Chereads / Luka Senja / Chapter 19 - XVIII

Chapter 19 - XVIII

Perjalanan menuju Gunung Gede memakan waktu kurang lebih dua jam dari kota.

Rombongan pendakian berkumpul di rumah Satya Jumat sore. Kecuali rombongan dari Bandung, mereka akan bertemu di titik temu yang berbeda. Perkiraan sampai ke tempat peristirahatan sementara sekitar sebelum maghrib.

Rombongan memutuskan untuk bermalam di BC sebelum memulai pendakian.

Sesampainya di basecamp langganan, mereka langsung membersihkan diri dan mengisi perut di warung yang buka 24 jam. Mereka sempat berbincang sebentar sebelum memutuskan untuk istirahat.

Suasana di sekitar luar basecamp masih ramai. Waktu menunjukkan hampir lewat tengah malam, pukul setengah dua belas.

"Kamu tidak bisa tidur?" tanya Satya yang sedang berbincang asyik dengan rekan-rekannya di saung dekat basecamp pada Sasa. Ini sudah malam dan Sasa malah keluar untuk menemuinya.

"Aku tidak bisa tidur."

Satya memakluminya. Ini pertama kalinya Sasa bermalam di tempat asing.

Satya menyuruh Sasa untuk duduk di sebelahnya. Sejak tadi, ia hanya mendengarkan guyonan orang lain tanpa meresponnya. Namun, saat Sasa datang, ia mencoba mencairkan hatinya dengan tertawa palsu. Sesuatu mengganggu pikirannya sejak tadi siang.

"Kamu lapar?"

Sasa menggeleng. Tidakkah ada pertanyaan lain selain menanyakan rasa laparnya?

"Mau kopi?"

Gadis itu kembali menggeleng. Kalau minum kopi ia semakin tidak bisa tidur.

"Wedang saja kalau ada."

"Seleramu sudah seperti bapak-bapak ronda. Jangan marah, akan aku pesankan sekarang!"

Satya berlalu sebelum Sasa membalas ucapannya.

Sasa memperhatikan cara ibu warung membuat minuman hangat pesanannya. Tidak membutuhkan waktu lama. Dua menit, gelas mengepul sudah ada di depannya.

Sasa menyesap pelan. Berharap dengan meminumnya bisa menghangatkan badannya.

"Kak Satya tidak merokok?"

Sasa sejak tadi memperhatikan kepulan asap di semua meja warung. Hampir semua pria merokok, ada wanita juga beberapa. Ia baru sadar, belum pernah melihat Satya merokok di depannya.

"Sayang saja, jika ditengah udara segar pegunungan kita mengkontaminasi tubuh dengan asap rokok."

"Tapi sekarang kita tetap menghirup asap itu sebagai perokok pasif."

Satya tertawa.

"Kalau diluar suka?"

"Pernah. Tapi sekarang sudah tidak."

"Kenapa tidak? Bukankah semua lelaki seumuran Kakak pasti merokok?"

"Tidak semua. Ada sebagian kecil dari kita yang tidak merokok."

"Alasannya?"

"Eumh, mungkin karena kesehatan. Atau ada beberapa orang yang memang tidak bisa memahami kenikmatan yang ada saat menghisap rokok."

Sasa menganggguk paham.

"Di dalam terlalu ramai," kata Sasa sambil mengeratkan jaket tebalnya, udaranya sangat dingin. Ia sudah memakai empat lapis baju, tetapi dingin masih bisa menembus tubuhnya.

"Kamu sendiri yang meminta untuk bermalam di basecamp, kan? Jangan salahkan aku!"

Sasa menghembuskan napasnya pelan. Ia tidak tahu kalau suasana ramai seperti ini malah membuatnya tidak bisa tidur. Namun tidak masalah, ia memang sedang senang mencari hal baru. Merasakan langsung pengalaman yang sering diceritakan Bima dulu setiap pulang dari mendaki.

"Saat muncak nanti kemungkinan tidak akan ada sinyal. Jangan lupa kabari ayahmu sebelum memulai pendakian."

Sasa mengangguk. Ponselnya sedang diisi dayanya di dalam.

"Pakai selimut ini," perintah Satya memberikan selimut yang dipakainya sejak tadi. Udara dingin seperti ini juga belum bisa beradaptasi baik dengan tubuhnya. Temannya yang lain ada yang hanya pakai kolor, seperti sudah terbiasa dengan hawa dinginnya gunung.

