Chereads / Luka Senja / Chapter 18 - XVII

Chapter 18 - XVII

Satya mengusulkan jadwal baru pendakian ke gunung Gede minggu depan kepada komunitas pendaki yang dikelola olehnya dan beberapa teman bernama Langkas.

Akhirnya, dua anggota memutuskan untuk menemaninya karena dalam dua hari sejak pendaftaran dibuka di situs online milik mereka, ada empat orang yang mendaftar, dua mahasiswi dari ibukota dan dua siswa pelajar dari Kota Kembang.

Mereka merintis bisnis ini baru setahun terakhir, jadi belum banyak yang ikut mendaftar untuk jasa mereka. Kebanyakan anggota seumuran dengan Satya. Sibuk mengurus tahun terakhir SMA dan persiapan masuk perguruan tinggi.

Awalnya, mereka hanya menyediakan peralatan outdoor untuk disewakan, semakin lama bisnisnya semakin berkembang sampai menawarkan jasa pemandu. Satya banyak belajar dari seniornya di PA tentang penyediaan jasa pemandu ini. Dengan membagikan rencana pendakian Gede di grup facebook, banyak dari mereka penasaran dan booking untuk waktu dan tujuan destinasi.

Satya mencentang beberapa daftar yang harus ia bawa untuknya, juga Sasa. Tidak banyak yang perlu ia beli. Hanya beberapa makanan pokok dan beberapa barang pribadinya. Peralatan inti untuk berkemah sudah lengkap tersedia di markas Langkas.

Rencananya ia akan mengajak Sasa untuk membeli ransel gunung ukuran sedang. Saat ia mengusulkan tas sekolah tempat barang personal untuk dibawa Sasa, dia menolak.

'Aku ingin terlihat keren dengan tas besar di punggung. Kalau pakai tas sekolah, tidak terlihat seperti sedang mendaki.'

Satya awalnya menolak keinginan Sasa. Ini pertama kalinya gadis itu mendaki gunung. Ia khawatir jika Sasa terlalu kelelahan saat mendaki. Juga untuk alasan kekanakannya, Satya hanya menggeleng pasrah.

Sejak hari pertama Sasa mengutarakan keinginannya untuk mendaki, mereka rutin berolahraga setiap pagi dan petang. Hanya lari berkeliling kompleks agar ototnya tidak kaget saat mulai mendaki nanti.

Awalnya, Sasa menolak dan mengusulkan olahraga dalam ruangan seperti di gymnasium. Namun Satya memaksanya dengan alasan udara kota sedang bagus. Padahal, ia hanya sedang melatih agar Sasa terbiasa bertemu dengan orang asing saat mendaki nanti. Musim libur seperti ini, gunung menjadi tempat favorit banyak orang untuk dikunjungi. Apalagi hobi mendaki semakin banyak digandrungi anak muda.

Satya bahkan ikut menyusahkan bundanya untuk memastikan semua telah disiapkan lengkap. Memintanya menjadi perantara kepada Sasa untuk tidak melupakan hal personal untuk wanita.

Sarah hanya menggeleng melihat betapa heboh anaknya dalam menyiapkan dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Tidak seperti saat ia pergi mendaki bersama teman lainnya, tasnya hanya penuh dengan peralatan berkemah dan beberapa potong baju saja.

Satya semakin bersemangat saat mendapat amanah dari Adi untuk menjaga putri semata wayangnya, juga tak lupa ancaman dari bundanya untuk lebih memerhatikan Sasa dibanding dirinya sendiri. Satya mengangguk mantap. Itu adalah hal yang biasa ia lakukan untuk gadisnya. Rasanya tanggung jawab untuk tetap berada di sisi gadisnya adalah anugerah untuknya. Ia dengan senang hati menerima semua beban yang akan ditanggungnya.

"Ayo kita beli peralatan buat muncak!" seru Satya. Ia baru sampai di rumah Sasa menggunakan mobil pinjaman dari ayahnya. Sejak dini hari, ayahnya pergi dinas keluar kota untuk seminggu ke depan. Satya jarang melihat ayahnya setelah bisnisnya kembali berjalan lancar.

Satya bisa meminjam mobil ayahnya untuk lusa berangkat ke tempat awal mereka mendaki Gede via Putri.

"Kenapa harus beli? Aku sudah menyiapkan semua barangku sesuai dengan yang Kak Satya suruh." Sasa terlihat mantap. Ia merogoh kertas di saku kardigannya, daftar barang yang harus ia bawa saat mendaki. Menyerahkan kepada Satya.

Satya kebingungan melihat kertas di tangannya. Padahal ia tahu Sasa tidak keluar rumah, mereka selalu bersama seminggu ini. Kenapa bisa ia mengumpulkan barang itu sendiri?

"Om Adi membantumu mencari barangnya?"

Sasa menggeleng.

"Semua barangnya sudah ada di rumah, bekas Kak Bima. Aku mencarinya seharian ini di kamarnya, syukurlah semua barangnya masih bisa dipakai. Kak Satya periksa sendiri saja, ayo!"

