Chereads / Luka Senja / Chapter 15 - XIV

Chapter 15 - XIV

Sasa sakit. Ia demam.

Sejak kemarin, sepulang dari rumah Satya, badannya terasa tidak nyaman. Hidungnya terasa panas. Setelah Tara pulang pagi tadi, tubuhnya semakin tidak karuan. Kepalanya terasa nyeri.

Padahal, ia jarang sekali sakit. Bahkan walau sekadar masuk angin. Terakhir kali ia setengah pingsan saat upacara. Itu pun karena melewatkan sarapan.

Kabar baiknya, sekolah sedang masa bebas. Jadi, Sasa tidak perlu ijin untuk tidak masuk. Hanya beberapa murid yang hadir untuk melakukan remedial atau ujian susulan.

Satu yang dilupakannya hari ini adalah perpisahan klub sastra. Fatih sudah menghubunginya sejak semalam, tetapi ia tidak sempat mengecek ponselnya. Matanya panas walau hanya sekedar melihat cahaya minim ponsel. Sampai sore, ia hanya terbaring di kasur.

Ayahnya sedari tadi menemani. Ini akhir pekan. Jadi ia bisa seharian mengawasi anaknya hari ini. Ia duduk Membaca buku sembarang di kamar anak semata wayangnya itu. Sesekali menoleh kearah Sasa yang tidur dengan keringat dingin di wajahnya. Semakin khawatir.

Sasa sejak tadi tidak ingin jika Adi memanggil dokter untuk memeriksa keadaannya. Beralasan, bahwa ia hanya demam biasa, sore juga akan mendingan. Ia hanya menuruti Sasa dan tetap mengurusnya dengan sabar.

Sasa mengigau. Terlihat ketakutan dalam tidurnya.

Adi menghampirinya. Memegang kening Sasa. Semakin panas. Tangannya ia pegang erat seakan menyalurkan energi kepada Sasa. Sampai ia tertidur di pinggiran kasur dengan kedua tangannya masih menangkup tangan anaknya.

Menjelang malam, Sasa terjaga dari tidurnya. Kepalanya masih terasa pening. Panas tubuhnya belum mereda. Sepertinya, ia butuh istirahat lebih sampai sembuh benar.

Sasa melihat sekeliling kamarnya. Tidak menemukan ayahnya di sampingnya. Kemana ayah pergi?

Lalu matanya menangkap semburat cahaya jingga dari jendela yang kacanya tertutup. Namun, gondennya dibiarkan terbuka.

Lagi.

Perasaan takut menghantuinya. Takut akan kehilangan. Ia tahu ayahnya sedari tadi menjaganya di kamar ini. Bahkan tertidur di sampingnya. Tapi kemana ia sekarang?

Jangan pergi.

Dalam keadaan setengah sadar, Sasa bangkit dari tidurnya dengan tergesa. Perasaan panik menghantuinya. Tangannya kembali gemetar hebat. Kali ini lebih parah dari sebelumnya. Ia tidak menghiraukannya. Bergegas keluar kamar walau tubuhnya masih lemah.

Ia benci perasaan seperti ini. Sungguh.

Jika terjadi secara mendadak, ia tidak bisa menanganinya.

Dengan parau ia memanggil ayahnya. Suaranya serak. Hampir hilang.

Terpapah ia menuruni tangga. Sakit kepalanya semakin menjadi. Sekali saja ia salah melangkah maka ia akan terpeleset dan entah.

Sasa mencengkram kepalanya keras. Mengaduh pelan.

Sebuah tangan dengan sigap meraih bahunya dari belakang. Memegangnya dengan erat. Takut jika tubuhnya limbung dengan kondisi badan yang rentan itu.

Sasa berbalik. Terhentak.

Satya menatapnya khawatir.

Kenapa ia ada disini? Seingatnya, hanya Tara dan ayahnya yang tahu kalau ia sedang sakit. Sasa tidak bisa memberitahunya karena kondisinya. Juga, tidak ingin membuatnya khawatir hanya karena sakit yang tidak seberapa.

