Sasa memaksakan berjalan mencari angkot dengan tujuan stasiun. Jalanan yang asing membuat gentar langkah kakinya. Tidak banyak kendaraan yang lewat.
Sepuluh menit kakinya melangkah tanpa henti. Sekitarnya mulai gelap. Ia hanya ditemani lampu redup sepanjang menyusuri jalanan yang penuh dengan pohon besar di kedua sisi.
Sasa memeriksa kembali ponselnya. Berharap ada sisa kehidupan walau hanya beberapa menit. Memesan kendaraan melalui aplikasi online. Mustahil. Ponselnya hanya berkedip dan kembali mati. Salahnya ia tidak mengecas penuh sebelum berangkat tadi pagi. Terlalu larut membaca novel.
Sasa mulai merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya. Perasaan takut itu. Ia memejamkan mata sejenak. Menenangkan pikirannya yang mulai tak karuan. Membayangkan sensasi saat di panggung tadi. Perasaan senang.
Nihil.
Tangannya bergetar hebat. Ia mempercepat langkahnya. Berharap bisa menemukan tempat yang bisa membuatnya tenang sejenak. Ia sedang sendirian. Tidak ada orang-orang yang bisa diandalkannya. Tidak ada ayahnya, juga Satya.
Semakin ia memaksakan untuk terus berjalan, kakinya mulai lemas.
Sampai akhirnya ia jatuh terduduk di samping pohon besar itu. Tubuh mungilnya tak terlihat walau sesekali kendaraan melewatinya. Ini bukan jalan ramai. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh, tapi jalanan sudah terlihat sepi.
Sasa menggenggam tangannya erat. Keringat dingin jatuh dari dahinya.
Tangannya mencari sesuatu dalam saku jaket, obat penenang yang selalu dibawanya. Sudah lama ia tidak mengkonsumsinya, malam ini pengecualian. Jika tidak, ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya. Hal buruk mulai memenuhi pikirannya. Ia harus bisa bertahan dalam situasi seperti ini.
Sebuah mobil melintas sedikit menerangi keberadaanya.
Sasa masih memejamkan matanya, berharap obat penenang yang diminumnya cepat bereaksi.
Sasa tidak menyadari saat sebuah sosok menghampirinya. Bayangan gelap. Celana panjang pansi hitam. Kaos yang dirangkap dengan jaket hitam bergaris putih di lengan itu.
Satya.
Sasa menyadari suara langkah mendekat. Hingga sebuah tangan merangkul pundaknya, tatapan khawatir disertai napas menderu. Cahaya lampu dari mobil yang di parkir sembarang menyinari wajah sosok yang penuh dengan peluh.
Saat Sasa mendongak, air matanya jatuh. Ia tersenyum lemah. Tubuhnya sudah tak bertenaga.
Satya tak tega melihatnya. Ia melepas jaketnya dan memakaikan erat pada Sasa.
Bodoh!
Pria itu memaki dirinya sendiri. Perasaan bersalah memenuhi pikirannya. Seharusnya ia tahu, gadisnya belum pulih sepenuhnya. Ia menyesali sikap angkuhnya yang lebih memilih pertandingan basket amatir dibanding menemani gadisnya. Perempuan yang harus ia jaga bersama ikrar yang tidak boleh ia langgar.
"Maaf, karena tidak ada di sampingmu. Sungguh, maafkan aku."
Suara parau itu nyaris tidak terdengar. Kalimat yang hadir atas penyesalan yang begitu dalam.
___
Dalam perjalanan, Sasa meminta untuk singgah di kafe yang sering ia kunjungi. Satya awalnya enggan dan ingin mengantarnya langsung pulang ke rumah. Namun, demi melihat wajah sendu gadisnya, ia terpaksa menuruti kemauan itu.
Book Cafe adalah tempat nongkrong anak muda yang lumayan terkenal di daerah itu. Lantai pertama sebelah kiri dari pintu masuk dihiasi dengan toko aksesoris disamping kasir. Bangku menghiasi setiap sudut ruangan. Gerai kudapan di samping kanan dengan berbagai macam menu, cocok untuk menemani ketika membaca buku.
Sedangkan lantai dua terdapat toko buku yang memenuhi seluruh ruangan. Di ujung utara ada beberapa bangku memanjang dengan jendela yang bisa dibuka lebar. Jika cuacanya menyenangkan, udara bisa masuk bebas kedalam ruangan. Pemandangan itu langsung menghadap padatnya kota dengan citylight yang terpampang manis.