Satya mengikuti langkah Sasa menuju lantai dua. Tempat kamar Bima dan Sasa, bersebelahan.

Tepat di depan pintu kamar, ia terdiam sejenak, mengambil napas. Dulu, tempat ini adalah markas pribadi mereka. Juga penuh dengan kenangan semasa kecil.

Satya menatap Sasa yang antusias berbicara mengabsen satu persatu barang apa saja yang sudah ia siapkan. Setahunya, Sasa tidak lagi membuka kamar ini sejak Bima tiada. Ia juga begitu, bahkan walau melihat kamar ini sepintas, mengingatkan pada banyak kisah yang pernah mereka lewati. Lalu apakah Sasa mencoba baik-baik saja di depannya?

"Sasa!" seru Satya sedikit keras. Sasa menoleh, menunjukkan senyuman ceria. Seberapa pun ia memahami arti senyuman itu, gadis itu memang terlihat baik-baik saja.

"Kamu sungguh tidak apa-apa kan?"

Sasa mengerutkan kening mendengar pertanyaan Satya.

"Kenapa memangnya? Apa aku terlihat sakit lagi?"

"Tidak. Maksud aku, kamu.. ."

"Jika yang Kak Satya tanyakan adalah bagaimana bisa aku masuk ke kamar ini setelah lama tidak lagi mencoba membukanya, itu baru-baru ini. Aku kan sudah bilang, aku semakin membaik sejak Kak Satya kembali bermain denganku, seperti dulu."

Satya berdeham. Sulit untuk menyembunyikan bahwa ia salah tingkah mendengarnya. Ya, serasa ia sungguh berguna di dekat gadisnya. Tidak sia-sia perjuangannya untuk memperbaiki hubungannya dengan Sasa.

"Sebenarnya ada yang kurang," seru Sasa menatap Satya.

"Apa?"

"Semua keril punya kak Bima berukuran besar. Aku rasa, tidak bisa membawa tas sebesar itu untuk mendaki." Sasa nyengir.

Satya tertawa mendengarnya.

"Ayo! Kita beli daypack ukuran 35L saja. Itu tidak terlalu kecil, ukuran sedang. Aku rasa cukup untuk badan kecilmu itu," goda Satya. Sasa mencoba untuk terlihat tenang walau ingin sekali memukul lelaki itu tepat di pundaknya.

***

Mereka sampai di toko perlengkapan alat mendaki.

Salah satu toko peralatan outdoor terbesar di kota. Dengan interior luar yang ramah lingkungan. Di area parkir luar terdapat pohon besar berjajar rapi yang juga menghiasi sepanjang jalan menuju toko itu. Dindingnya dibuat seperti tebing untuk memanjat dengan pintu masuk berwarna coklat pohon, seperti pintu menuju alam liar. Lantainya berhias batu pualam yang indah. Suasana pedalaman hutan langsung menyambut mereka ketika masuk.

Sasa menatap takjub toko itu sejak mereka turun dari mobil.

"Tampilan depan tokonya keren banget!"

Satya tertawa mendengar seruan-seruan gadis itu di sampingnya. Membiarkan Sasa seperti bicara pada diri sendiri.

"Tempat duduknya dibentuk serupa pohon yang baru aja ditebang. Unik!"

Sasa masih mengamati setiap detail menarik toko. Jika Ekstrovert melihatnya, mereka pasti akan bertanya, bagaimana Sasa hidup selama ini?

Masalahnya, toko dengan interior unik seperti ini sudah banyak sekali sekarang. Bertebaran saling bersaing menyuguhkan konsep paling berbeda.

"Sepertinya ada kafe di dalam. Menunya sama kayak di gunung enggak? Seperti bahan-bahannya dari alam langsung? Atau indomie yang dipasak ala kadar?"

"Tidak, Kak. Menu disini layaknya kafe seperti biasa, ada kedai kopi juga sebelah sana." Bukan Satya yang menjawab, tapi pelayan yang tadi menyambut mereka di pintu masuk, tangannya sambil memberi petunjuk pada kafe di sebelah kanan mereka. Satya mengucapkan terima kasih. Menahan tawa melihat Sasa yang terlihat kikuk.

"Kita ke gunung cuma untuk sehari, Sa. Gak akan kelaparan nanti nyampe di puncak. Banyak warung di tempat berkemah, aku pilih Gede karena hal ini. Tahu, jika perbekalan yang kita bawa tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan perut kamu yang gembul."

Sasa memukul pelan lengan Satya. Mencoba bersikap seperti biasa, takut jika ada pelayan lain yang menyahut perkataannya seperti tadi. Ikut serta mengejeknya yang terlihat kampungan dengan beribu pertanyaan yang dilontarkan.

"Lagipula sekarang banyak peralatan modern yang bisa kita bawa ke gunung. Kita bisa masak apa saja layaknya di restoran."