Suasana malam masih ramai di tempat ini. Beberapa bahkan ada yang baru sampai setelah menuruni gunung tengah malam. Sengaja menunggu waktu malam untuk turun. Bukankah mereka terlalu berani? Bagaimana jika mereka mengalami hal yang tidak diinginkan saat dalam perjalanan? Jalanan pasti gelap sekali.

Sasa bergidik. Melirik kearah Satya yang tersenyum menanggapi obrolan 'teman baru'-nya. Ya, dia baru mengenal saat mereka sampai di basecamp ini. Kebanyakan mereka yang masih sadar, baru saja turun gunung. Dari info Satya bahkan ada yang sengaja mengambil waktu tengah malam untuk mendaki gunung. Sasa menggeleng tidak percaya.

"Aku tidak pernah membayangkan suasana tempat bermalam kita akan seperti ini. Tidur berhimpitan dengan alas karpet seadanya."

Satya tersenyum mendengar keluhan Sasa. Awalnya ia memang tidak pernah berencana untuk bermalam di BC. Ia berubah pikiran setelah mendengar permintaan Sasa sendiri.

"Kamu yang meminta, kan. Jangan salahkan aku."

"Aku tidak menyalahkan Kakak! Saat Kak Satya memberi pilihan, aku memilih bermalam di basecamp, aku kira kita akan tidur dengan tempat yang nyaman. Walau gambaranku tidak senyaman villa, setidaknya kamar untuk perempuan dan lelaki terpisah. Tidak seperti jajaran ikan di pasar seperti ini."

Satya tertawa mendengarnya. Menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya ada villa di dekat sini. Desakan dari anggota lain dan permintaan pendaki dari luar kota membuatnya terpaksa memilih bc sebagai tempat istirahat. Lagipula ia tahu, Sasa tidak sepenuhnya merasa tidak nyaman.

Walau terlihat kesal, sejak tadi Sasa memperhatikan suasana disini dengan penuh penasaran.

"Maaf, aku tidak tahu akan seramai ini tempatnya. Dulu, saat aku pertama datang, tidak banyak pendaki yang tidur disini. Tempatnya nyaman untuk bermalam. Walau sejak awal aku tidak pernah membayangkan senyaman villa. Ini musim liburan, tentu saja pengunjung atau pendaki yang datang membeludak."

"Seharusnya Kak Satya sejak awal bilang kalau musim libur akan seramai ini."

"Aku tidak menyangka akan seramai ini, Sa. Lagipula, kamu yang memaksa untuk mempercepat rencana pendakiannya, kan."

Sasa mengeluh pelan. Mengatupkan kedua tangannya. Walau dingin, udara di ketinggian gunung seperti ini membuat badannya terasa segar. Paru-parunya seperti sedang mendapatkan meditasi.

"Mau ke dalam?"

"Kalau Kak Satya sudah selesai ngobrol bersama teman barunya."

Satya bangun dari duduknya. Mengulurkan tangan agar Sasa ikut beranjak.

"Ayo masuk, aku mulai mengantuk."

Sasa mengangguk. Tanpa menghiraukan uluran tangan dari Satya. Satya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

___

Pukul empat shubuh.

Satya terlebih dahulu membereskan alat dan perlengkapan yang akan dibawa saat mendaki. Semalam karena terlalu dingin, ia mengeluarkan baju dan kantong tidurnya untuk dipakai. Jadilah ia kembali mengepak kembali agar fungsi tas kerilnya maksimal. Ia melirik kearah Sasa yang masih tertidur, tubuhnya hampir menghilang, hanya menyisakkan wajahnya. Satya tertawa melihatnya. Ia secara teratur memeriksa, apakah Sasa masih bernapas atau tidak. Takutnya, dia kehabisan napas karena tertutupi oleh jaket dan kantong tidur yang melingkar sempurna menutup seluruh tubuhnya.

Sudah pukul setengah lima. Satya membangunkan Sasa hati-hati.

Gadisnya menggeliat pelan. Tubuhnya siaga sejak tertidur semalam. Ketika bangun dan sadar, ia langsung terduduk otomatis sambil memeriksa sekelilingnya.

"Pukul berapa ini?" tanya Sasa dengan mata setengah terbuka.

Satya menjawab dengan sebenarnya. Ia menutup mulutnya menahan tawa, melihat wajah bengkak Sasa.

Sasa membereskan bekas tidurnya. Ia memakai dua jaket satu miliknya, satu lagi minjam dari Satya.

