruskan langkah menghampiri. Ia kira, hanya dirinya sendiri yang merasakan kehilangan yang hebat. Setelah seminggu cuti, ayahnya bahkan bisa meneruskan hari dengan berangkat kerja seperti biasa. Beraktifitas layaknya seperti hari lalu, menjaga Sasa dalam keterpurukannya.

Sasa tidak tahu, kematian ibunya masih membekas dalam bagi ayahnya. Perasaan bersalah karena perpisahan yang seharusnya bisa diperbaiki. Sasa juga tidak tahu, betapa ayahnya mengutuk diri karena kebodohannya, menyalahkan kemalangan yang terjadi pada keluarganya.

Ayahnya selalu terlihat baik-baik saja di depannya. Itu yang Sasa tahu.

Sasa memang mulai berangkat sekolah, tapi tubuhnya terlalu kentara untuk memperlihatkan kedukaan. Memasuki awal baru di sekolah yang sama seperti kakaknya, itu bukan suatu paksaan yang datang dari dalam atau luar dirinya.

Sasa tidak bisa menggambarkan, betapa ia terpuruk setelah kehilangan kakaknya tidak lama setelah kehilangan ibu. Kewarasan yang sering ia pertanyakan, apakah itu wajar? Apakah yang dirasakannya adalah hal yang biasa?

Sasa merasa ada yang mengganjal dengan 'kepribadian baru' yang dimilikinya. Namun, bukankah seiring bertambahnya usia, wajar bila kita semakin menutup diri? Konon, semakin dewasa, diri kita membatasi tawa yang hadir dalam hidup. Entah benar atau tidak, ia ingin meyakini untuk saat ini. Setidaknya, itu membantunya untuk meyakinkan bahwa dirinya masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah kecuali sifat cerianya.

Sasa merasa jika dalam sebuah cerita fiksi, ia adalah karakter paling menyebalkan bagi pembaca. Selalu menyusahkan pemeran utama pria dalam cerita roman. Karakter lemah yang seharusnya tidak memiliki tempat dalam cerita itu sendiri.

Lalu, saat ia bertemu kembali dengan sahabat kecilnya. Tidak mudah bagi mereka untuk memperbaiki hubungan. Jarak yang tercipta akibat kehilangan itu begitu menghantui.

Rentang keasingan yang tercipta tidak begitu lama, tetapi rasanya mereka seperti berpisah puluhan tahun.

Sasa tidak mendengar banyak kabar tentangnya setelah kecelakaan itu. Ia melihat siluet Satya di hari pemakaman. Yang membuatnya bersyukur bahwa sahabat kakaknya nampak baik-baik saja. Walau dengan beberapa luka yang tertutupi perban.

Saat dimana ia menyadari ada sesuatu yang tertinggal setelah pemakaman Bima, menginsafkan sesalnya. Ia datang dengan muka pucatnya yang disambut pelukan rindu dari bunda.

Satya keluar dengan senyuman yang terasa dipaksakan. Momen itu tidak pernah ia lupakan sampai detail terkecil.

'Maafkan aku.' Kata pertama yang keluar setelah lama tidak bertemu.

Bukan seperti ini yang Sasa harapkan. Cukup hanya ia yang menyalahkan dirinya sendiri. Melihat ayahnya berduka dalam diam membuatnya merutuki.

Pria di depannya tidak seharusnya menambah beban penyesalan kepadanya. Tidak bisakah Sang Kehendak hanya memberikan duka kepadanya, tanpa melibatkan orang-orang yang berharga dalam hidupnya?

Saat itu, Sasa memohon dengan putus asa. Namun, langit berkehendak lain.

Dua insan manusia itu bersitatap dalam waktu yang lama. Tidak ada kata yang mampu untuk disampaikan lagi. Biar jiwa yang mewakili pertemuan mereka kali ini.

Saat itu, bagi Sasa maupun Satya, ada hal yang seharusnya mereka sadari. Rasa yang lebih dari sekadar teman kecil, sahabat, atau apa pun itu namanya. Detik itu adalah awal mula yang akan mereka pahami di masa depan. Definisi rasa yang hangat dan manis.

Sasa awalnya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya pada Satya setelah kecelakaan itu. Selama pertemanan mereka, Satya tidak pernah memperlihatkan sisi lemah dalam dirinya. Yang Sasa yakini bahwa semua akan baik-baik saja bagi jiwa tangguh Satya.

Sampai ia mendesak Sarah untuk bercerita. Benar, keresahan yang hadir itu membawanya pada kenyataan lain. Satya menyaksikan langsung kejadian itu. Menampung kenangan menyakitkan itu sendirian.

Sasa tidak lagi bisa egois menghadapi garis takdir kehidupannya.

Maka sejak saat itu, ikrarnya untuk setidaknya tidak memberatkan hidup orang lain. Biarlah kanvas bening yang menyaksikan niat dalam hatinya.

Senja tidak bersalah dalam kehilangannya. Pemahaman berharga yang membantunya pulih secara bertahap.

Luka itu seharunya tertinggal jauh sejak kembalinya ia pada ayahnya. Menyadari betapa kekanakkannya dulu, Sasa tersenyum.

Pelajaran hidup yang ia dapatkan begitu berharga. Ia harus menghargai setiap hembusan napas yang diberikan Sang Pemberi dengan sebaik mungkin.

Walau belum seutuhnya pulih, Sasa menjadikan semua yang terjadi padanya adalah pembelajaran untuk mendewasakan diri. Bekal mahal menghadapi kerasnya dunia.

Harapnya tidak banyak, jika suatu saat ia harus menghadapi perpisahan lain, ia bisa menerimanya dengan lapang hati.

___

Scientory (ツ)