Sepulang dari Gede, badan Sasa terasa remuk. Kakinya mungkin cedera karena terlalu bersemangat menuruni gunung. Sulit untuknya menuruni tangga di rumahnya. Beberapa hari setelahnya, ia lebih banyak berdiam diri di kamar. Membereskan barang pribadi untuk persiapan kepindahan. Hanya mengemasi barang-barang yang bisa ia angkat. Ayahnya bilang, barang berat lainnya akan menyusul. Jadi Sasa hanya menyiapkan keperluan pentingnya saja.
Mereka akan berangkat dua hari lagi. Ayahnya masih di Bandung sejak kemarin. Berpamitan pada ibu dan menyelesaikan beberapa urusan pekerjaan disana.
Sehari sebelum keberangkatan Sasa ke Aceh, ia diantar Satya mengunjungi makam Satya. Beberapa hari ini, batang hidungnya tidak kelihatan. Sibuk membantu menangani usaha ayahnya yang mulai berjalan baik.
Suasana lengang saat mereka sampai di tempat pemakaman. Hanya terdengar suara anak-anak bermain dari kejauhan. Bising kendaraan terdengar sayup dari tempat ini.
Satya membiarkan Sasa berjalan mendahului. Memberi ruang untuk Sasa berbincang dengan kakaknya.
"Maaf, sudah lama aku tidak mengunjungi Kakak."
Sasa tersenyum. Ia bersimpuh sambil mencabut rumput liar yang tumbuh di sekitaran makam.
"Kakak harusnya menyaksikan bagaimana aku tumbuh bersama ayah, hanya kita berdua. Ya, walau ayah tidak terlalu menyenangkan seperti Kakak, ia berusaha keras untuk selalu ada untukku. Mencoba menjadi teman dan ayah yang baik untuk anaknya. Ayah banyak berubah setelah melalui banyak kesedihan dalam keluarga kita."
Sasa tersenyum. Perjuangan yang dilalui ayahnya setelah kepergian ibu dan anaknya tidak mudah. Sasa tahu betul tentang hal itu.
"Aku tumbuh dengan menerima banyak kasih sayang sejak lahir. Aku bersyukur menyadari hal ini. Entah terlambat atau tidak. Setahun terakhir, banyak hal yang membuatku menyadarinya."
Sasa bercerita panjang mengenai kehidupannya setelah kepergian Bima. Tidak melewatkan barang satu paragraf bagian dari kenangan. Ia bisa menceritakan setiap detail luka yang dirasakannya dengan lapang. Kenangan itu tetap menjadi luka yang dalam baginya. Namun, Sasa bisa lebih memaknai dengan lebih bijak. Setiap fase yan dilaluinya akan menjadi pelajaran beharga untuk bekal menghadapi kehidupan yang mungkin lebih keras kedepannya.
Satu jam ia habiskan menceritakan semua. Tentang kehidupan sekolahnya, nilai akademiknya yang semakin membaik dan teman-temannya yang menyenangkan.
Sasa tidak melupakan satu sosok yang berarti baginya. Jika ia ingin, mungkin akan berjam-jam waktu yang akan ia habiskan untuk menceritakan sosok ini. Masih ada perasaan malu untuk menceritakan kehadirannya.
"Aku banyak menyulitkan orang-orang di sekitarku setelah kepergian Kakak. Namun, seseorang yang bahkan lebih terluka mempunyai peran penting dalam kesembuhanku. Aku bahkan sempat melupakan tentangnya saat Kakak pergi. Tidak tahu, betapa sulitnya ia menjalani perawatan demi perawatan setelah kecelakaan itu."
Tetes air mata basahi kain yang dibiarkan terulur. Menutupi wajah dari sosok yang berdiri dari kejauhan. Padahal Sasa berjanji, tidak akan menangis hari ini.
"Aku tidak ingin kehilangan lagi. Untuk memulai hubungan baik setelah semua kejadian, itu tidak mudah bagiku. Perlu banyak keberanian sampai aku menemuinya lagi. Lelaki itu, raganya masih sama dengan yang aku kenal sebelumnya, tapi binar kehidupannya seakan sudah hilang lama. Aku sungguh merasa bersalah saat itu. Maka aku memutuskan untuk mengembalikan sinar yang telah lama meredup.