Satya di sebelahnya membantu membereskan SP dalam sekejap. Memasukkan ke dalam daypack Sasa. Mereka lebih lambat dari jadwal. Suara panggilan ibadah sudah terdengar lima menit yang lalu.

Satya dan rombongan bergegas menuju surau terdekat. Sepulangnya, mereka menenteng keril masing-masing dan melakukan pengarahan sebentar. Pukul lima shubuh mereka langsung mendaki setelah memastikan tidak ada yang tertinggal.

Urusan dokumen yang harus disiapkan telah dipastikan aman di pegang salah satu anggota Langkas. Sasa baru tahu nama perkumpulan itu. Tadi malam Satya menjelaskan bagaimana Langkas itu.

Nama Langkas baru beberapa bulan yang lalu mereka pakai. Langkas Outdoor, karena memang awalnya Satya dan temannya hanya berniat menyewakan dan menjual alat berkemah. Niat di awal hanya iseng memasang iklan, hingga beberapa orang menanyakan jasa antar pendakian. Saat ini, sudah puluhan jasa yang mereka terima dan baru sanggup menangani gunung sekitar Jawa. Kurang pengalaman kalau untuk lintas pulau katanya.

Lima belas menit sejak mereka meninggalkan pos pendaftaran. Rombongan sudah mulai memasuki perkebunan milik warga. Tidak terlalu menanjak apalagi terjal, jalanan setapak sedikit lembab, mungkin karena embun pagi hari.

"Masih jauh, Kak?" tanya Sasa. Ia terlihat kesusahan bernapas. Sejak awal Satya mewanti untuk mendaki dengan santai. Walau pun begitu, ia masih tetap sulit untuk menapik bahwa ia sudah mulai kelelahan. Padahal, perjalanan mereka baru saja dimulai. Pendaki perempuan dalam rombongan mereka sudah jauh di depan ditemani Algi.

Sasa dan Satya di posisi paling belakang.

Sejak awal Satya mewanti Sasa untuk menghemat energi. Ini bukan ajang siapa yang sampai duluan, tetapi siapa yang akan bertahan sampai akhir menuju puncak.

"Kita baru aja ninggalin pos pendaftaran, Sa. Belum ada persenan seberapa jauh kita mendaki." Satya tertawa mengejek, "santai saja. Kalau terlalu semangat di awal, nanti bisa kelelahan di tengah jalan."

Sasa mengangguk. Menatap keril besar di punggung Satya.

"Keril Kakak besar sekali."

"Kenapa? Mau tukeran?"

"Enggak, terima kasih."

Satya tertawa.

Keril yang ia bawa kebanyakan adalah barang berat seperti logistik kelompok, tenda besar untuk enam orang, juga peralatan memasak. Berkilo-kilo lebih berat dibanding keril yang di pakai Sasa. Hanya karena fisiknya yang bagus, itu tidak masalah baginya. Lagipula, anggota lain juga membawa barang sama banyaknya dengan dirinya. Reyhan, mahasiswa tingkat akhir, anggota senior di Langkas, bebannya lebih banyak darinya. Selain keril yang sama besar dengan miliknya, kamera dan alat syuting untuk promosi menjadi tanggung jawab Reyhan.

"Kak, bawa saja tongkat galah ini." Sasa menyerahkan trekking pole yang sedari tadi dibawa olehnya, milik Satya. "Ribet, mending tangan kosong saja."

"Tongkat galah? Sebutan yang keren," Satya tertawa sambil menerimanya tanpa protes. Gunanya tongkat galah ini sebenarnya untuk menopang tubuh agar tidak limbung.

Mereka sudah melewati area kebun milik warga. Memasuki daerah dengan pohon tinggi di sekitarnya, aura hutan mulai terasa. Jalanan semakin menanjak, tanah berhias bebatuan besar, tumbuhan aneh yang tidak dikenali Sasa muncul satu per satu.

Sasa mulai kesusahan mendaki. Tapi ia suka. Dibanding jalan sempit dekat kebun tadi, ini lebih menantang. Berkali-kali ia harus mencari pohon untuk membawa tubuhnya ke tempat pijak yang lebih tinggi.

Satya di belakangnya menunggu dengan sabar. Merasa bangga dengan antusiasme yang ditunjukkan gadisnya dalam mendaki. Kemudian ia menyerahkan tongkat galah (sebutan yang diberi Sasa). Sasa menerimanya sambil nyengir. Ia memang membutuhkan bantuan tongkat itu sekarang.

