Sasa seharian ini sibuk di ruang ekskul sastra. Saat jam istirahat tadi, ada Mahasiswa dari universitas penyelenggara acara datang dan memberikan beberapa penjelasan tentang acara besok.
Terlihat Fatih di depan papan tulis sedang menulis sesuatu. Entah apa yang sedang di tulisnya. Sasa tidak memperhatikannya. Ia lebih tertarik dengan brosur perlombaan yang diberi oleh mahasiswa tadi. Ada beberapa lomba esai yang akan dilaksanakan di perguruan tinggi lain. Sasa mulai tertarik. Namun, jika dibandingkan dengan Fatih, pengalaman dia tertinggal jauh.
Fatih sudah terkenal di seluruh sekolah karena sering mewakili klub sastra memenangi beberapa perlombaan esai. Bahkan guru bahasa Indonesia sering menjadikannya contoh di depan kelas.
Sasa memisahkan dua brosur diantara brosur yang tergeletak di meja. Dia hanya mengambil brosur lomba cerpen saja. Untuk esai dan lomba resensi dia tidak terlalu percaya diri. Soalnya, juara sekolah sastra alias Fatih, pasti akan mengikuti lomba itu. Sasa merasa lebih baik mundur.
Fatih menghampirinya saat Sasa masih terbang dengan pikirannya.
"Besok janjian di sekolah jam dua saja ya, Sa. Tapi, nanti selama acara sepertinya aku harus menemani ibuku di rumah sakit. Enggak apa-apa kan, Sa?"
Sasa menatap ke arahnya ragu. Berpikir sejenak.
"Pulangnya kita bisa bareng, kok. Sorenya ayahku bisa menjaga ibu sepulang kerja. Nanti aku balik ke kampus biar pulang bareng. Bagaimana?" Fatih seperti menangkap kekhawatiran Sasa.
Sasa tersenyum, mengangguk. "Tidak apa-apa, Kak. Ngomong-ngomong, ibu Kakak bagaimana keadaannya sekarang?"
"Sudah agak baikan. Sehari atau dua hari lagi sepertinya bisa pulang," jawab Fatih. Ibunya sudah seminggu ini dirawat di rumah sakit.
"Syukurlah jika sudah baikan," ucap Sasa ikut senang.
Fatih meraih tasnya untuk pulang terlebih dahulu. Sepertinya, Satya akan datang sebentar lagi. Karena sama sepertinya, kelas IPA pun tidak ada pelajaran tambahan.
Sasa mengiyakan lalu bangkit dari duduknya, mencari novel yang akan dipinjam. Sebenarnya semua buku yang ada di ruangan ekskul ini sudah pernah dia baca. Tapi, dia ingin mengulang beberapa novel kesukaannya. Selingan ditengah banyaknya hapalan pelajaran yang akan diujikan nanti.
Satya datang saat Sasa masih asyik menyusuri judul novel di rak.
"Lagi apa, Sa?" tanya Satya menghampiri Sasa yang tidak menyadari kehadirannya.
"Oh Kak Satya sudah datang. Ini, aku mau pinjam beberapa buku untukku bawa ke rumah. Tapi sudah selesai. Ayo."
Sasa berjalan kearahnya sambil memeluk buku yang baru saja dipilihnya.
"Biar aku yang bawa," kata Satya meraih tiga buku novel itu. Ia melihatnya sekilas. Bukankah buku ini pernah dibaca oleh Sasa?
"Aku ingin mengulangnya, Kak," kata Sasa. Ia menatap Satya, "Semua buku yang aku pinjam itu punya akhir cerita yang ambigu. Membiarkan pembaca berimajinasi sendiri akan akhir cerita. Aku lebih suka cerita seperti ini. Karena jika akhirnya si tokoh bahagia, pikiranku selalu terbang jauh. Bagaimana jika luka itu kembali terulang, ditengah kebahagiaan akhir cerita."
Satya tertegun sesaat. Sasa seperti membicarakan dirinya sendiri. Ia seakan menjelaskan keadaannya sekarang. Satya tidak tahu harus menanggapi seperti apa.
___
Esoknya.
