Chereads / Luka Senja / Chapter 12 - XI

Chapter 12 - XI

Libur telah tiba.

Sayangnya, itu hanya berlaku untuk kelas sepuluh dan sebelas. Sedangkan kelas dua belas seperti Satya, akan melaksanakan Ujian Nasional mulai hari ini.

Pagi sekali, sebelum berangkat sekolah, Satya datang ke rumah Sasa untuk mengantarkan kue yang dibuat oleh bundanya. Sambil memberikan beberapa larangan padanya untuk tidak keluar rumah tanpa sepengetahuannya. Sasa hanya mengiyakan saja.

Sungguh, pria itu terlalu berlebihan mengkhawatirkannya. Lagipula, ia memang tidak ada rencana untuk keluar rumah dalam seminggu libur sekolah ini.

"Gue cape Sa, ah! Nanti aja dilanjut di rumah," keluh Tara melemparkan bukunya ke sembarang tempat. Tugasnya hanya selesai seperempat jalan. Sejak tadi, dia lebih banyak curhat tentang kehidupan cintanya dibanding mengerjakan tugas.

Sasa tertawa pelan. Ia sudah hampir selesai menyelesaikan tugas ekonominya. Membuat buku besar dengan manual.

Mereka sedang berada di kamar Sasa. Tara sejak hari libur memang mendesak teman sebangkunya itu untuk mengijinkannya bermain dengan alasan mengerjakan tugas. Untuk pertama kali sejak setahun pertemanan mereka, Tara mengunjungi rumahnya.

"Aku hampir selesai. Bawa aja buku gue nanti kalo mau pulang, buat perbandingan aja," kata Sasa. Tangannya masih fokus memberi garis di buku tugasnya.

"Lo kok gak konsisten ngomongnya! Kadang pake 'gue lu' kadang pake 'aku kamu'. Gue gak maksa lo buat ngomong kayak gue sih, cuma aneh aja kalo ngomong sopan ama temen deket," kata Tara sambil meraih potongan semangka yang sejak tadi tidak tersentuh.

Sasa nyengir. Dia tidak terbiasa berbicara dengan cara urakan seperti Tara.

"Terserah lo, deh!" ucap Tara kemudian. Dia beranjak dari duduknya menuju rak buku. "Gila! Lu baca semua buku cerita ini? Enggak ngantuk apa?"

Sasa menggeleng. Tersenyum melihat reaksi berlebihan dari temannya itu.

Tara memperhatikan tiga rak yang penuh dengan berbagai macam buku. Kebanyakan koleksi buku Sasa novel dan puisi. Ada pula biografi dan buku sastra lain di rak berbeda. Menjulang setinggi kurang lebih dua meter. Untuk orang awam sepertinya mungkin ini hal yang tidak biasa. Tara rahu, minat baca masyarakat Indonesia termasuk rendah, mengaca pada dirinya sendiri.

"Gue di rumah palingan cuma ada satu lemari buku. Itu pun kebanyakan buku paket. Gue ngantuk baca buku beginian pasti." Tara meraih satu buku yang sedikit menarik perhatiannya. "Kamar lu udah kayak perpustakaan kota. Penuh sama buku, pusing gue liatnya."

Perempuan dengan tampilan mamba itu merebahkan badannya di kursi sebelah jendela. Membuka dengan asal buku dengan judul 'Bumi' di tangannya.

Sepuluh menit berlalu. Sasa telah selesai mengerjakan tugasnya. Ia membereskan alat tulis dan buku ke meja belajar.

"Ini buku apaan sih?" tanya Tara mengangkat buku yang dipegangnya, menunjukkan kepada Sasa.

"Buku fantasi. Itu bercerita tentang tiga petualang remaja di 'dunia lain'. Buku serial, itu seri pertamanya."

Tara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia pikir buku ini berisi tentang alam atau kehidupan hewan. Dilihat dari judulnya seharusnya begitu.

Sasa mengikuti sahabatnya membaca buku. Ia meraih beberapa buku yang masih baru dalam paper bag. Pekan kemarin ia sempat memborong buku di toko buku langganannya. Amunisi untuk menemani hari liburnya.

"Itu apaan, Sa? Buku baru? Banyak banget, mual gue!" kata Tara sambil bergidik melihat buku yang baru saja dikeluarkan Sasa. Mungkin jumlahnya lebih dari sepuluh dengan ketebalan ratusan halaman.