"Kamu mau kemana? Badanmu masih demam!" seru Satya cemas. Menatap khawatir gadisnya.

Mata Sasa terlihat sayu dengan wajah pucat pasi. Bulir air menandakan ia tidak baik-baik saja. Lalu, apa yang membuat gadisnya keluar dalam kondisi seperti ini?

Satya mencengkram lengannya kuat. Gemetar hebat itu seakan disalurkan kepadanya. Panas tubuh Sasa bisa ia rasakan.

"A-ayah. Kemana ayah?"

Panggilan cemas terdengar dari arah pintu balkon. Adi menghampirinya. Sebuah panggilan di ponselnya ia tutup dengan paksa. Kondisi Sasa lebih utama. Bahkan walau panggilan itu sebuah ancaman untuknya.

Adi meraih tubuh anaknya dengan sigap. Memeluknya. Berharap sakit anaknya itu bisa beralih padanya. Ia cemas. Sangat. Ditinggal orang-orang tersayangnya masih membekas.

Sasa amat berharga baginya. Alasan ia bisa bertahan sampai saat ini. Selain keluarganya yang nun jauh di ujung paling barat Indonesia.

Kondisi Sasa masih lemah. Ia membopong tubuh Sasa ke kamar. Membaringkan pelan di ranjang. Menyelimutinya.

Bulir air mata keluar dari pelupuk kanan matanya. Terasa hangat.

"Kenapa kamu keluar kamar padahal kondisimu masih lemah, nak? Apa yang kamu butuhkan? Harusnya kamu panggil Ayah."

Adi meraih kompresan di meja pinggir ranjang. Memerasnya perlahan.

"Ayah," jawab Sasa dengan suara paraunya.

Adi meletakkan kompresan di kening Sasa. Tangannya memegang tangan Sasa yang masih gemetar. Lalu, menatap Sasa yang juga sedang menatapnya cemas. Menahan tangis.

"Ayah.. Hanya ayah yang aku butuhkan saat ini," ucap Sasa. Bulir lain jatuh dari kedua matanya. "Jangan pergi lagi. Tetap di sampingku."

Lelaki paruh baya itu mengangguk. Tersenyum menenangkan. Sasa terlihat lemah sekali saat ini.

Sukar sebenarnya untuk mengatakan hal itu dalam keadaan biasa. Tapi saat ini, Sasa ketakutan. Bahkan hal kecil membuatnya khawatir berlebihan. Kepanikan tanpa alasan yang jelas membuatnya bertindak ceroboh, hampir mencelakai dirinya yang sedang sakit.

Di sisi lain, Satya melihat kedua ayah dan anak itu sayu.

Bukan tidak ikut senang melihat keduanya begitu dekat. Namun, kejadian barusan hampir membuat Sasa yang sedang sakit, hampir terjatuh cukup mengganggunya.

Satya sedang duduk di sopa depan kamar Sasa. Ia mengantuk. Tidak tahu jika Sasa terbangun dan keluar kamar tanpa sepenuhnya sadar. Ia baru terjaga saat Sasa sudah di ujung anak tangga.

Jantungnya masih bertetak cepat sampai sekarang.

Kehilangan itu, ia tidak ingin terulang lagi. Apalagi pada orang terdekatnya. Di depan matanya sendiri. Secara langsung. Tanpa pencegahan darinya.

Satya tidak akan sanggup.

Kondisi gadisnya sekarang membuatnya merasa bersalah. Bagaimana tidak?

Sasa sakit karenanya. Saat menengoknya kemarin, Sasa kehujanan. Satya terlalu meremehkan tubuh gadisnya yang jarang terkena demam.

