"Sasa?" panggil Adi di sebelahnya. Mereka dalam perjalanan menuju sekolah.
Sasa bergeming. Tatapannya kosong menatap jalanan. Ada yang aneh dengan Sasa pagi ini.
"Kamu baik-baik saja, Sayang?" Kali ini Adi menyentuh pundaknya. Sasa tersadar dari lamunannya. Mengangguk. Tersenyum tipis.
"Ayah langsung berangkat ke tempat proyek dari sini?"
"Tidak. Atasan ayah marah karena Ayah jarang ada di kantor. Padahal kebanyakan pekerjaan Ayah ada dilakukan di kantor bukan lapangan. Dia menyuruh Ayah untuk lebih menghargai jabatan ayah sendiri," jawab Adi tertawa. Sasa sepakat dengan atasan ayahnya. "Hari ini Satya pulang, yah?"
Sasa tersenyum manis, kembali mengangguk.
Dia senang karena hari ini katanya Satya pulang dari pendakiannya ke Gunung Gede. Kemungkinan sore baru sampai rumah.
Perjalanan sehari semalam. Ya, lelaki itu memulai pendakian dari kaki gunung di malam hari bersama rombongan pecinta alam. Paginya mereka summit mengejar matahari terbit di puncak dan mulai menuruni gunung siang harinya.
Walaupun begitu, Sasa masih tetap khawatir sebelum melihat Satya secara langsung. Mereka sama sekali tidak bisa berkomunikasi. Saat mulai memasuki hutan, sinyal bakalan langsung hilang, kata Satya sebelum ia berangkat. Mewanti Sasa agar tidak khawatir jika tidak bisa menghubunginya.
"Kalau begitu, Ayah tidak bisa mengantar jemput kamu lagi, dong?"
Sasa menoleh. Jika ayahnya mau, dia akan senang hati untuk mengusir Satya saat menjemputnya untuk sekolah.
"Sejak kamu kembali bertemu dengan anak itu, kamu berubah sayang."
Sasa tersentak. Berubah bagaimana?
"Kamu lebih bersemangat, jadi nambah cantik. Ayah senang melihatnya." Adi terdengar serius. Tersenyum tulus. "Sudah saatnya kamu kembali menjalani hidup dengan baik, tidak dihantui perasaan bersalah."
Sasa terdiam. Topik ini yang selalu ia hindari jika bersama ayahnya. Mereka sama-sama tidak nyaman. Karena keduanya, saling menyalahkan diri sendiri. Ayahnya, sama menderitanya dengan dirinya.
Adi sekarang mulai merambah ke dunia bisnis. Sebenarnya lebih pas disebut untuk menjalankan kembali bisnis keluarga yang sempat terbengkalai. Ia semakin menyibukkan diri. Seringkali merusak pola tidurnya. Hanya sempat mengistirahatkan tubuhnya sejenak, kemudian kembali kepada rutinitas kerjanya yang gila.
Kesibukan pekerjaan yang dijalaninya hanyalah pelampiasan. Sasa tahu itu.
"Ayah." Sasa menatap ayahnya yang fokus mengendarai mobil. "Sasa sungguh bersyukur, karena keberadaan Ayah, Sasa mampu bertahan sampai sekarang. Sasa tidak ingin kehilangan lagi. Jadi Ayah harus selalu sehat, melihat Sasa tumbuh dan menjadi anak kebanggan untuk Ayah."
Adi tersenyum. Anak gadisnya jarang sekali mengutarakan isi hatinya.
"Ayah janji."
Sebuah ide jail muncul di kepalanya.
"Kalau begitu, jika kamu diberi pilihan untuk memilih antara Ayah dan Satya. Kamu pilih siapa?" Adi tersenyum menggoda.
Sasa mengerutkan keningnya. Tersenyum simpul.
"Jika aku memilih Kak Satya, Ayah pasti tidak akan suka. Jadi aku pilih Ayah saja," canda Sasa. Adi tertawa mendengarnya.
Ayahnya dan Satya adalah dua pria yang amat berjasa dalam hidupnya. Haruskah ia menomorsatu dan duakan keduanya?
Sasa menggeleng. Ia tidak bisa. Mereka sama pentingnya bagi Sasa.
___
Kelas IPS sudah sepi. Ujian hari ini hanya ada dua pelajaran. Begitu ujian pertama selesai, tanpa istirahat, mereka langsung melanjutkan ujian berikutnya. Masih terlalu dini untuk pulang.