Sasa hanya tertawa melihat gelagat ngeri Tara. Ia merapikan buku di meja belajarnya. Memilih satu buku yang masih utuh dibungkus plastik. Kebanyakan buku yang ia beli adalah biografi dan buku pengembangan diri. Akhir-akhir ini toko buku di kotanya banyak menerbitkan buku berbau penyembuhan atau pengembangan diri. Itu trend positif yang sedang berkembang di kalangan anak muda sepertinya.

"Lu beli buku itu sendiri? Emang kuat angkat buku sebanyak itu?" sindir Tara.

"Ya, bisa saja. Aku enggak selemah itu!" sergah Sasa sedikit tidak menerima Tara merendahkannya.

"Serius? Palingan sama Satya diantar tuh," ejek Tara. Dia tidak percaya jika Sasa sungguhan membeli buku sebanyak itu sendirian.

Sasa kikuk. Memang benar ia diantar Satya. Tapi dia bisa membawa buku sebanyak ini sendirian, kok. Dia tidak selemah apa yang dipikirkan Tara.

"Ini apaan?" tanya Tara yang sepertinya tidak betah dengan suasana di kamar ini. Dia meraih boks kotak yang berisi kue pemberian Satya tadi.

"Buka aja, itu kue. Indra pencium kamu tajam juga, ya, kalo ada makanan."

Tara tertawa senang. Aroma lezat dari kue dengan tampilan cantik itu langsung membuat perutnya bergetar lapar. Ia mencicipi satu potong kue dengan antusias.

"Wuah, lembut banget, Sa. Manis. Beli dari mana? Gue mau beli, ah, nanti habis dari sini," kata Tara belepotan. Dia tidak becanda soal kelezatan kuenya. Rasanya pas sekali dengan seleranya.

"Itu kue dari Kak Satya," jawab Sasa. Matanya masih fokus pada buku yang sedang ia baca.

Tara terdiam. Bahkan saat masa sibuk Ujian Nasional saja dia masih menyempatkan untuk mengantarkan kue pada Sasa.

"Lo yah, jujur sama gue! Sebenarnya hubungan lo sama si Satya itu lebih dari sekadar teman dekat, ya?!" selidik Tara yang sudah duduk di depan Sasa yang masih membaca buku di tangannya.

Sasa melirik sebentar kearahnya. Lalu, kembali membaca buku.

"Kalo lo enggak jawab, gue bakal kirim di grup bahwa lo udah resmi pacaran sama Satya! Serius nih gue ketik, Sa!" desak Tara. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

Sasa hanya menggeleng. Ia tahu Tara tidak akan mengirim pesan seperti itu.

"SASA!"

Teriakan Tara membuatnya sedikit terkejut. Kenapa pula dengan bocah ini.

"Astaga. Berisik!"

Sasa menutup bukunya kemudian. Menatap sahabatnya yang sudah menunggu jawaban darinya.

"Aku enggak ada apa-apa sama kak Satya. Sudah ah, ganggu mulu," jawab Sasa. Sahabatnya terlihat sedikit menyeramkan dengan tatapan tajamnya itu.

Tara mendengus.

"Terus, lo tahu alasan Satya enggak lanjutin ke universitas?"

Sasa mengangguk. Matanya sudah ia kembali fokuskan pada buku.

"Kenapa?" selidik Tara lagi. Ia memang sudah penasaran sejak pertama mendengar kabar itu. Bagaimana mungkin seorang siswa unggulan seperti Satya tidak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

"Katanya mau istirahat sejenak, bukan berarti enggak akan lanjut kuliah. Dia mau lanjut bisnis sama rekan-rekannya sambil ikut kursus. Mungkin tahun depan baru lanjut kuliah."

"Enak, yah. Orang pinter mah bebas, jeda setahun saja mungkin tidak akan berpengaruh sama karirnya."

"Dia mau memperdalam hobinya, bukan melepas karir masa depannya begitu saja. Kak Satya pasti akan baik-baik saja."

Tara tersenyum simpul, menggoda. Perkataan Sasa barusan semakin memperjelas bahwa hubungan mereka lebih serius daripada apa yang diperkirakannya.

Sasa hanya menggelengkan kepala dan melanjutkan bacaannya.

***

Sekolah ramai karena hari terakhir Ujian Nasional telah berakhir. Para murid kelas tiga antusias merayakan berakhirnya ujian yang menghantui mereka selama tiga tahun.