Sasa tengah menunggu Fatih di depan gerbang sekolah. Ia malas untuk masuk kedalam. Anak ekskul pasti sedang memenuhi lapangan sekolah. Suara teriakan dari dalam masih terdengar jelas keluar. Didalam sana pasti berisik sekali.
Fatih turun dari kursi belakang ayla merah di depannya. Sasa menyunggingkan senyum simpul. Menyapa sebentar lalu menaiki mobil itu kemudian.
"Kenapa tidak menunggu di dalam sekolah? Diluar panas sekali, Sa. Maaf membuat kamu menunggu lama," ucap Fatih merasa bersalah. Terik matahari cukup membuat gerah. Fatih menurunkan suhu mobilnya.
"Aku baru saja datang, Kak. Lagipula, di dalam gaduh sekali. Entah apa yang mereka lakukan di tengah terik matahari siang ini."
Fatih tertawa. Sasa sangat tidak suka keramaian sepertinya.
"Tadi aku sekalian beli buat kamu." Fatih menyerahkan ice mocca kepada Sasa.
Sasa menerimanya setelah mengucapkan terima kasih. Ia langsung meminumnya, kehausan. Sebenarnya ia menunggu setengah jam sebelum kedatangan Fatih. Ia takut jika harus membuat lelaki itu menunggunya. Sudah baik untuk mengantarnya ke tempat acara, malah bikin dia harus menunggu, kan tidak sopan.
Ponsel Sasa bergetar. Tanda pesan masuk.
Dari Satya
Maaf tidak bisa mengantarmu hari ini
Hubungi aku kalau terjadi sesuatu
Sasa mengetikkan pesan balasan.
Satya memang jauh hari mengabari tidak bisa mengantarnya. Ada pertandingan basket hari ini. Walau pun pelatihnya hanya meminta dia sebagai pemain cadangan, ia menyombongkan selalu dibutuhkan tim di babak terakhir. Satya memiliki banyak penggemar walau bukan pemain andalan. Sasa sempat tertawa mendengarnya. Sebagai pemain cadangan saja harus sombong.
Fatih memeriksa ponselnya juga. Pesan dari orang yang sama.
Dari Satya
Bro, titip Sasa ya
Gue percayain dia sama lo
Please, jaga dia baik-baik
Fatih tersenyum. Hubungan mereka sepertinya lebih dari sahabat. Hanya saja, baik Satya atau pun Sasa, mereka tidak menyadari hal itu.
Setengah jam kemudian mereka sampai di kampus besar itu. Pelataran kampus cukup ramai. Entah apakah karena adanya perlombaan ini atau sebab hal lain.
Fatih dan Sasa berjalan bersisian. Aula teater terletak di bagian paling belakang kampus. Tempatnya menyegarkan dengan pemandangan pohon besar di sekelilingnya. Jika ada acara musik, biasanya tempat ini bisa menjadi tempat terbuka yang menyenangkan. Panggung terletak di tengah ruangan dengan dikelilingi tempat duduk melingkar. Sayangnya, atap hitam diatas menutup imajinasi Sasa tentang kemeriahan konser outdoor ala anak kampus.
Fatih tengah berbicara dengan pihak acara. Sedangkan Sasa masih memperhatikan sekelilingnya. Jika dia kuliah disini pasti akan keren sekali. Hanya saja, ujian untuk masuk universitas ini terkenal sulit. Siswa dengan nilai terbaik yang bisa menembusnya. Sasa menepis khayalannya. Sadar diri karena bukan bagian dari salah satu siswa berprestasi di sekolah.
"Kenapa?" Rupanya Fatih selesai mengobrol dengan panitia tadi. Dia melihat Sasa menepis udara kosong di depannya barusan.
"Ah, aku hanya membayangkan jika aku bisa masuk kampus ini pasti ayah akan bangga sekali. Tapi itu sepertinya mustahil," jawab Sasa sekenanya.
"Kenapa?"
"Aku harus tahu diri. Nilaiku tidak terlalu bagus untuk masuk universitas top di kota kita," jawab Sasa tersenyum miris.
"Kenapa pesimis? Kamu masih punya waktu setahun lagi untuk mempersiapkan semuanya. Jika kamu bisa masuk kampus ini, semoga nanti kita bisa satu sekolah lagi."