Tara memperhatikan Sasa di bangkunya. Sahabatnya itu sedang memikirkan sesuatu. Sejak tadi ia bertanya tapi hanya dijawab dengan gelengan. Seakan tidak ada yang terjadi. Namun Tara tahu yang sebenarnya, Sasa memang tak pandai berbohong. Apalagi tentang seseorang Satya.
Ia berjalan menuju bangku Sasa yang berada di barisan depan. Karena ulangan mereka duduk terpisah.
"Lo kenapa?" Tara menepuk pundak Sasa pelan. Yang dituju menoleh. Membalas dengan gelengan, lagi.
Sasa membereskan alat tulisnya kedalam ransel kecilnya. Ia tidak membawa barang banyak, hanya satu novel dan seperangkat alat tulis.
"Aku mau ke klub sastra. Kamu pulang duluan aja," ucap Sasa berlalu.
Tara menggelengkan kepala. Mengikuti langkah Sasa.
"Lo enggak usah sekhawatir ini sama Satya kali, Sa. Dia udah gede, lo berlebihan. Gemes gue lihatnya."
Sasa mendelik. Bagaimana ia tidak khawatir jika Satya tidak bisa dihubungi sejak kemarin?
Ya, Tara tahu. Sasa berprilaku seperti ini karena mengkhawatirkan Satya.
Satya bahkan sudah lulus SMA walau belum turun ijazah. Kekhawatiran Sasa sejak kemarin membuatnya jengah juga. Kenapa dia tidak melarangnya sejak awal jika akan secemas ini menunggu kabar.
"Satya itu anak basket, walau bukan pemain andalan, ditambah suka naik gunung, dia udah berpengalaman. Walaupun kata lo dia udah lama enggak muncak, gue yakin dia baik-baik aja."
Sasa tak menjawab. Apakah ia berlebihan?
"Gue temenin ke klub Sastra, deh, nanti pulang sama gue aja. Gue bawa motor kok," tawar Tara.
"Ayahku jemput, kok. Lo duluan aja." tolak Sasa. Ia berhenti berjalan. Merasakan perutnya yang sejak tadi di kelas terus berbunyi. Berontak minta untuk diisi.
Tara menggeleng. Meraih tangan Sasa paksa.
"Ikut gue ke kantin! Abis dari sana baru ke ruangan klub apa itu namanya, eum klub indonesia? Bahasa? Eh, iya klub sastra," paksa Tara. Ia sengaja mengejek dengan berpura-pura lupa nama klub sastra.
Setibanya di kantin, mereka langsung memesan makanan yang berbeda, batagor kuah untuk Sasa dan baso untuk Tara. Juga, minuman cola kesukaan Sasa.
Mereka duduk di bangku yang terletak tak jauh dari tempat pemesanan. Suasana kantin tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa murid kelas tiga yang sedang mengurus berkas, juga ada murid kelas sepuluh dan sebelas. Hanya ada dua stan yang buka. Sisanya tutup karena memang saat masa ujian, kantin jarang dikunjungi.
Sasa memperhatikan sekelilingnya. Kantin cukup menyenangkan jika sepi seperti ini. Beberapa kali ia mengunjungi kantin saat hendak pulang bersama Satya.
"Gue main ke rumah lo, yah? Numpang tidur," kata Tara. Ia meneguk es teh manisnya. "Gue putus sama pacar. Dia mutusin gue pas banget gue lagi ujian. Sialan!"
Pantas saja selama beberapa hari ini emosi Tara labil. Marah sepanjang hari. Membahas apa saja soal pertanyaan ujian yang menurutnya terlalu susah untuk ukuran anak SMA.
"Kenapa?" tanya Sasa.
"Selingkuh," jawab Tara pendek. Seperti itu adalah hal yang lumrah baginya. Walau masih ada sedikit luka yang membekas.
"Diselingkuhin atau kamu yang selingkuh?"
"Lo kan tahu sendiri. Gue sekarang mau fokus ngumpulin nilai biar ada perguruan tinggi yang iba dan nerima gue. Mana ada waktu buat nyari gebetan lain. Masa bodo-lah dia mau selingkuh juga, gue udah enggak peduli."
Pesanan mereka datang bersamaan berhentinya sesi curhat Tara. Sasa langsung melahapnya. Begitu juga Tara. Mereka sama-sama menikmati makanannya tanpa banyak bicara.