"Aku tidak percaya! Mana ada makanan hidangan restoran di puncak gunung. Tidak ada koki hebat yang ikut mendaki bersama kita, kan?"

"Ada."

Sasa menyipitkan matanya. Tahu dari lagak Satya yang seperti berbohong.

"Tanya dong siapa."

"Siapa?"

"Chef Satya."

Sasa melengos tak peduli, pergi ke arah jejeran tas keril. Sudah tahu akan keluar candaan norak dari Satya.

"Aku sudah memesan warnanya sama mbak tadi. Kita tunggu sebentar sambil mencari kaos untukku. Kamu pilihkan yang bagus, Sa."

Satya membawa Sasa kearah jajaran rak khusus atasan. Memilih beberapa potong dengan warna gelap. Akhirnya, Satya membawa dua atasan lengan panjang dengan model yang sama, satu celana berwarna coklat moka untuk Sasa, juga satu kaus lengan panjang berwarna hijau lumut.

"Adalagi yang mau kamu beli?"

Sasa menunjuk sesuatu di depan, terletak di tengah bangunan toko lantai satu.

"Motor itu keren," ucap Sasa.

"Itu hanya pajangan, bukan untuk dijual!"

"Aku tahu, aku hanya bilang itu keren."

Satya mengulum senyum. Satu jitakan pelan mendarat di kepala Sasa.

"Kenapa, sih? Sakit tahu!"

"Kita ke kafe habis ini, aku lapar."

Sasa mengangguk antusias. Perutnya sejak tadi juga menahan lapar.

___

"Kamu serius pesan ini semua?" tanya Satya menunjuk daftar makanan yang sedang dicatat pelayan kafe. Sasa melotot ke arahnya. Turuti saja!

Satya menurut akhirnya. Ia sendiri hanya memesan roti bakar dan teh jasmine. Sederhana, ia sudah makan sebelum mengajak Sasa tadi di rumah.

"Cuma tiga menu, kok. Aku belum makan sejak tadi," bela Sasa saat pelayan kafe sudah berlalu pergi.

"Tadi kapan?"

"Tadi sore."

Itu hanya sekitar sejam atau dua jam yang lalu kalau begitu.

"Jangan makan terlalu banyak dulu, kalau badan kamu membesar saat mendaki aku yang susah."

Sasa menjulurkan lidahnya. Mendelik tidak peduli.

Makanan mereka selesai pada waktu yang hampir bersamaan. Sasa langsung melahapnya layaknya tidak makan berhari-hari. Satya sempat memotret pemandangan itu dengan ponselnya. Tertawa pelan melihat hasil jepretannya.

"Akhir-akhir ini, ayahmu makin sibuk, ya? Aku nggak ngeliat dia bahkan di akhir pekan."

Sasa tertegun, menelan pelan sisa makanan di mulutnya. Mengangguk.

"Lagi banyak kerjaan di kantornya?"

Sasa mengangguk lagi.

"Pantas saja kamu ngajak muncak. Ternyata karena kesepian diam di rumah terus."

"Aku paham alasan Kakak mempunyai hobi mendaki."

"Kenapa?"

"Karena Kak Satya selalu merasa kesepian."

Sasa tersenyum puas. Kembali mencoba bersikap seperti biasa. Jangan coba-coba menggodanya jika tidak ingin dibalas kembali!

"Kak Satya, mau coba muffin ini?" tawar Sasa menunjuk makanan penutup yang hampir habis. Mengubah topik pembicaraan.

"Aku tahu kamu nawarin muffin itu biar bisa nyicipin roti bakar punyaku. Ambil saja nih," ucap Satya menyodorkan piringnya. Ia baru memakan setengahnya. "Mau pesan lagi?"

Sasa menggeleng. Perutnya sudah penuh. Hanya bisa menampung untuk makan malam nanti.

"Lain kali, makan seperti manusia kebanyakan. Jangan berlebihan!"

"Lain kali, makan seperti hewan kebanyakan. Kakak kan butuh tenaga untuk membajak sawah."

"Kerbau, dong?"

"Kenapa kamu menjadi pintar membalas ejekanku?"

"Jangan cari gara-gara kalau tidak ingin diejek balik! Lagipula, aku makan sesuai kapasitas perutku. Karena kantung makanku besar, otomatis makanan yang harus aku olah harus banyak pula."

"Baiklah, kamu sama seperti kebanyakan cewe juga ternyata."

"Kenapa?"

"Tidak pernah merasa salah."

"Kakak juga sama seperti kebanyakan cowo."

"Kenapa?"

"Gengsi untuk mengakui kekalahan."

"Baiklah. Selesai. Ayo kita pulang!"

"Kalah telak. 3-0."

Satya membuang napasnya berat. Ia pasti akan membalasnya suatu hari nanti.

Makanan di depan mereka habis. Sasa bahkan menghabiskan sisa roti bakar yang nganggur akibat saling lempar ejekan dengan Satya tadi.

_____

Scientory (ツ)