Sasa melirik kearah Fatih.
"Kak Fatih, rencana kuliah disini?"
Fatih mengangguk.
"Pilihan pertamaku kampus ini. Lagipula aku sudah dapat petuah dari panitia tadi, kak Algi. Kata dia mudah saja untukku bisa masuk sini. Nilaiku bagus, penghargaanku banyak. Universitas mana pun pasti berebut menerimaku," kata Fatih sedikit mengangkat bahunya. Menyombongkan diri.
Sasa manyun mendengarnya.
"Sombong, ya. Lama-lama seperti Kak Satya."
Fatih diam sejenak. Menyunggingkan senyum andalannya. Fatih jika tersenyum matanya akan terturup sempurna. Lesung pipinya menjadi terlihat jelas.
"Sebenarnya hubunganmu dengan Satya seperti apa, Sa? Kalian sepertinya dekat sekali."
Sasa kaget mendengarnya. Dia sering mendapat pertanyaan serupa dari Tara atau murid lain di kelasnya. Ia hanya menjawab asal atau menjelaskan yang sebenarnya. Tidak pernah menyangka akan dapat pertanyaan seperti ini dari Fatih yang terkenal cuek.
"Dia seperti pengganti kak Bima untukku. Selalu ada dalam keadaan susah dan senangku. Kita juga sudah bersahabat sejak lama," jawab Sasa pendek.
Giliran Fatih yang terdiam. Nama itu, sudah lama ia tidak mendengarnya. Dulu ia sempat satu ekskul dengan Bima. Tidak dekat tapi cukup mengenalnya sebagai kakak dari seorang siswi angkatan baru bernama, Sasa. Yang kemudian ia malah kembali dipertemukan dengan adiknya di klub sastra.
Dia jadi ingat pertemuannya dengan Sasa dulu. Melihat bayangan Sasa di bangku paling pojok klub sastra. Sikapnya acuh dibanding yang lain. Namun, ia tahu Sasa paling peduli dengan sastra dibanding anggota lain yang hanya mengikuti ekskul ini asal-asalan.
Fatih sempat tertarik sesaat sebelum menyadari kehadiran Satya. Walaupun kemudian dia tahu bahwa hubungan mereka tidak seperti itu. Fatih tetap melihatnya secara berbeda. Seperti merasakan hal lain selain 'persahabatan' mereka. Maka sebelum perasaannya semakin tak terkendali, ia memutuskan untuk melupakannya.
Satya yang tidak pernah absen untuk menjemput Sasa. Kebanyakan teman-temannya berpikir mungkin Satya adalah pacarnya saat itu. Mereka berdua cocok sekali. Walau banyak yang menyayangkan kedekatan Satya dengan Sasa.
Murid setenar Satya seharusnya berpacaran dengan primadona sekolah. Kenapa harus Sasa? Siapa sebenarnya wanita itu?
Fatih tidak sependapat dengan anggapan kebanyakan murid di sekolahnya. Ia menilai, bahkan Sasa lebih cantik dari ketua OSIS yang merupakan pujaan pria di sekolahnya. Sasa hanya tidak menampakkan diri saja. Jika Sasa lebih berani untuk menunjukkan dirinya, mungkin ia bisa menjadi saingan berat ketua OSIS saat itu.
Fatih menghalau pikiran randomnya. Ia harus segera ke rumah sakit untuk menemani ibunya.
"Sa, kalau begitu aku pergi, ya? Acaranya akan dimulai sebentar lagi."
Sasa mengangguk. Ia terlihat senang bisa mengunjungi kampus sebesar ini. Tema penampilan teater hari ini pun membuat ia semakin tertarik.
Setelah peninggalan Fatih, Sasa mencari tempat duduk yang nyaman. Tidak terlalu banyak yang hadir. Ia memilih deretan kursi paling belakang yang hanya terisi tiga bangku lain di pojok berlawanan dengannya.
Penampilan drama itu dimulai. Mengangkat tema minimnya minat masyarakat terhadap sastra, berlatar pedesaan. Pesan satire kepada pemerintah yang disampaikan dengan cara yang apik. Sasa bahkan terlalu larut dalam pementasan itu sampai tidak menyadari ponselnya bergetar berkali-kali yang di simpannya di dalam ransel.