"Kak Bima tahu, yang terjadi malah sebaliknya. Bodohnya aku, tidak menyadari keadaan jiwaku sendiri. Malah sebaliknya, ia yang banyak menjagaku. Awalnya, kupikir keadaannya mulai membaik. Bunda bahkan bilang, ia sudah tidak menjalani terapi lagi. Meyakinkanku, bahwa ia sudah baik-baik saja.
"Namun, ternyata aku salah. Perhatian demi perhatian yang ia tujukan padaku hanyalah pengalihan. Rasa bersalah itu semakin menjadi saat melihat keadaan lemahku. Mungkin dengan menjagaku, ia bisa mengurangi rasa bersalahnya pada Kakak. Hanya saja, bukan itu yang kumau.
"Jiawanya sendiri saja belum sembuh seutuhnya. Aku hanya ingin melihatnya untuk lebih memikirkan diri sendiri sebelum aku. Mengutamakan kebahagiaannya sendiri sebelum kebahagiakanku. Ia sudah terlalu banyak berkorban untukku. Kehadirannya, seakan menggantikan peran Kak Bima untukku. Itu yang kurasakan.
"Aku berharap, dengan kepergianku ini, bisa memberi ruang untuknya terbang tinggi dan kembali menggapai mimpi-mimpinya."
Sasa berhenti sejenak. Tersenyum.
"Aku tidak bisa menerima setiap perhatiannya yang membuatku semakin merasa bahwa aku adalah adik semata wayangnya. Sebab, aku merasakan hal lain. Perasaan asing yang awalnya kupikir itu adalah hal yang lumrah. Namun, dengan banyaknya perhatian yang ia tujukan padaku, aku menyadari bahwa aku membutuhkan kehadirannya lebih dari itu.
"Kak Bima, entah Kakak akan senang atau marah mendengar hal ini. Namun, sepertinya aku menyukainya."
Hening. Sasa kembali terdiam.
Seiring berjalannya waktu, perasaan aneh yang dirasakan Sasa mulai ia kenali. Sasa cukup dewasa untuk mengenalinya. Namun, siapa pun tahu, Satya tidak pernah dekat dengan perempuan lain selain Sasa. Perasaan mereka terhubung dengan sendirinya. Seperti takdir.
Sasa merasa lega setelah mengutarakan pengakuannya. Selama ini, Kakaknya lah yang menjadi tempat curhatnya. Entah saat ia masih hidup atau setelah ia tiada. Ia hanya bisa jujur pada Kakaknya. Jika Bima masih hidup, kakaknya mungkin akan mengenali perasaan keduanya lebih dulu.
Sasa melanjutkan mencabut rumput liar di sekitaran makam. Seakan mendengar nasihat demi nasihat yang dilontarkan Bima di alam yang berbeda.
Suara langkah kaki menyadarkannya.
Satya duduk di sebelah Sasa.
"Sudah selesai?"
Sasa mengangguk.
"Tidak ada yang akan Kak Satya katakan pada Kak Bima?"
Satya berpikir sejenak.
"Adikmu sudah dewasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi."
Sasa mendengus. Mungkin di alam sana Bima sedang mengejeknya. Dua sahabat ini masih saja senang menggodanya.
"Ayo pulang. Langit mulai mendung."
Sasa mengangguk. Berpamitan sekilas sebelum beranjak pergi.
"Aku akan sering mengunjungi kakakmu."
Sasa mengangguk. Berterima kasih.
***
Sepulang dari pemakaman, Sasa dan Satya mengunjungi Book Café.
"Kakimu bagaimana? Sudah baikan?"
"Sedikit lagi. Tapi sudah baik-baik saja. Ngomong-ngomong, Kak Satya sungguh baik-baik saja? Aku dengar, Kak Fatih saja demam selama beberapa hari setelah pulang dari Gede."
Satya mengangguk.
Banyak hal yang harus diurusnya sepulang dari Gede. Banyak pendaftar di Langkas. Juga bisnis ayahnya yang semakin keteteran. Satya tidak bisa bersantai barang sedetik. Maka dari itu, ia hanya mengunjungi Sasa sesekali. Mengantarkan makanan dari bunda atau salon pas untuk pegal-pegal yang dirasa Sasa.