"Kasih tahu om Adi biar enggak usah jemput lo. Biar bareng gue aja."
Sasa mendengus pelan. Meraih ponselnya. Mengirim pesan pada ayahnya.
"Katanya enggak betah lama-lama diam di kamarku. Muak liat pemandangan sana sini isinya buku semua."
"Mual kalo baca buku, kalo buat rebahan enak kok." Tara terkekeh. Mengangkat bahunya.
***
Tara mengantar Sasa untuk memberi beberapa kudapan di Book Cafe. Stok makanan di rumahnya sudah menipis. Ia sengaja membelinya untuk disuguhkan pada temannya itu.
Sebenarnya, Sasa senang jika ada orang yang mengunjungi rumahnya. Apalagi teman sekolah. Sudah lama ia tidak membawa orang lain ke rumahnya sendiri. Perubahan sikapnya yang menjadi lebih tertutup sejak beranjak remaja. Padahal dulu ia sering sekali bermain bersama teman sekitar rumah.
Termasuk hobi mendaki Satya yang sebenarnya membuat gadis itu sedikit iri.
Sasa tidak memandang bahwa kesukaan Satya dalam mendaki gunung adalah hal yang salah.
Saat kecil, ia sering ikut mendaki bukit di belakang komplek perumahan mereka. Dia senang tentu saja. Itu kegiatan yang menyenangkan.
Dulu, ia tidak membenci senja seperti sekarang. Memandang keindahan alam di ketinggian bukit. Sungguh, itu adalah hal yang menakjubkan baginya.
Tapi luka itu masih membekas. Sasa tidak sepenuhnya bisa berdamai. Bahkan dalam beberapa keadaan ia kembali menatap bengis semburat jingga yang mengintip di balik jendela. Senja itu, ia beberapa kali mencoba untuk tidak memikirkannya.
Sudah pukul setengah enam sore dan diluar matahari mulai menghilang dari cakrawala. Belum ada kabar dari Satya, nomornya tidak bisa dihubungi. Sasa sudah belasan kali menghubungi, tapi nihil.
Sasa menepis pikiran buruk tentang Satya. Ia lihat berita, seharusnya kotanya diguyur hujan lebat malam ini. Langit sebelah barat memang terlihat mendung. Semoga Satya sudah pulang sebelum hujan turun.
Ia beranjak dari duduknya untuk menutup jendela yang sedari tadi dibiarkan terbuka lebar. Halaman depan rumahnya sepi. Ayahnya belum juga pulang.
Ada Tara yang sedang duduk santai sembari membaca buku dengan judul yang sama saat pertama ia mengunjungi rumahnya.
Bukankah tadi ia bilang merasa mual jika membaca buku tebal?
"Gue penasaran sama cerita petualangan bocah seumuran kita ini, Sa. Jangan ngejek!"
Sasa tersenyum menggeleng.
***
Pukul setengah delapan malam.
Sasa menatap ponselnya berkali-kali. Kali ini ia sungguh cemas. Diluar sudah mulai gerimis.
Sejam yang lalu ia bertanya pada Sarah, apakah Satya sudah pulang? Belum. Wanita itu menenangkan Sasa untuk tidak terlalu khawatir.
Sasa menatap keluar rumahnya. Memeriksa jika saja mobil yang ditumpangi Satya dan kawan-kawannya lewat.
Sebenarnya sejak senja menyapanya tadi, ia berusaha untuk menenangkan pikirannya. Berkata bahwa semua akan baik-baik saja.
Dejavu.
Kenangan itu menyapa lagi. Ia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Hatinya menjadi tidak tenang. Ia tidak boleh terlihat lebih rapuh, ada Tara di sebelahnya.
Sebuah mobil bak terbuka melintas. Ia melihat bayangan Satya terbaring di bak mobil itu. Dilingkari oleh teman-temannya. Mereka tertawa walau dibasahi gerimis. Satya sempat melihatnya sekilas, melambaikan tangan.
Ada yang salah.
Tara yang sejak tadi memperhatikannya menatap heran. Sebegitu khawatir, tapi masih saja menyebut hubungan mereka sebatas teman masa kecil? Ia ikut cemas melihat gerak-gerik temannya itu.
"Aku mau keluar, kamu tunggu ah, nggak, kamu boleh antar, ah enggak usah. T-tapi.."