Waktu berjalan cepat. Dua jam pentas seni itu tidak terasa. Sasa celingak-celinguk apakah masih ada penampilan selanjutnya. Ia berharap bisa melihat penampilan lain. Sayangnya, pembawa acara mengambil alih panggung. Acara dilanjutkan dengan pengumuman pemenang lomba cerpen tingkat SMA.
Sasa yang tidak terlalu berharap menang, ia hanya memperhatikan tak acuh. Ia masih kecewa penampilan drama barusan telah berakhir, tidak ada encore.
Saat pewara menyebutkan nama-nama pemenang perlombaan, ia tidak menyadari namanya pun dipanggil. Sampai namanya disebut tiga kali, barulah ia berdiri dengan perasaan canggung.
Sasa masih tidak percaya saat ia menerima piagam penghargaan yang diberikan Algi padanya. Ia memberikan senyuman terbaiknya. Anehnya, senyuman itu bahkan tidak bisa pergi saat Sasa sudah turun dari panggung. Sensasi ini tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Jika saja ada Satya di sampingnya, mungkin ia sudah digoda habis-habisan.
Kemenangan perdananya ini menjadi salah satu kenangan terbaiknya.
Acara berakhir dengan khidmat. Tidak ada perayaan berlebihan dari para pemenang maupun juri. Para mahasiswa dan peserta lomba bubar dengan tertib.
Langit beranjak gelap. Gedung teater mulai ditinggalkan penghuninya. Sasa berjalan keluar dengan perasaan senang yang masih menyelimutinya. Beberapa peserta perlombaan yang sebaya dengannya mengerumuni panitia. Menanyakan tips untuk masuk kampus unggulan ini.
Sasa sebenarnya ingin ikut nimbrung, tapi ia tidak berani bergabung. Mungkin ia akan menanyakan hal ini pada Fatih saja. Sasa sepertinya mempunyai tekad kuat untuk masuk kampus yang kini menjadi impiannya.
"Sasa, yah?" tanya seseorang di pintu masuk. Ia ternyata sudah menunggu Sasa sejak tadi.
"Oh, Kak Algi. Halo, Kak," sapa Sasa sopan.
"Selamat, yah. Saya baca karyamu, bagus sekali, ada pesan moral yang tersembunyi dari ceritamu. Sebetulnya saya mau minta ijin soal karyamu."
"Ijin untuk apa, Kak?" tanya Sasa kebingungan.
"Sebenarnya, ini sudah ada di kontrak perlombaan sejak awal. Hanya saja, saya ingin memastikan dari penulisnya secara langsung."
"Saya ingin menerbitkan karyamu di buletin kampus. Juga untuk mempostingnya di website resmi jurusan kami. Kamu tidak keberatan, kan?"
Sasa mengangguk senang. Ia malah merasa bersyukur jika karyanya bisa dibaca oleh orang banyak. Dan masuk website kampus dengan jurusan yang menjadi incarannya saat ini.
"Eh, ngomong-ngomong tadi Fatih mengirim pesan. Katanya, kamu tidak bisa dihubungi. Ia bilang tidak bisa datang kesini, ayahnya lembur dan akan pulang malam. Ia meminta untuk menyampaikan pesan ini," kata Algi sebelum berpamitan.
Sasa merogoh ponselnya dari ransel. Banyak pesan masuk dan juga 15 panggilan tidak terjawab dari Satya.
Sasa terlebih dahulu membalas pesan Fatih. Sampai ponselnya mati dan belum sempat memberi kabar kepada Satya.
Sasa panik sendiri. Ia melihat sekelilingnya mulai sepi. Hanya beberapa panitia yang hilir mudik membereskan alat peraga pementasan tadi. Kakinya memutuskan untuk berjalan menuju gerbang utama kampus.
Beberapa siswa yang berpakaian putih abu-abu terlihat bercengkrama di pinggir jalan. Hanya ia yang berjalan sendirian. Sebelumnya, ia memang sudah mencari alternatif kendaraan menuju kampus ini. Ia harus menuju stasiun menggunakan angkutan umum.
_____
Scientory (ツ)