Semilir angin menerpa dua remaja yang saling terdiam menikmati indahnya panorama alam yang disajikan sore itu. Duduk menghadap timur, tempat matahari sebentar lagi menghilang. Perlahan, permukaan lembah savana dengan edelweiss di segala penjuru, ikut berubah menenangkan. Nuansa jingga memenuhi setiap sudut Surya Kencana, surga tersembunyi di Gunung Gede.
"Sayang sekali dia tidak bisa menyaksikan hal semenakjubkan ini."
Ujaran dari seorang pria yang duduk di sebalah kanan. Tahun depan usianya memasuki tujuh belas tahun. Masanya transisi dari remaja menuju usia dewasa. Walau sebenarnya, untuk Bima, sejak kecil sudah dituntut untuk dewasa. Keadaan memaksanya untuk bisa mengenali dunia dengan lebih bijak. Perawakannya terlihat lebih kokoh dibandingkan dengan anak seusianya. Tapak kerja keras terlihat dari raut wajahnya yang tegas.
"Masih belum bisa berdamai?" Satya, pria yang duduk di sebelah Bima, tahu betul bahwa objek yang dimaksud belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Pertanyaan basa-basi.
Bima menggeleng lemah.
"Sekarang ini, aku hanya bisa mempercayakan semua pada dirinya sendiri. Aku tahu, Sasa tidak pernah menginginkan semua ketakutan menguasainya."
Pertanyaannya, sampai kapan?
Gadis kecil itu, entah sampai kapan mereka berdua akan menganggapnya sebagai gadis kecil yang manja. Walau sifat cerianya semakin lama semakin memudar. Keceriaan sesaat yang tampak, selalu kentara dipaksakan.
"Akhir-akhir ini, muncul ketakutan lain dalam diriku. Jika saja, aku tidak bisa menemaninya menghadapi dunia yang semakin terasa asing. Membuatnya terus berkutat dalam lingkaran masa lalu."
Satya menoleh kearah sahabatnya. Dahinya mengkerut.
"Berhenti omong kosong. Perjuangan yang telah kamu lakukan untuk adikmu itu, membuatnya masih bisa bertahan sampai saat ini. Untuk sekarang, tidak mengapa jika ia masih terbelenggu dengan kenangan masa lalunya. Hal yang terpenting adalah memastikan bahwa kamu selalu ada untuknya. Sasa juga bukan anak kecil lagi."
Bima tertegun sejenak, kemudian tertawa pelan. Entah apa jadinya jika ia tanpa sahabat baiknya itu. Walau kelakuannya tidak lebih dewasa darinya, Satya terkadang bisa menjadi lebih bijak. Selalu menjadi penasihat saat pikirannya buntu.
"Kamu jangan terlalu bekerja keras untuk membuatku terkesan."
"Apa maksudnya?" tanya Satya heran.
Bima tersenyum, menggoda. Mau sampai kapan Satya menyanggah perasaannya kepada Sasa? Bahkan itu terlalu kentara bagi Bima untuk menyadari. Namun, bagi keduanya, baik Satya dan Sasa, mereka tidak menyadari. Sebab ia tahu, ada persoalan lain yang menghalangi mereka untuk saling memahami perasaan masing-masing.
"Terlalu berat untuk mengatakan, bahwa aku percaya padamu."
Satya mendelik, penuh tanda tanya. Kemana arah pembicaraan Bima?
"Bahkan sejak usia kita masih belia, saat orang tua menyatukan kita bertiga, aku bersyukur akan banyak hal. Termasuk, tentang kamu yang terlalu mengkhawatirkan kami. Bahkan terhadap hal kecil yang terjadi. Perhatianmu terlalu kentara pada Sasa. Ya, walau tetap kurang ajar terhadapku."
Satya membuang napas. Arah pembicaraan ini mulai ia pahami.
"Apaan, sih. Jangan membahas tentang hal ini lagi."
Bima tertawa di sebelahnya.
"Intinya, aku percayakan adikku padamu. Jika suatu saat aku tidak lagi bisa menjaganya, aku minta padamu, untuk selalu ada di sisinya. Berjanjilah."
Satya terdiam. Menatap mata Bima yang tulus penuh keyakinan dengan senyuman tipisnya.
"Sasa sudah seperti adikku sendiri."
Hanya kalimat itu yang bisa Satya keluarkan. Seiring berjalannya waktu, perasaannya pada gadis kecil itu berubah menjadi sesuatu yang sering membuat hatinya berdebar. Sampai saat ini, ia bahkan belum menyadarinya. Atau takut untuk mengenali rasa yang baru baginya. Sebab, memang bukan saatnya. Ada hal lain yang perlu ia prioritaskan.
"Aku tidak bisa memikirkan pria lain untuk berada di dekat Sasa."
Bima tertawa kecil.
Satya tidak menanggapi. Ia memahami, beban yang sedari lama dipikul sahabatnya itu terlalu berat. Seakan, Bima memang harus menanggung semuanya sendiri. Untuk semua kesalahan di masa lalu, bersama kesalahpahamannya.
Satya melirik kearah Bima. Wajahnya disinari cahaya senja terakhir hari ini. Perlahan, cahaya itu juga bergerak menyinari wajahnya.
Hangat. Menenangkan.
"Aku berjanji."