"Ayo gue ikut. Rumahnya deket dari sini kan?" potong Tara. Semakin cemas melihat saking gugupnya Sasa.
Sepertinya dugaannya benar. Bahkan setelah bertahun berlalu, Sasa masih berjuang menyembuhkan lukanya.
___
Keadaan rumah Satya ramai. Ada tiga kawan pendaki yang sedang menunggu di teras rumah. Mobil bak terbuka tadi masih terparkir diluar gerbang saat dua gadis itu tiba.
Tidak ada Satya.
Sasa masuk kedalam rumah tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Kedua tangannya kebas dan gemetar. Diluar dingin dan dia hanya memakai kaos lengan panjang bersama kulot.
"Eh ada Sasa. Malam gini kamu sama siapa kesini? Mana bajunya tipis banget. Diluar bukannya hujan, yah?" Itu Bunda. Ia membawa nampan berisi teh hangat dan beberapa kudapan.
"Enggak apa-apa, Bunda. Cuma gerimis." Sasa tersenyum tipis. Matanya mencari Satya di ruang tamu. Tidak ada juga.
Bunda membawa Sasa kedalam. Meninggalkan Tara yang sedang bercengkrama asyik dengan para pecinta alam itu. Langsung akrab.
"Satya ada di kamarnya tuh, panggil aja. Bunda mau ke dapur dulu, yah," ucap Bunda sambil berlalu.
Sasa berjalan pelan menuju kamar bernuansa putih abu itu. Pintunya sedikit terbuka. Entah penghuninya sedang apa.
Sasa hanya ingin tahu kabarnya. Ia sudah terlalu cemas sekarang. Tangannya sejak tadi gemetar. Sedikit tertolong saat Tara memegangnya erat.
"Kak Satya?" panggilnya pelan. Terdengar seseorang melangkah dari dalam kamar.
Sesosok pria muncul di balik pintu. Wajah yang bersih dengan beberapa jerawat baru.
Terlihat lebih.. eksotis?
Satya tersenyum melihat Sasa. Setelah dua hari tidak bertemu. Rindu.
"Ponselku mati," katanya menunjuk ponsel yang tergeletak di meja, sedang di isi dayanya. Satya mendekat, "Baru aja mau aku hubungi, loh, kamu kesini sendiri?"
Sasa terdiam. Matanya fokus pada pergelangan kaki kiri yang diperban. Sesuatu terjadi.
"Aku baik-baik saja. Kakiku hanya terkilir, besok juga sembuh."
Satya mendekat. Namun, sebelum kakinya melangkah, ia meringis kesakitan. Hampir terjatuh kalau saja ia tidak memegang gagang pintu.
Sasa menghampiri cemas. Menuntunnya kearah ranjang. Satya menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Ia berbaring dengan kaki yang diluruskan diatas ranjang.
Apanya yang baik-baik saja.
"Kenapa bisa seperti ini?" tanya Sasa akhirnya. Matanya sayu, menunjukkan kekawatiran yang mendalam.
"Seriusan ini cuma terkilir, Sa. Aku kurang hati-hati saja."
Seseorang masuk tanpa permisi. Membawa nampan berisi dua gelas air jahe hangat.
Tidak ada percakapan. Satya melirik kearah bundanya. Memberi kode kearah lemari. Sarah mengangguk, tersenyum menggoda.
"Jangan terlalu khawatir, Sayang. Dia cuma jatuh di kamar mandi basecamp tempat dia rehat sebelum pulang. Ceroboh banget dia itu. Tapi enggak apa-apa, cederanya ini tanda dia enggak bisa lagi cengeng sama bunda. Harus bisa mengurus diri sendiri saat enggak di rumah."
"Satya enggak cengeng, Bunda!" Satya melotot. Sasa tersenyum tipis.
Sarah menjulurkan lidah, mengejek. Ia menghampiri mereka dengan membawa parka berwarna hijau lumut dari lemari, langsung memakaikannya kepada Sasa.
"Cuaca dingin gini kenapa pake baju tipis?" tanya Sarah.
"Eumh, tadi buru-buru kesini Bunda," jawabnya pendek sambil memakai jaket pemberian Sarah.
"Yaudah, bunda mau keluar dulu nyamperin temannya Satya. Mereka kayaknya mau langsung pada pulang."