Ada beberapa siswa kelas sepuluh dan sebelas yang datang ke sekolah hanya untuk sekadar mengucapkan selamat pada kakak kelas mereka. Tingkah adik dan kakak kelas itu sama hebohnya. Serasa merasakan hari kebebasan bersama.

"Jadi gimana? Jadi, kan, muncaknya?" tanya Dafa, teman sekelasnya.

Satya mengangguk.

Mereka berencana mendaki gunung Gede setelah berakhirnya berbagai ulangan sebagai murid tingkat akhir. Bertepatan dengan mulainya ujian bagi adik kelas mereka. Termasuk Sasa.

"Udah ijin sama cewe lo?" tanya Dafa lagi. Ia tahu bagaimana dekatnya hubungan Satya dengan adik kelas mereka, Sasa. Sudah menjadi rahasia umum. Walau selalu saja Satya tidak pernah menjawab jika ditanya, apakah ia mempunyai hubungan lebih dari sekedar teman sejak kecil dengan Sasa, sampai akhirnya teman-temannya menyerah dan menerka sendiri. Dengan menyimpulkan mereka semacam childhood sweetheart di sekolah ini.

Satya mengangkat bahu. Ia belum menyinggung soal rencana pendakiannya. Namun, ia pasti akan bilang. Tentu saja. Ia tidak ingin membuat gadisnya khawatir dengan pergi secara tiba-tiba.

Rencana pendakian kali ini semacam observasi tempat sebelum mengajak Sasa untuk ikut mendaki bersamanya. Rencananya tidak pernah padam. Suatu saat, ia ingin mengajak Sasa di waktu yang tepat.

Sore ini ia berencana mengundang Sasa untuk makan di rumahnya. Ia berdalih itu adalah ajakan bundanya. Walaupun memang benar modusnya, karena rindu bercengkrama lama dengan gadisnya adalah alasan utama.

"Gue balik duluan, ya!" pamit Satya sambil melambaikan tangan.

Satya tidak sabar untuk bertemu Sasa. Seminggu ini ia hanya bertegur sapa beberapa menit sebelum keberangkatannya ke sekolah. Buah tangan yang dibawanya hanya alasan untuk bertemu Sasa.

Sore ini, ia akan menghabiskan banyak waktunya bersama Sasa. Ya, walau tetap ada bunda diantara mereka.

***

Satya dan Sasa duduk bersebelahan di pelataran teras belakang setelah makan bersama. Sejak obrolan panjang tentang gap year Satya, Sasa jadi sering ikut nongkrong di tempat ini. Menjadi tempat favorit mereka untuk ngobrol lama berbagai topik.

Kedua anak manusia itu masih terdiam. Menghirup udara segar yang dihasilkan dari tanaman yang dirawat Bunda. Ada nampan berisi setoples kue dan minuman segar di meja.

Sasa mencicipi kue renyah buatan Sarah itu. Rasanya, ia ingin membuka toko kue buatan asli tangan Bunda. Sayang saja dengan kreatifitas bentuk dan rasa selezat ini jika hanya mereka yang tahu.

Sedangkan Satya di sebelahnya sedang memikirkan bagaimana memulai pembicaraan tentang rencana pendakiannya. Otaknya dipenuhi awalan kata yang harus diucapkan.

Bukan hal mudah baginya. Hubungan ia dan Sasa sudah lebih dekat sekarang. Ia hanya ingin lebih berhati-hati.

Setahun sejak kecelakaan, ia memang jarang melakukan hobinya mendaki gunung. Hobi yang selalu ia lakukan bersama sahabatnya jika libur panjang sekolah.

Terakhir kali, ia mendaki bersama kawan-kawannya sesama Pecinta Alam. Akhir tahun lalu, saat libur semester pertama. Bentuk pelampiasannya dalam penyembuhan dari trauma akibat kecelakaan.

"Kamu belum kenyang? Mau makan lagi, Sa?" tawar Satya dengan nada mengejek.

Kue di depannya sudah habis setengah toples. Padahal, baru saja mereka makan berat bersama.

Sasa menoleh sinis.

"Aku baru bisa makan kue ini sekarang. Kue yang Kak Satya antar waktu itu dibawa pulang semua sama Tara. Aku hanya mencicipi sedikit. Jadi mumpung ada disini, kan," jawabnya kembali memasukkan sepotong kue ke dalam mulutnya.