Tidak ada waktu baginya untuk memikirkan hal lain. Ia bersyukur mengambil gap year tahun ini.
Hari ini saja ia mengundur banyak pekerjaan untuk menemani Sasa. Mungkin Lusa ia akan kembali disibukkan oleh banyak hal.
"Aku senang melihat Kakak menyibukkan diri akhir-akhir ini."
"Senang? Kamu sedang mengejekku?" Senang bagaimana? Badannya remuk setiap pulang ke rumah. Waktu istirahatnya semakin sedikit.
"Maksudku, pekerjaan ini, semua yang sedang Kak Satya lakukan sekarang, bukankah impian lama yang sudah Kakak rencanakan sejak lama? Bahkan saat Kakak awal masuk sekolah, bersama Kak Bima."
Sasa menyeruput jus yang sudah hampir tandas. Satya di sebelahnya menatap, menelisik.
"Bukankah Kakak juga senang?" tanya Sasa lagi.
"Tentu saja. Walau semakin sibuk, aku suka dengan apa yang sedang kukerjakan sekarang."
"Baguslah. Aku bisa pergi dengan tenang tanpa mengkhawatirkan Kak Satya kesepian disini."
"Aku tidak sendiri. Masih ada bunda, ayah, juga teman-teman di komunitas. Lagipula seharusnya aku yang lebih mengkhawatirkanmu."
"Itu yang kumaksud."
Sasa menatapnya tulus.
"Setelah aku pergi, Kakak tidak perlu mengkhawatirkanku lagi. Kakak bisa memfokuskan diri untuk memulai semua mimpi yang sempat terkubur. Percayalah, Kakak sudah banyak memberikanku perhatian dan kasih sayang layaknya Kak Bima. Aku bisa melewati banyak fase hidup menyebalkan berkat Kakak. Sekarang, aku harap Kakak bisa melakukan yang terbaik untuk diri sendiri. Mengutamakan segala urusanmu sendiri diatas orang lain."
Satya terdiam. Entah harus merespon seperti apa setelah mendengar perkataan Sasa.
"Yah, walau aku sedih Kakak seperti tidak peduli dengan kepergianku karena kesibukanmu sendiri. Namun, aku bisa memakluminya."
"Aku memang sibuk akhir-akhir ini. Itu bukan berarti aku tidak peduli dengan kepergianmu. Aku tidak punya hak untuk menahanmu."
Sasa menunjukkan binar yang telah lama menghilang. Memancarkan aura kebahagiaan yang bisa menular. Itu yang dirasakan Satya saat ini.
"Mustahil bagiku dekat dengan wanita lain selain kamu. Itu yang aku khawatirkan sekarang."
Sasa tersentak. Degup dadanya tidak terkendali. Ia tidak pernah mendengar Satya berbicara mengenai hal ini padanya.
Selama di SMA, Satya hanya dekat dengan Sasa sebagai murid perempuan. Walau banyak yang mengutarakan perasaannya pada Satya, ia menolak dengan baik semua pengakuan mereka. Dengan polosnya mengukuhkan, hanya Sasa wanita dalam hidupnya.
"Aku berjanji akan datang padamu. Suatu saat nanti, di waktu yang tepat. Kamu juga harus berjanji padaku."
Sasa bertanya dengan matanya. 'Berjanji untuk apa?'
"Berjanji untuk menungguku sampai waktu yang tak ditentukkan."
Sasa tersenyum. Bahkan saat pembicaraan serius seperti ini Satya masih bisa becanda.
Suasana tenang kafe mendukung pembicaraan dua insan yang sedang saling tatap dalam. Berbicara dari hati ke hati. Saling mendoakan untuk kebaikan masing-masing.
Sampai terdengar ribuan malaikat di langit. Harapan hati yang tercatat bahkan sebelum mereka menyadari perasaan masing-masing.
'Sampai kita menemukan cara untuk bahagia tanpa mengorbankan kebahagiaan diri sendiri.'
_____
Scientory (ツ)