Satya menggeleng cepat. Menyuruh bundanya untuk tetap disini bersamanya. Takut Sasa mungkin akan marah karena kecerobohannya ini. Sayangnya, Sarah tidak memperdulikannya dan langsung keluar kamar.
Jadi laki harus berani menghadapi emosi perempuan. Bahasa batin Sarah berbicara padanya.
Satya mendengus sebal. Melirik kearah Sasa yang masih menatapnya.
"Aku khawatir, takut terjadi sesuatu sama Kakak. Kenapa pula nomornya enggak bisa dihubungi. Padahal bisa, kan isi daya dulu sebelum pulang? Ngasih kabar kalo Kakak baik-baik saja."
Satya tersenyum. Benar dugaannya, Sasa sangat mengkhawatirkannya.
Sebenarnya saat Satya sampai tadi, ia langsung masuk kedalam rumah untuk menghidupkan ponselnya. Memberi kabar bahwa ia sudah sampai dan gadisnya itu tidak perlu cemas. Sebab tadi Sasa melihatnya terbaring lemah. Walau ia berusaha untuk terlihat kuat dengan melambaikan tangan saat mobil melintasi rumah Sasa.
Satya melirik kearah tangan Sasa yang masih gemetar. Ia mengulurkan tangannya.
"Sini tanganmu," perintah Satya memberi kode ke arah tangannya.
"Bukan muhrim," tolak Sasa. Ia mengangkat telapak tangannya, menunjukkan pada Satya. "Ini enggak seberapa dibanding tadi saat liat Kakak terbaring di mobil."
Satya membuang napasnya pelan, mengangkat sedikit satu sisi bibirnya. Tidak bisa melawan.
"Maaf, aku buru-buru saat sampai di basecamp. Tadinya mau memberi kabar setelah membersihkan badan, eh malah kepeleset. Lantainya licin banget, Sa. Ngilu sih kalo diinget lagi," kata Satya sambil pura-pura kesakitan.
"Syukurin," ejek Sasa.
Satya tertawa.
"Minum dulu, biar enggak masuk angin. Nanti yang ada malah kamu yang sakit."
"Aku kebal. Enggak gampang masuk angin."
Akan tetapi Sasa menurut juga. Menyesap air jahe hangatnya.
Terdengar suara tawa dari luar. Tara sepertinya langsung akrab dengan para pecinta alam itu. Mereka mengobrol seperti sudah lama kenal.
"Itu Tara?" tanya Satya mengenali suara teman sebangku Sasa itu.
"Dia sedang main di rumah, mungkin malam ini menginap. Hari tadi terakhir ulangan, jadi dia diijinkan untuk menginap di rumahku."
Satya mengangguk. Bersyukur jika Sasa mulai terbuka dengan orang lain.
"Kapan giliran aku nginap di rumah kamu, Sa?" canda Satya yang langsung dihadiahi pukulan tepat di kaki yang terkilir. Ia melenguh kesakitan.
Sasa terkejut, sungguh ia tidak sengaja.
___
"Liburan semester depan gue diajak mereka muncak, Sa!" jerit Tara. Ia sedang saling kirim pesan dengan salah satu teman Satya tadi.
Sasa hanya menggeleng. Menggantungkan jaket pinjaman dari Satya. Sudah dua jaketnya yang ia pinjam dan belum sempat dikembalikan. Sasa selalu lupa untuk membawanya saat bertemu Satya.
"Ada yang menarik perhatian gue, Sa. Gila! Cakep banget orangnya, mana enak diajak ngobrol lagi. Namanya Kak Adryan, dia lagi kuliah semester akhir. Menurut lo, kalo gue deketin dia mau enggak yah?" tanya Tara antusias.
"Siapa yah yang tadi siang bilang enggak mau dekat sama cowo dulu, soalnya mau fokus masuk PTN?" sindir Sasa.
Kalau hanya untuk dijadikan teman, tidak masalah. Seenggaknya sekarang bisa pendekatan. Untuk kedepannya, serahin ke Tuhan.
Tara nyengir kuda. Melanjutkan aktifitasnya. Dia terlihat senang sekali. Padahal baru saja putus dengan pacarnya. Rumusnya jika putus cinta, cepat move on!
"Kamu gampang akrab sama orang lain, kalau aku jadi kamu mungkin enggak akan kesepian kalo lagi sendiri. Teman kamu, kan banyak."
Tara menoleh kearah Sasa. Menyimpan sejenak ponselnya.