Satya tertawa kecil. Menyodorkan minum pada Sasa.

"Mulut kamu penuh. Minum dulu nih, entar keselak."

Sasa mengangguk, berterima kasih.

"Ngomong-ngomong, gimana ujiannya, Kak? Lancar?" tanya Sasa. Kali ini ia membiarkan mulutnya nganggur sebentar.

"Tentu saja. Sepertinya, aku mendapat nilai sempurna untuk semua mata pelajaran," kata Satya membanggakan diri.

Sasa terlihat biasa. Acuh walau Satya sedang menyombongkan diri. Mana ada orang yang akan mendapat nilai sempurna di ujian nasional. Ada sih, tapi Sasa yakin itu bukan Satya. Walau ia dikenal sebagai murid pintar, tapi tidak secerdas itu juga. Sasa lebih mementingkan kue di depannya, kembali mencomot sepotong.

Satya tersenyum melihatnya.

"Sa, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan."

Sasa mengangguk. Mengangkat tangannya ke arah Satya. Tunggu. Kemudian membersihkan sisa kue di mulutnya dengan minum.

"Ada apa?" tanyanya. Kini mereka berhadapan.

Lelaki itu menelan salivanya. Gugup.

"Bulan depan aku mau muncak ke Gunung Gede. Tidak apa-apa?"

Hening.

Sasa tidak bereaksi.

Jantung Satya bekerja lebih cepat dari biasanya. Jika tidak diijinkan, ia akan menurut. Ingat akan janjinya untuk selalu berada di sisi Sasa.

"Kenapa bertanya padaku, Kak?" tanya Sasa terlihat kebingungan.

"Eh?" Satya terlihat kikuk. Tidak menyangka dengan tanggapan Sasa. "Maksud aku, itu loh, aku mau muncak, kan. Jadi kamu tidak ada teman. Untuk berangkat sekolah atau menemani kamu ke toko buku. Maksudnya, kamu enggak akan kangen aku gitu?"

Sasa mendengus pelan.

Sebenarnya, Satya tidak bermaksud untuk bercanda. Ia tidak tahu harus menjawab apa atas reaksi Sasa yang jauh dari perkiraannya. Tidakkah seharusnya Sasa sedikit kecewa atas rencananya? Mereka tidak bisa bertemu selama dua atau tiga hari.

Atau ini hanyalah kecemasan Satya belaka?

"Jadi, bolehkah?" tanya Satya lagi.

Sasa tersenyum kecut.

"Kenapa minta ijin sama aku? Harusnya kan ijin sama bunda," jawab Sasa santai sambil meneguk minumnya.

Satya tersenyum lega.

"Bunda udah kasih ijin. Dia malah lebih bersemangat daripada aku."

Wajar Sarah senang saat anaknya mengutarakan keinginannya itu. Sudah lama ia tidak melihat Satya sesemangat itu. Hobi yang sering ia lakukan dulu sempat terlupakan karena traumanya.

"Ngomong-ngomong, Kak Satya kan udah lama enggak muncak? Sama kawan di perkumpulan itu?"

Satya mengangguk. "Dafa, teman sebangku dan beberapa kawan di kelas juga ikut bergabung. Mengisi waktu kosong sebelum mereka kembali berjuang masuk universitas."

Sasa mengangguk paham.

"Jaga diri saja. Apa yang bisa kubantu? Barang apa yang belum Kak Satya punya, biar aku belikan."

"Tidak perlu. Semua sudah kusiapkan."

"Atau makanan?"

"Bunda pasti sudah menyiapkan banyak makanan untukku. Walau aku hanya akan membawa sedikit saja."

"Kapan berangkatnya?"

"Pertengahan bulan depan. Berangkat Jumat sore, Sabtu aku sudah disini lagi, kemungkinan sore sampai rumah."

"Oke kalau begitu. Hati-hati."

"Aku tidak akan berangkat sekarang."

Sasa tertawa.

Satya tidak tahu jika obrolan mereka akan selancar ini. sasa bahkan tidak terlihat ragu sedikit pun. Luka itu sepertinya memang sudah jauh tertinggal.

"Kak!" lirih Sasa. Matanya tak lepas dari toples kue di depannya.

"Ya?"

"Boleh aku bawa pulang kuenya?" pinta Sasa penuh harap.

Seketika Satya tertawa. Membolehkan. Sebelum pulang nanti, ia akan isi ulang dari persediaan.

_____

Scientory (ツ)