"Siang tadi badanmu panas sekali. Ayah cemas, jadi memanggil Satya untuk menemani disini. Walaupun ayah tidak terlalu payah dalam mengurusmu. Ayah rasa dengan kehadirannya bisa menemani dan membantumu untuk cepat pulih."

Satya tidak membalas. Ia hanya mengangguk sopan.

"Kamu tidak pernah sakit. Ayah terlalu meremehkan keadaanmu. Sebentar lagi dokter akan datang untuk memeriksa keadaanmu," ucap Adi.

Sasa memperlihatkan keberatan dengan matanya.

"Hanya untuk memastikan keadaanmu saja. Tidak apa-apa."

Adi tersenyum. Rautnya menunjukkan kekhawatiran. Dalam hatinya ia tidak berhenti berdoa. Sungguh, keadaan seperti ini membuatnya takut.

"Baiklah. Bukan saatnya untuk mengutarakan kekhawatiran Ayah sekarang. Istirahatlah, ayah akan selalu menemanimu disini."

Sasa mengangguk lemah. Tubuhnya menjadi semakin tidak karuan karena memaksakan untuk bangun dari kasurnya tadi. Tak lama, ia terlelap tenang.

***

Satya memutuskan untuk menginap malam ini. Sebenarnya, Adi sudah menyuruhnya pulang sejak pukul sepuluh malam, tapi ia mendesak untuk dibiarkan menemani Sasa dari dekat. Ia sudah ijin kepada orang tuanya.

Adi hanya bisa mengalah. Membiarkan. Lagipula, ia butuh orang lain untuk membantu menjaga Sasa. Seperti pagi ini, ia sudah harus berangkat untuk bekerja. Karena ini hari senin, ia berangkat sejak pukul shubuh. Jalanan kota sangat padat setiap awal pekan.

Satya menunggu Sasa di kursi pinggir kasurnya. Demamnya sudah turun. Semalam, panasnya meninggi. Sampai Sasa mengigau beberapa kali. Membuatnya semakin khawatir. Dokter datang tidak lama setelah Sasa tertidur. Gadis itu baik-baik saja.

Satya hanya sempat tidur dua jam malam tadi. Ikut cemas menunggu Sasa diluar kamar. Disaat om Adi beribadah tengah malam, ia mengikuti tidak lama setelahnya. Setidaknya, ia bisa merasa lebih tenang setelah berdoa kepada Tuhan.

Kali ini sembahnya lebih lama. Lebih dalam dari biasanya. Meminta ketenangan hati. Jika memungkinkan, biarkan ia saja yang menanggung semua sakit jika harus secemas ini menunggunya. Baru kali ini ia merasakan kekhawatiran yang teramat hanya karena sakit demam.

Takut akan kehilangan?

Satya memejamkan matanya. Kembali berdoa untuk kesembuhan Sasa. Ia tidak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk dalam keadaan seperti ini.

***

Sasa terbangun.

Senyuman hangat dari Satya menyapanya kembali. Sudah dua kali ia terbangun pagi ini. Pria itu selalu menyapanya dan tanpa jenuh menunggu.

"Sudah agak baikan?" tanyanya. Senyuman hangat masih ia tunjukkan.

Sasa mengangguk. Membenarkan posisinya untuk duduk. Mulutnya masih kaku.

"Ayah jadi berangkat?"

Suaranya masih serak. Terdengar samar.

Satya mengangguk.

"Cutinya dibatalkan, ada urusan yang mendesak di kantornya. Dia tidak sempat berpamitan karena tidak mau mengganggu istirahat kamu."

Satya beranjak membawa nampan di nakas. Ada bubur dan obat di atasnya.

"Makan dulu. Habis itu obatnya juga diminum."

Sasa menggeleng. Sejak dulu, ia anti sekali dengan obat. Baunya saja sudah membuatnya mual.

"Aku sudah baikan. Kalo minum obat lagi nanti malah tambah sakit," rajuk Sasa. Tangannya hanya menunjuk bubur yang diserahkan Satya.