"Elo enggak nganggep gue temen? Sedih loh gue," ucap Tara terlihat kecewa.
"Eh, bukan gitu maksudku." Sasa merasa bersalah dengan perkataannya.
"Denger yah! Lo bisa panggil gue kalo lagi punya masalah. Lo bisa panggil gue kalo lagi butuh. Gue bisa temenin lo bahkan walau sekedar nemenin nangis disaat lo pengen nangis, gue bisa nemenin lo yang cuma diem disaat lo pengen banget teriak. Kita temenan udah mau dua tahun, Sa. Gue gak masalah kalo lo masih belum terbuka sama gue. Karena gue tahu rasanya membuka luka lama, itu enggak mudah. Yang penting, gue bisa bantuin kalo lo lagi butuh apapun. Ya, asal jangan yang aneh-aneh sih," tutur Tara, tulus.
Sasa mengangguk penuh penyesalan. Tidak menyangka jika Tara akan mengutarakan isi hatinya seperti pengakuan cinta.
Sebenarnya ada alasan Tara bersikap seperti ini karena Bima. Lelaki itu pernah menolongnya saat ia hampir kehilangan kehormatannya.
Saat itu ia sedang sakit kepala dan terperangkap di depan pangkalan ojek gelap sepulang dari ekskul sekolah. Dua lelaki tidak dikenal dengan bau alkohol menyengat mencegatnya. Bima yang kebetulan baru selesai kegiatannya di sekolah melihatnya dan langsung menerjang dua pria linglung itu dengan mudah.
Sasa tahu cerita ini setelah lama berteman dengan Tara. Kejadian ini ia tutup rapat dari orang lain. Seperti aib yang tidak pernah bisa ia beberkan kepada siapa pun. Biarlah Tuhan dan dirinya yang tahu. Bersama malaikat berwujud manusia yang mungkin tengah tersenyum di dunianya.
Tara sendiri punya trauma yang tidak bisa ia bagikan dengan mudah kepada orang lain.
Sikap Sasa bukan egois, tapi itu adalah cara melindungi dirinya sendiri. Butuh waktu untuk membuatnya nyaman.
***
Esoknya, Satya terbangun dengan kepala terasa lebih ringan.
Semalam, sepulang dari mendaki, ia sebenarnya merasakan ada yang salah dengan tubuhnya. Kepalanya terasa berat dan tengah malam tubuhnya mendadak demam. Sehabis Sasa pulang ia langsung mengistirahatkan tubuhnya tanpa menghiraukan teman-temannya yang masih asyik mengobrol di teras rumah. Entah pukul berapa mereka pulang ke rumahnya masing-masing.
Pagi ini badannya terasa lebih segar, setelah semalam bajunya penuh dengan keringat. Kakinya masih terasa nyeri.
Satya beranjak dari tempat tidurnya, keluar kamar. Dua wanita tampak asyik mengobrol di depan meja makan. Bundanya menoleh, tersenyum.
"Bagaimana badanmu, Nak? Sudah mendingan?"
Satya mengangguk. Terkejut melihat sesosok wanita lain yang duduk di depan bundanya.
"Sini duduk. Sepagi tadi Sasa sudah datang dan membawakan bubur untukmu."
Sasa sigap menyiapkan bubur yang dibawanya ke dalam mangkok. Menyuruh Satya duduk di sebelahnya.
"Makan selagi hangat, Kak."
Satya mengangguk. Sempat terharu karena perhatian tak terduga dari Sasa. Ia kemudian duduk di depan semangkuk bubur yang sudah tersedia di meja. Melirik sejenak kearah gadis di sebelahnya. Tersenyum canggung. Dari mana Sasa tahu dia sedang sakit? Semalam ia yakin sekali berhasil menyembunyikan sakitnya dari gadisnya ini.
"Kenapa kamu repot bawa bubur untukku?"
Bunda mengetuk meja, melotot kearahnya. Sasa tertawa.
"Sebenarnya sejak tadi aku khawatir saat tahu Kakak sakit dari Bunda. Tapi setelah melihat Kakak sekarang baik-baik saja, aku lega. Habiskan buburnya."
Giliran Satya yang melotot ke arah bundanya. Bunda hanya tersenyum jahil.
Mereka tidak tahu, besoknya, virus yang menyerang Satya pindah ke tubuh lain. Dengan gejala lebih parah.
_____
Scientory (ツ)