Terakhir adalah tempat favorit untuk Sasa, yaitu lantai tiga. Ruangan terbuka dengan jejeran rak buku yang bisa dibaca langsung oleh pengunjung tanpa membayar. Hanya saja buku di tempat ini tidak bisa dibawa ke rumah. Untuk bisa masuk ke lantai ini, pengunjung harus mempunyai kartu anggota yang langsung bisa dibuat di kasir pintu masuk tadi.
Satya memilih tempat yang biasa ia pesan bersama Sasa. Lantai tiga tidak terlalu ramai seperti lantai satu yang penuh dengan muda-mudi yang menghabiskan malam minggu. Disini hanya ada beberapa murid menengah atas dan mahasiswa. Itu pun mereka lebih banyak tenggelam dalam buku bacaan.
"Isi perutmu terlebih dahulu," ucap Satya sambil menyodorkan kalzona yang sempat ia beli sebelumnya bersama coklat panas.
Gadis itu melahapnya pelan sambil menunduk. Sebenarnya dalam keadaan seperti ini ia tidak punya nafsu untuk makan. Tetapi sejak siang tadi ia belum memberi makan cacing dalam perutnya. Akan kalut jika cacingnya dibiarkan kelaparan didalam sana.
Satya masih memandangi gadisnya cemas. Keadaannya sudah membaik. Sejak di mobil mereka tidak banyak bicara. Sasa masih dengan ketakutannya. Juga Satya dengan perasaan bersalahnya.
"Kenapa kamu tidak bisa dihubungi? Ponselmu mana, Sa?" tanya Satya memecah keheningan.
Sasa merogoh saku jaketnya. Mengeluarkan benda pipih tak berdaya itu.
"Kehabisan baterai. Aku tidak sempat mengisi daya saat di rumah," jawab Sasa segan untuk menatap langsung Satya.
Satya membuka tas olahraganya. Mengeluarkan bank daya miliknya.
"Bawa ini jika keluar rumah. Pastikan dayanya selalu terisi penuh, paham?"
Sasa mengangguk. Dari nada bicaranya Satya tidak seperti orang marah. Namun, tetap saja ia segan untuk bersikap seperti biasa.
"Kenapa kamu berjalan sendirian di tempat sepi tadi? Kenapa tidak menungguku datang? Dunia luar lebih berbahaya dari yang kamu bayangkan, Sa."
Sasa kembali mengangguk pelan. Dalam hati ia menyanggah. Aku kan tidak tahu kak Satya akan menjemputku. Bukankah pertandingan basket lebih penting?
"Aku cemas sekali ketika kamu tidak menjawab panggilanku. Saat menanyakan pada Fatih aku sempat marah padanya. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak bisa menyalahkannya. Kenapa kamu tidak menjawab belasan panggilanku?"
"Maaf. Aku menyimpan ponsel dalam mode getar. Saat kakak menelponku, pentas drama sedang berlangsung. Aku mungkin terlalu larut sehingga tidak menyadarinya."
Satya menghela napas pelan. Ia seperti ini karena sangat mengkhawatirkan Sasa. Apakah terlalu berlebihan?
"Kamu masih lapar?" tanya Satya lagi. Pizza kalzona miliknya masih utuh. Ia menyodorkan kembali kalzona pada Sasa, dia sudah melahap habis miliknya.
Sasa menggeleng. Ia melepaskan jaket pemberian Satya. Memberikan kepada lelaki itu yang terlihat lusuh dengan setelan kaos basket dan celana pansinya.
"Pakai saja, kak. Aku kan pake jaket juga."
"Oke. Kita pulang, ya?" tanya Satya sambil memakai kembali jaketnya.
"Ayah kerja lembur. Mungkin pulang larut. Aku suka disini. Pemandangan malam di kota kita bagus juga."
Sasa menatap lurus ke depan. Padatnya kota di malam hari tidak terlalu menyesakkan. Walau kemacetan di jalan masih terlihat jelas. Mungkin karena ini malam minggu. Satya mengikuti Sasa menatap pemandangan lampu kota.
"Gimana pertandingan basketnya, Kak?"
Satya sebenarnya pergi dari lapangan tanpa pamit. Ia bahkan hanya main di babak pertama hanya sekali. Padahal, sejak awal pelatihnya meminta dia melakukan pemanasan agar bisa dimainkan di babak terakhir untuk mengganti pemain yang kelelahan atau cedera. Namun, diakhir babak ketiga ia berlari meninggalkan lapangan tanpa memedulikan teriakan pelatihnya.