Rombongan Langkas yang sedari tadi di depan, mulai melambat. Bahkan sekarang Sasa permisi untuk mendahului. Tampaknya mereka mulai kelelahan, istirahat sejenak di pos bayangan. Reyhan dan dua pendaki dari Bandung entah dimana, sejak awal mereka memang ijin untuk mendaki lebih cepat dari yang lain.

Sebenarnya Sasa pun sama, ia kelelahan juga, namun ini bahkan belum sampai POS pertama, perjalanan masih jauh. Satya sejak tadi menawarinya untuk ikut istirahat bersama rombongan perempuan, tapi ia menolak.

"Kak Rey, sudah jauh di depan. Aku ingin menyusul dia." Peluh di dahi menetes. Sasa melanjutkan tanpa menoleh kearah Satya.

Satya sejenak berhenti untuk menyerahkan minuman kepada rombongan. Ada Algi bersama dua perempuan itu, mengeluh, mereka terlalu lemah dibanding tubuh kurus Sasa yang lincah mendaki mendahului mereka. Satya mengangkat bahu, entahlah, Sasa terlihat semakin bersemangat, padahal trek semakin sulit. Di pos 3-5 jalanan semakin menanjak dengan bebatuan berukuran besar sepanjang jalan, akar berukuran besar dan tanjakan curam. Tidak dianjurkan untuk melihat kearah bawah jika sudah melewati POS tiga, bisa buat nyali ciut.

Satya melanjutkan perjalanan, tetapi salah satu perempuan itu menahannya. Memintanya untuk menemani mereka. Ia mengggeleng kecil, menolak dengan sopan. Menunjuk Sasa yang mulai menjauh dari mereka.

"Temani kami saja. Dia sepertinya sudah terbiasa muncak, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Satya tidak menghiraukan, lanjut menyusul langkah Sasa. Ia tertawa kecil, memang benar, Sasa terlihat seperti sudah terbiasa padahal ini pertama kalinya mendaki gunung. Ia memanggil Sasa di tengah ramainya pendaki yang berlalu lalang. Suaranya terdengar menggema. Yang dituju hanya melambaikan tangan, membelakangi. Satya mengikuti dari belakang.

Gapura pos satu mulai terlihat. Sasa sejak awal memang mewanti hanya istirahat di pos, tidak boleh di tempat lain. Sebagai penyemangat katanya.

"Cape?" tanya Satya menghampiri Sasa yang lebih dahulu duduk bersandar pada pohon besar depan tanda pos satu.

Sasa mengangkat bahu, menguap. Semalam ia hanya sempat tidur selama empat jam. Perjalanan ini, walau pun sangat melelahkan, tapi ia merasa mengantuk. Apa karena masih pagi? Jam menunjukkan pukul setengah tujuh.

Berkali-kali Sasa mengusap peluh di wajah. Kakinya mulai terasa hidup, perasaannya seperti, otot kakinya mulai terbentuk, walau masih terlhat lembek. Ya, hanya perasaannya saja.

"Minum dulu." Satya menyerahkan botol ukuran sedang miliknya. Sasa menerima cepat dan menghabiskan semua. Satya melotot kearahnya.

"Mana bisa kamu habiskan semua?" Sasa nyengir lebar. Sejak tadi ia menahan dahaga, sebisa mungkin untuk meminimalisir keinginan buang air di alam liar. Kata Satya, masih ada satwa liar di Alun-alun Surken, seperti babi hutan.

"Kenapa rombongan Kak Algi tidak keliatan? Ada kendala?"

"Entahlah, Algi protes karena dua perempuan itu banyak mengeluh. Namanya juga perempuan ya, ditambah mereka baru pertama kalinya mendaki."

"Heh. Memangnya aku apa?"

"Aku juga ragu, kamu sebenarnya masuk spesies yang mana?"

Sasa mendengus kecil.

"Seharusnya Kak Satya bantu mereka, aku baik-baik saja sendiri. Kalau saja staminaku lebih baik, aku bisa menyusul Kak Rey."

"Tidak akan pernah bisa, Rey, spesies langka dari kalangan cowo. Aku saja suka kesusahan kalau muncak bareng dia. Dia enggak ada capenya kalo lagi muncak. Lagipula, enggak ada waktu buat nampung keluhan kamu. Beban dia banyak, sebisa mungkin meminimalisir waktu sampai puncak."