"Kamu sejak dulu tidak pernah berubah soal ini."

Satya mengalah. Menyimpan obat kembali ke nampan. Semalam saja Sasa terpaksa memakan obat karena paksaan ayahnya. Lagipula, Sasa sudah banyak mengkonsumsi obat-obatan penenang setahun terakhir. Itu hal sukar bagi gadisnya tetapi tetap dilakukan saat kondisi mentalnya memburuk.

"Aku bisa sembuh lebih cepat tanpa obat. Ini fakta sejak dulu," belanya lagi. Buburnya sudah masuk beberapa suap. Perutnya bisa menerima lebih banyak makanan sekarang.

"Memangnya kamu dokter bisa mendiagnosis tubuh sendiri!"

Satya menggeleng. Tidak bisa memaksa seperti Adi.

Itu benar, daya tahan tubuh Sasa memang bagus. Sejak dulu ia tidak pernah sakit lama. Mungkin karena nafsu makannya yang bagus? Lihat saja, untuk ukuran orang yang baru sembuh, bubur itu sudah habis tanpa sisa.

"Aku ambilkan lagi buburnya."

"Nggak! Aku sudah kenyang," cegah Sasa sebelum Satya melangkah. Sebenarnya ia terpaksa memakan habis semuanya agar tidak dipaksa lagi meminum obat. Benda itu jauh dari jangkauannya, tapi sungguh baunya sampai ke indra penciumannya saat ini.

"Ya sudah, tidur lagi. Kamu masih butuh istirahat."

"Aku bukan beruang yang lagi hibernasi, kak."

Satya tertawa.

"Jika sudah bisa melucu seperti ini berarti kondisi kamu sudah baikan."

Entahlah bagian mana yang membuatnya tertawa itu. Ia melirik kearah Sasa. Tampaknya dia sedikit kesal karena reaksinya.

"Jangan sakit lagi. Kamu sekalinya sakit bikin semua orang di sekitarmu khawatir."

Sasa merajuk. Ia juga tidak ingin sakit. Itu diluar kehendaknya.

"Kalian sangat berharga bagiku. Bahkan lebih berharga dari hidupku sendiri. Aku tidak peduli jika tubuhku rusak asal ada kalian di sisiku."

"Jangan berkata seperti itu, jika tidak ingin membuat ayahmu dan aku sedih. Hidupmu sangat berharga. Amat. Tidak bisa dibandingkan dengan apa pun."

"Maaf." Sasa semakin menunduk mendengar perkataan Satya. "Aku hanya merasa tidak kesepian saat ini. Karena setiap bangun dari tidurku, selalu ada ayah dan Kak Satya menemaniku setiap saat. Walau sakit di tubuhku, aku tidak suka."

"Aku selalu ada untukmu kapan pun kamu butuhkan. Tidak perlu sakit untuk menyuruhku berada di sisimu. Asalkan kamu ada, aku pastikan selalu ada juga untuk kamu. Maka dari itu, kamu harus menjaga tubuhmu sendiri. Jangan memaksakan diri jika tidak mampu. Bilang, jika kamu membutuhkanku."

Sasa mengangguk. Jika niat Satya hanya untuk mengomel, lebih baik ia kembali tidur.

"Kak Satya tidak ada keperluan hari ini?"

Satya menggeleng. Jika pun ada, aku sudah pasti membatalkannya.

Sasa terbatuk.

Satya menyodorkan air hangat untuk Sasa.

"Mau aku ambilkan buku?"

Sasa menggeleng. Itu ide buruk. Ia baru saja pulih. Memahami setiap kata dalam buku bisa membuat kepalanya pecah.

"Sudah sarapan?"

Bi Enti sudah memasak sejak pagi. Jika kamu butuh sesuatu, Bi Enti ada diluar.

Sasa mengangguk. Ijin untuk mengistirahatkan lagi tubuhnya. Sebab, ia masih lelah.

_____

Scientory (ツ)