"Biasa saja. Aku bermain di babak pertama. Tapi kamu tahu, sesaat sebelum pertandingan dimulai, Pelatihnya dengan santai bilang padaku, 'kamu main di babak awal saja, jika ada kesempatan di babak akhir kamu bisa menggantikan pemain yang kelelahan'. Bukankah itu menyebalkan. Aku tahu permainanku tidak sebagus yang lain, tapi perkataan jujur dari pelatih cukup menyakitkan."
Sasa berusaha menahan tawanya. Dia takut mengganggu suasana hening di ruangan ini. Kebanyakan pengunjung fokus dengan buku bacaannya. Hanya beberapa yang bercengkrama atau berdiskusi bersama.
"Kamu menertawakanku, Sa!" Satya senang bisa melihat senyumnya lagi. "Sekarang ceritakan, kenapa bisa kamu memenangi lomba itu."
Sasa mendelik sebal. Perkataannya seakan meremehkan kemampuannya. Walau pun Sasa sendiri sering meremehkan karyanya sendiri. Tapi jika diremehkan oleh Satya, malah menjadi kesal saja.
"Ngomong-ngomong, saat di panggung tadi aku belum pernah merasakan seemosional itu sebelumnya. Jika kak Satya hadir, mungkin aku kelihatan norak sekali. Aku tidak bisa berhenti tersenyum bahkan saat sudah turun dari panggung. Aneh sekali."
Satya merogoh sakunya tersenyum. Memperlihatkan sebuah foto yang Fatih kirim padanya. Potret senyum Sasa saat menerima piagam penghargaan. Senyuman yang kini jarang terlihat. Tidak seperti dulu.
"Dari mana foto Kakak mendapatkan foto ini? Benar kan, wajahku terlihat norak!" ucap Sasa bergidik sendiri.
"Bagus, kok." ucap Satya. Ia tersenyum simpul melihat potret senyum itu pertama kali.
"Ada foto lainnya?"
"Tidak ada, tapi kalau kamu mau, nanti aku pinta ke Fatih."
"Suruh kirim ke nomorku saja, jangan lewat Kak Satya. Kalau fotoku diguna-guna bagaimana coba!"
"Hey, itu ide yang bagus!"
"Kak Satya!"
Satya tertawa. Lagipula, untuk apa ia menggunakan foto Sasa ke dukun. Ia ingin menyatukan hubungan mereka menggunakan hati, bukan dengan mantra.
"Biar aku saja yang chat Kak Fatih."
"Tidak perlu. Aku tadi sudah meminta untuk dikirim kalau ada foto lain," sergah Satya. Ia terpikirkan ide lain. "Sa, tunggu ya.. Lihat sini coba.. Senyuuum.. ."
Cekrek.
Satya memotret mereka secara tiba-tiba. Sasa yang tidak siap hanya menoleh kearah kamera tanpa ekspresi.
Alhasil, bahu Satya menjadi sasaran empuk pukulan gadis itu.
"Hapus, kak! Jahil banget!"
Satya hanya meringis kesakitan memegang bahunya. Ia segera menyimpan ponselnya ke saku. Menolak tegas permintaan Sasa.
"Tunggu saja, nanti pasti bakal aku balas!"
Sasa cemberut. Mendelik kesal pada Satya.
Satya tersenyum meledek, pura-pura tidak mendengar.
Mereka kembali menyesap coklat panas yang sudah mulai mendingin. Satya melahap kalzonanya yang belum tersentuh sejak tadi.
Suasana mulai membaik. Satya mengeluarkan ponselnya saat Sasa tidak memperhatikan. Membuka galeri. Memasang poto mereka di layar utama.
Satya tersenyum simpul melihat potret itu. Gadisnya walau dengan wajah datar tetap menggemaskan. Ia kembali memasukkan benda pipih itu ke dalam saku.
Senyuman itu, aku berjanji akan membuatnya sering hadir pada setiap kenangan kita, batinnya.
Satya bersyukur, gadisnya bisa pulih dengan cepat.
Saat pertama melihat Sasa di pinggir jalan tadi, degup di dadanya menyiksanya perih. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Sasa. Ia bahkan menutupi air mata yang keluar dengan sendirinya. Membiarkan menguap bersama udara dingin jalanan.
_____
Scientory (ツ)