"Baiklah, jangan pedulikan aku kalau aku banyak ngeluh. Aku duluan, Kak Satya tunggu saja rombongan di belakang."

Sasa kembali melanjutkan perjalanan. Tidak menghiraukan Satya yang meminta tolong untuk menaikkan keril ke punggungnya.

Sudah dua jam sejak mereka mulai mendaki. Sasa hanya sempat dua kali istirahat. Pertama, saat menunggu rombongan Algi kembali berjalan di depannya. Kedua, saat di Pos satu tadi. Lama jika harus terus menunggu rombongan yang terlinggal.

Di Pos dua, Sasa istirahat cukup lama, membuka bekal makan yang dibawa dari basecamp. Sebenarnya, saat sebelum muncak mereka sempat makan untuk mengganjal perut. Mungkin karena energi mereka terkuras, rasa lapar kembali datang.

"Berapa jam perjalanan lagi?" tanya Sasa di sela makannya. Mereka memilih tempat dekat Pos, ada pohon besar yang tumbang bisa dijadikan tempat duduk seadanya. Suasana di pos dua cukup ramai oleh pendaki yang beristirahat.

"Ini baru sampai pos dua, masih ada tiga pos."

Sasa mengangguk. Sejak tadi ia mengulang pertanyaan yang sama. Satya sabar menjawabnya tanpa mengeluh.

"Apa yang membuat Kak Satya berkali-kali muncak Gede? Enggak bosen apa?"

"Kamu akan tahu setelah sampai di lembah Surya Kencana. Surga edelweiss yang tersembunyi. Hutan disini juga masih sangat terjaga. Jaraknya juga dekat dengan kota tempat kita tinggal."

Satya tercekat. Ada satu hal yang selalu membuatnya takjub jika mengunjungi tempat ini. Pemandangan sore hari, senja langit di Surken sungguh indah. Saat pertama mendaki bersama Bima, ia menghabiskan malam dengan memandang langit malam. Gususan bintang Bima Sakti terlihat jelas. Membuat mata tidak ingin berpaling barang sedetik. Semakin menyadari, bahwa manusia hanyalah makhluk kecil di alam semesta yang luas ini.

"Mereka datang," ucap Sasa tersenyum, melambaikan tangan kepada rombongan Algi yang baru saja melihatnya. Mereka mendekati tempat istirahat. Melepaskan keril dan bergabung duduk selonjoran.

Jika menurut penjelasan Satya, seharusnya saat mendaki jangan sampai terlena dengan istirahat yang lama. Akan semakin memakan waktu untuk sampai ke puncak.

Sasa mendapat penolakan saat menawarkan makanan. Algi di sebelahnya berbisik, "mereka seperti nenek lampir, susah sekali diatur!" yang membuat Sasa hampir tertawa lebar. Kasian juga Algi, bawaannya memang tidak sebanyak Reyhan yang sudah jauh diatas sana, tapi mungkin dia lebih lelah secara mental karena harus mengikuti ego dari dua perempuan ini.

"Kak Rey bareng anak dari Bandung itu, kan? Mereka tidak tertinggal?" tanya Sasa melihat keatas sana, seperti tak ada ujungnya. Satya mengangguk membenarkan.

"Tenang saja, katanya mereka sudah beberapa kali mendaki gunung bahkan yang treknya lebih sulit dari Gede. Mereka sudah terbiasa."

Sasa mengangguk pelan. Ia sudah ingin melanjutkan perjalanan. Sejak tadi Algi mendesak untuk bertukar peran dengan Satya. Yang langsung ditolak mentah oleh Satya. Bahkan Satya memberi kode untuk terlebih dahulu melanjutkan perjalanan kepada Algi. Ia sudah menaikkan kerilnya ke punggung.

"Tidak bisakah menunggu sebentar lagi? Kita baru saja istirahat," rayu perempuan bernama Dila kepada Satya.

"Kami duluan, Algi masih sama kalian."

"Tukeran pemandu bisa enggak sih? Dia kurang peka, cerewet kalau kita mulai melambat. Namanya juga cewe, fisiknya enggak sama kayak cowo," kata Dila melirik kesal kearah Algi yang terlihat menghembuskan napas, memilih untuk membiarkannya.

Satya menolak secara halus, melangkah tidak peduli. Sasa sudah jauh di depan. Terlihat mengobrol dengan salah satu pendaki yang tidak dikenalnya.

___

Scientory (ツ)